Aku langsung menyambangi mereka bertiga, terlihat raut kaget pada ketiganya."Eh, Mas. Udah pu-lang!" Syasya tergagap."Siapa dia, Sya?" tanyaku pada Syasya dengan pandangan menatap pada dua laki-laki berwajah sangar."Sini, Mas! Aku mau ngomong!" Syasya menarik tanganku masuk kedalam. Aku tak bisa berontak. Rasa penasaran ku kian membuncah."Mas! Itu kedua laki-laki tadi mencari Mbak Nisa. Katanya dia mau menagih hutang." Aku menautkan alis. Apa benar? Setahuku dan seingatku selama hidup bersama Nisa tak pernah ada orang ataupun tetangga yang kesini menagih?"Katanya hutangnya gede. Sudah dua bulan ngga di cicil. Makanya dia kesini untuk menagih. Aku bilang aja Mbak Nisa sudah pindah.""Benarkah, kalau gitu biar aku temui saja!" Apa benar Nisa memiliki hutang? Untuk apa?"Tu-tunggu, Mas. Aku tak mau kamu bicara jujur tentang Mbak Nisa!" Syasya menarik tanganku. Namun, aku tepis dan keluar untuk menemuinya.Aku celingukan. Dua laki-laki tadi tak ada didepan rumah. Aku benar-benar maki
Langkah panjangku langsung menuju sasaran. Mereka sejenak menghentikan aktifitasnya merebut motor Nisa."Siapa kamu dan apa urusanmu dengan motor ini!" Laki-laki bertato itu seketika menghardik."Kalian tak tahu siapa wanita ini! Dia itu istri ku, urusanmu dengannya juga urusanku!" Aku tak kalah garang."Hhaaha ... Terserah kamu yang penting aku dapatkan motor ini secepatnya." Mereka masih memaksa.Aku memandang Nisa, wajah dia sudah terlihat ketakutan."Siapa mereka?" tanyaku.Dia mengeleng, "aku ngga kenal, Mas. Mungkin dia perampok!" "Hei! Jangan bilang kami perampok. Kami hanya menjalankan tugas untuk menagih hutang!"Kali ini aku kembali menatap Nisa, "kamu punya hutang?"Dia kembali mengeleng, "mungkin mereka salah orang.""Mana kami salah! Jelas-jelas motor ini yang keluar dari rumah Santi!""Tunggu-tunggu, kalau tidak salah kemarin kan yang datang kerumahku kan?"Mereka saling pandang dan mengingat ingat."Oh, benar. Kamu lelaki yang tiba-tiba datang dan langsung di tarik mas
Belum sempat untuk memukul dia berteriak dan jatuh pingsan."Syasya!" Sontak aku langsung melepaskan tongkat golf begitu saja. Kutepuk-tepuk pipinya. Dia masih saja menutup matanya. Duh! Bagaimana ini?Kucari minyak angin, tak kutemukan. Biasanya ada di atas kulkas. Nyatanya hilang bersama kulkasnya. Kemana lagi ini aku mencari sesuatu yang bisa kujadikan alat untuk membangunkan Syasya yang pingsan.Ah, aku punya ide! Aku mengeluarkan dompet, kebetulan hari ini abis gajian dan tadi sempat ke ATM untuk mengambil tunai. Kutaruh lembaran merah satu lembar di kening. Masih belum sadar. Dua tiga hingga lima.Plok! Dia langsung menangkap uang yang di keningnya.Alhamdulilah! Akhirnya sadar juga. Syasya terlihat tersenyum penuh gembira."Kamu kenapa di gudang dan kenapa barang-barang di rumah ini hilang?" Cecarku langsung pada Syasya tanpa jeda."Anu, Mas. Tadi aku cari matras buat alas tidur. Soalnya kasur serta dipannya di bawa rentenir yang menagih hutang Mbak Nisa!"Apa? Kali ini aku yan
PoV NisaAku di buat kalap, siapa yang tak murka melihat isi rumah telah raib. Kelakuan siapa lagi kalau bukan si Syasya alias Santi. Wanita jalang yang telah menipu Mas Arman habis-habisan. Rasanya ingin sekali aku meremasnya. Menjadikan dia segulung kertas dan kubuat bola hingga aku tinggal menendang saja!Setelah aku berduel sengit, aku memilih masuk kekamar, Al dan El menangis membuat aku yang tengah membuat perhitungan dengan Mas Arman dan istrinya itu terhenti.Hufh! Kulkas, TV, sofa juga beberapa perabotan yang kira-kira kayak jual sudah raib. Aku memandang penuh kesedihan. Sudah tak kulihat batang hidung manusia tak bersyukur itu. Biarlah! Semoga mereka tak kembali lagi kesini.[Nis, ada waktu? Kita Dinner yuk!] Wa dari Pak Denis kubaca. Dia ngajak makan malam? Ada apa gerangan.[Maaf, Pak. Apa ada perlu dengan kantor. Saya sedang dirumah sendiri dan tak ada siapa-siapa. Ngga bisa ninggalin anak-anak.] jawabku.Tak ada balasan. Hanya centang berwarna biru. Apa Pak Denis marah
