"Mas, tolong jangan buat aku bingung! Mas belanja dengan uang sebanyak ini untuk apa? Aku gak minta ‘kan? Lalu, uangnya dari mana? Amplop hasil kondangan saja belum kita buka ‘kan? Bener juga loh yang Bi Icah bilang, kalaupun ada uang, harusnya kita pikirin dulu buat beli tanah sama rumah, baru belanja perabotan.” Aku menatapnya dan sibuk menunggu jawaban.
Mas Reza menggaruk kepala. Dia menatapku lekat-lekat dengan terlihat merasa bersalah.“Maafin Mas kalau adek gak suka. Orang tua Mas kemarin denger omong-omongan tetangganya Adek. Katanya gini, pantas saja ada yang mau, dimurahin kayaknya. Maharnya masa cuma seratus ribu, terus di sini ‘kan kalau anak perawan itu biasanya dibawain perabotan, seserahan, bukan kayak gini doang.”“Terus ada lagi yang nyeletuk, namanya juga per4w4n tua, ada yang mau saja sudah syukur. Lagian kayaknya nikahnya juga cuma asal sah saja, paling habis beberapa hari juga cerai, yang penting sudah kehapus gelarnya, gak per4w4n tua lagi.”Aku mendengarkan Mas Reza yang sedang bercerita. Sesak sih, tapi emang sering juga denger kayak gitu.“Jadinya orang tua Mas sibuk suruh beli ini itu, biar tetangga Adek tahu, kalau Adek itu berharga di mata keluarga kami.”Seketika rasa kesal dan penasaranku tiba-tiba berubah haru. Ucapan yang keluar dari mulut Mas Reza membuat hatiku tersentuh. Bukan karena barang-barang mahalnya. Namun, karena niatnya. Dia ingin menunjukkan pada seluruh warga di kampung ini jika aku berharga.Tak terasa sepasang mataku berkaca-kaca. Tenggorokkanku terasa tercekat rasanya. Aku merasa terharu oleh penuturannya. Aku masih mencoba mengendalikan diri menahan tangis ketika suara Ibu terdengar memanggil.“Rin! Gimana Mang Muh? Bisa datang sekarang?” tanyanya. Ibu hanya menoleh ke arah luar. Mungkin sudah tahu ada para tetangga yang sibuk nontonin perabotan.“Iya, jadi, Bu!” Aku menjawab saja asal. Yang penting, pesan Ibu sudah disampaikan. Meskipun tadi lupa nyuruh Mang Muh ke rumah jam berapa.“Itu kamu beli perabotan apa, Mas? Bi Icah dari tadi ngedumel mulu di belakang?” tanya Ibu menoleh pada suamiku.“Itu, Bu! Barang perabotan buat Arina, Bu. Kemarin kami gak tahu kalau ada budaya kayak gini di sini. Di tempat kami gak ada soalnya, Bu.” Mas Reza mengangguk sopan pada Ibu.“Oalah, kami gak minta, kok, Mas. Bapaknya Arin gak mau memberatkan pihak besan, katanya. Lagian itu bukan rukun nikah juga. Yang penting pernikahan kalian sah, itu saja Ibu sudah bahagia.”“Iya, Bu. Saya paham. Cuman dari keluarga tetap ingin ngasih, Bu! Mohon diterima, Bu!” Mas Reza bicara sambil menunduk.“Iya, Iya, Mas. Ibu berterima kasih banyak.” Ibu tersenyum sambil menatapku dan Mas Reza bergantian.“Assalamu’alaikum!” Suara yang mengucap salam terdengar lantang.“Wa’alaikumsalam!” Ibu tergesa keluar.Aku hanya menoleh. Dari suaranya sepertinya Mang Muh yang datang. Benar saja, tak berapa lama Ibu lewat diikuti lelaki paruh baya itu menuju ke arah dapur. Karung-karung beras memang diletakkan di sana. Lalu Mang Muh, Bapak dan anak buahnya sibuk mengangkut beras-beras ke depan untuk ditimbang.“Mas, pertanyaanku belum dijawab, loh! Aku gak mau sampai kamu berhutang demi membeli semua perabotan ini! Kamu dapat uang dari mana sebanyak ini, Mas?” tanyaku padanya.“Adek, nanti Mas jawabnya, ya! Mas bantuin Bapak dulu!” Mas Reza tampak sungkan karena kami masih mengobrol, sedangkan Bapak dan Mang Muh sibuk mengangkut beras ke depan.Aku menghela napas kasar. Lalu aku mengangguk saja. Mas Reza pun bergegas bangkit dan berjalan meninggalkanku. Dia membantu Bapak mengangkut karung-karung beras itu.Aku beranjak ke dapur dan menemui Ibu.“Bu, aku mau bicara soal Bu Ambar.” Aku mendekat ke arahnya yang sedang sibuk membuat kopi.“Eh, kamu Rin! Ini tolong kelarin dulu buat kopinya! Buat Mang Muh sama anak buahnya.” Ibu malah menyerahkan sendok kopi dan toples padaku. Lalu, dia berjalan ngeloyor keluar begitu saja.“Bu, aku mau bicarain soal Bu Ambar!” cegahku. Namun, Ibu sudah berjalan menjauh dan meninggalkanku.“Sore saja, Rin! Lagi riweuh kayak gini juga kamu tuh!” tutur Ibu.Aku hanya menghela napas kasar. Lalu kuselesaikan kopi yang kubuat untuk mereka. Setelah itu, kubawa ke depan. Tampak Mas Reza tengah sibuk membantu menimbang beras-beras itu dengan anak buah Mang Muh. Sementara itu, Bapak dan Mang Muh tampak sedang berbincang.Aku baru hendak memutar tubuh ke belakang ketika Mas Sandi tampak berjalan mendekat ke arah kami. Aku urungkan niat dan menunggunya datang. Tumben sekali dia datang sendirian ke sini. Biasanya, Mia selalu saja mengekorinya.“Sini ngopi, San!” Bapak mengulangkan tangan ke arah Mas Sandi. Dia sudah memaafkan Mas Sandi sejak lama, berbeda denganku. Luka ini masih terasa perih jika melihat dia apalagi bersama Mia dan anaknya.“Iya, Wak!” tuturnya sambil mendekat. Ibu menoleh ke arahku, tapi aku membuang muka. Pasti Ibu mau menyuruh membuatkan kopi untuknya. Ibu pun sepertinya paham. Dia lekas beranjak ke dapur. Mungkin mau membuat sendiri kopi untuk Mas Sandi.“Libur, San?” tanya Bapak setelah Mas Sandi duduk.“Iya, Wak! Oh, ya, Wak? Itu Si Reza emang kerjaannya apa, sih? Saya ada perlu sama dia sebetulnya.” tanyanya sambil duduk dan menatap Mas Reza.Aku berdiri di ambang pintu dan sibuk mendengarkan.“Kenapa gitu, San?” tanya Bapak sambil menatap Mas Sandi.“Ini, Wak! Uwak harus hati-hati! Dia itu pengedar uang palsu! Lihat ini! Lembaran uang ini palsu, Wak!” Mas Sandi mengeluarkan beberapa lembar merah dari dalam dompetnya.“Jangan ngada-ngada kamu, San! Lagian uang palsu itu kamu yang bawa. Kenapa juga jadi si Reza yang dituduh?” tanya Bapak sambil menatap Mas Sandi.Mas Sandi menoleh pada Mang Muh.“Mang Muh tadi lihat gak, katanya Dia bayar utang ke Ibu saya lima belas juta? Katanya di toko beras Mang Muh.”“Iya, iya, lihat. Terus?”“Nah, pas tadi saya periksa! Ini uang palsu! Uang dari si Reza itu uang palsu!” tutur Mas Sandi dengan wajah serius.“Oalah! Jadi dia itu sok pamer kekayaan dan banyak uang, tapi nyatanya cuma uang palsu, ya! Bu Ibu, lihat sini! Suaminya Si Arina itu ternyata pengedar uang palsu!”Suara Bi Icah yang cempreng membuat para tetangga yang masih tersisa dan tengah sibuk membuka-buka lemari kayu jati milikku menoleh ke arahnya. Mas Reza dan anak buah Mang Muh pun menghentikkan kegiatan menimbang berasnya. Lalu, semua mata terarah kepada Mas Reza yang mendadak jadi tersangka, pengedar uang palsu.“Oalah! Jadi dia itu sok pamer kekayaan dan banyak uang, tapi nyatanya cuma uang palsu, ya! Bu Ibu, lihat sini! Suaminya Si Arina itu ternyata pengedar uang palsu!” Suara Bi Icah yang cempreng membuat para tetangga yang masih tersisa dan tengah sibuk membuka-buka lemari kayu jati milikku menoleh ke arahnya. Mas Reza dan anak buah Mang Muh pun menghentikkan kegiatan menimbang berasnya. Lalu, semua mata terarah kepada Mas Reza yang mendadak jadi tersangka, pengedar uang palsu.“Uang palsu?” Mas Reza menoleh pada Bi Icah dengan alis bertaut. Para tetangga sudah mulai berbisik-bisik. “Jadi orang itu yang jujur, bukan rela ngelakuin apa saja biar kelihatan wah. Kamu cuma bakal jadiin keluarga kakak saya dalam masalah saja, Reza. Kamu gak takut polisi, ngedarin uang palsu? Kirain dari gunung,orangnya lugu, eh belagu.” Bi Icah seperti punya angin segar untuk menyerang. Sudah sejak tadi dia seperti kesal, eh ada kesempatan.Mas Sandi tampaknya baru sadar kalau ada Ibu mertuanya. Dia menoleh