Kedubrag!"Aduh!"Aku menengok, ternyata Syasya jatuh tersungkur."Tolong, Mas!" Pintanya. Sebenarnya aku enggan untuk membantu tapi aku bukan manusia durjana yang kejam."Ayo!" Aku mengulurkan tangan. Diraih tangan ku olehnya, aku mencoba untuk membangkitkan ya tapi tanpa sepemikiran ku. Syasya menarik tanganku hingga akupun terjerebab jatuh diatasnya."Awwhh," pekik Syasya manja, aku sebagai lelaki normal tentu saja darahku berdesir."Astaghfirullah!" Segera aku beranjak berdiri. Aku tak boleh kalau dengan jurus rayuannya. Dia hanya sedang memancingku untuk kembali padaku. Tidak! Aku sudah putuskan untuk menebus kesalahanku pada Nisa."Ayo, berdiri!" Aku membalik badan."Mas, lemas. Aku dari pagi belum makan!" ucap Syasya masih dengan nada lembut. Mungkin benar kalau itu terjadi. Bukankah para preman itu datang tadi pagi?Akhirnya aku putuskan untuk membantunya berdiri. "Sebelum pergi, ajakin aku makan dulu yuk!" Kembali dia merayu."Apa kamu mau aku pingsan di jalan? Terus ada yan
"Setan alas! Tuyul! Genderwo!" Rancauku ketika tiba-tiba hujan turun menguyur tubuhku."Bangun! Ngapain tidur di mari?!" Ibu berteriak. Ternyata bukan hujan tapi ibu yang menyemprotkan selang padaku."Ketiduran, Bu. Habisnya gedor pintu ngga ada yang buka. Tidur apa pingsan!" Cebikku."Hei! Ngomong sama orang tua jangan ngawur. Pake nyumpahin pingsan segala. Mau aku jadiin bregedel?!""Iya, Bu. Maaf!""Lagian ngapain kemari, kan kamu punya rumah? Apa kamu di usir Nisa? Bukankah dia setuju dengan kehadiran Syasya?" Ibu menatap penuh selidik."A-anu, Bu. Putramu ini sudah jadi duda." Aku mlehoy, hampir menangis."Apa? Kemana istrimu semua. Mati!""Ibu! Kenapa sumpahin mereka mati?""Noh! Siapa yang sumpahin. Kan kamu sendiri yang bilang jadi duda.""Ya bukan berarti mati kali, Bu. Aku jadi duda cerai!"Ibu menyempitkan mata. Mungkin dia heran, kenapa aku yang punya dua istri menjadi duda."Tunggu-tunggu! Kalau bicara yang jelas jangan buat Ibumu yang tua ini ngga mudeng.""Bu, anakmu in
Kriett ...Tanganku sudah mengepal siap untuk menonjok jika benar Pak Denis yang datang. Tak peduli lagi urusan pekerjaan. Bukankah laki-laki yang baik tak mengkaitkan masalah pribadi dengan pekerjaan?Ups!Laki-laki muda dengan baju seragam berhasil menghindar dari pukulanku. Dengan cekatan ia menangkis tanganku."Ada apa, Pak? Kenapa mau memukulku?" tanyanya tanpa melepaskan tanganku dari pegangannya."Maaf, Mas. A-aku kira yang datang penjahat." Dia melepaskan tanganku. Apes benar, beruntung dia menghindar, kalau tidak bisa berurusan panjang karena memukul orang."Saya mengantar pesanan ini atas nama Ibu Nisa Anggraini." Dia melihatkan sebuah kertas. Tertulis ada sebuah TV, Kulkas, Sofa dan lain-lainnya."Oh, iya benar. Dia istri saya. Sebentar saya panggilkan.""Baik, Pak. Saya akan menurunkan semua dan meminta Ibu melunasi pembayaran."Aku mengangguk, ternyata Nisa punya uang juga untuk membeli semua perabotan ini kembali."Nis!" panggilku. Si pemilik nama keluar kamar."Itu ada
"Be-benar kamu ngga hamil, Nis?" Aku mengulangi pertanyaannya lagi, berharap ia meralat apa yang telah ia ucapkan barusan.Dia menatapku aneh, seolah apa yang aku tanyakan itu sebuah hal mustahil."Kenapa aku harus berbohong? Bukankah kamu tahu kalau aku pasang implan di lengan kiri? Kamu sendiri kan yang antar dan itu masanya lima tahun!"Deg!Aku baru ingat jika apa yang di katakan Nisa benar. Aku yang mengantarnya saat memasang alat k*ntrasepsi itu. Aku makin jadi gemetaran. Menandakan jika testpack itu pasti milik Syasya.Aku tak boleh tinggal diam, aku harus segera mencari Syasya dan menyuruh ia mengugurkan kandungannya. Lagian bukan seratus persen kan dia anakku? Terus pasti dia minta pertanggungjawaban padaku.Segera aku meletakkan jamu tadi dan mengembalikan pada meja, aku harus segera mencari Syasya untuk membuat dia tak bertindak lebih jauh.Bugh!"Aduh!" Rengek Ningsih, ternyata karena aku tergesa-gesa aku menabraknya. Hingga dia kesakitan."Kamu ngga papa, Sayang?" tanya l