“Mas! Mas Reza tunggu! Jangan seperti ini, Mas! Gak usah bawa-bawa polisi!” Lalu tubuh Mas Sandi sudah menghalangi langkah kami. Loh, kenapa jadi dia yang panik? Bukannya Mas Reza yang katanya tersangka? “Biarin saja lah, San! Kamu itu kok aneh?” Bi Icah tampak tak suka dengan sikap Mas Sandi. “Aku cuma gak mau, nama keluarga kita jelek, Bu! Calm down, Mas! Yuk duduk dulu! Jangan bawa-bawa polisi, ya!” Mas Sandi menepuk-nepuk bahu Mas Reza. “Mas cuma mau buktiin, San. Itu uang yang Mas kasih ke Bu Ambar itu asli dan yang kamu bawa itu bukan uang Mas. Itu saja. Kalau nggak ke polisi, gimana kamu bisa percaya kalau itu uang asli.” Mas Reza bicara tenang. Wajah polosnya menatap pada Mas Sandi. “Oke-oke, demi nama baik keluarga! Aku percaya! Aku percaya itu uang asli! Yuk duduk, yuk!” Mas Sandi menggiring Mas Reza untuk balik lagi ke teras. “Jadi, kamu nggak minta ganti lagi lima belas jutanya ‘kan? Mas cuma tinggal bayarin sisanya yang lima juta?” tanya Mas Sandi lagi memastikan.“
Tunggu! Sebenarnya siapa suamiku? Kenapa orang yang terlihat keren saja berlaku begitu hormat padanya? Aku pun mendekat sambil membawa satu bungkus keripik singkong seharga lima ribuan. Sudah kubuka dan kumakan setengah tadi. Mas Reza tersenyum ketika melihatku datang. “Loh, Mas kira, Adek masih di dalem, lagi zikir.” Aku hanya tersenyum saja. Bingung mau komentar apa. Selama ini, aku lagi rajin zikir kalau ada maunya saja, biasanya. Tepatnya kalau lagi susah saja. “Lagi jajan, Mas. Hmmm … siapa yang tadi?” tanyaku sambil menunjukkan keripik singkong di tangan. Hanya menunjukkan, tapi tak menawarinya. Cuman dikit soalnya. “Oh itu, teman lama, Dek.” Dia bicara santai. Seketika aku kecewa, padahal tadi sudah berharap-harap kalau ternyata Mas Reza adalah orang kaya yang lagi menyamar, misalnya.Duh, kebanyakan baca novel di KBM jadi halunya kebawa ke dunia nyata. Bukannya sudah jelas, Mas Reza memang gak ada kerjaan tetap, katanya.Ya sudahlah, aku gak mau bahas lagi. Yang penting,
“Maaf, ya, Mas! Itu, Mas! Aku mau nagih janji, Mas. Katanya mau cerita!” tuturku sambil menatapnya. “Oh, iya, iya, yang tadi siang, ya? Maaf kalau Mas kelupaan.” Dia terkekeh sendiri lalu membetulkan duduknya. Aku sudah bersiap mendengarkan penuturannya.“Jadi, gini, Dek ….” Akhirnya, dia mulai bercerita juga. Aku sudah siap untuk mendengarkan dengan seksama. “Uang yang Mas pakai beli perabotan itu uang tabungan, Mas. Terus yang dipakai buat bayar utang Ibunya Adek ke Bu Ambar juga, uang tabungan Mas.” Dia bicara, terus menjeda. Aku masih bersiap mendengarkan. Mas Reza bangun. Lalu menggeliatkan badan. Aku menatapnya, masih sambil menunggu lanjutan ceritanya.“Sudah malam, Dek. Tidur dulu.” Dia bicara sambil beranjak pindah ke karpet. Seketika aku terbengong, jadi, cuma ini yang dia jelaskan? “Mas, kok malah tidur?” tanyaku spontan. Seketika dia mendongakkan wajah dan menautkan alisnya padaku. “Ahmmm … memangnya Adek sudah siap?” tanyanya dengan sepasang mata itu menatapku lekat
Pagi-pagi sekali, aku dan Mas Reza sudah berangkat. Rupanya dia mengajakku ke pasar induk. Pantas saja tadi sampai pinjam helm dulu. Perjalanan cukup jauh, jadi kami tiba di sana pas matahari sudah menghangat. “Ayo, Dek!” tuturnya sambil memarkirkan sepeda motor supra X jadul di pelataran parkir. “Mas mau beli apa, si? Jauh-jauh ke sini?” tanyaku lagi.“Mumpung Adek masih cuti. Kita jalan-jalan.” Dia tersenyum sambil menunduk. Tanpa kusangka, dia meraih jemariku lalu digenggamnya. Aku masih melongo ketika dia menarik lenganku dan bergerak menuju ke dalam pasar.Jalan-jalan katanya. Ya ampuuun? Apa dia kira pasar tempat jalan-jalan? Namun, aku tak enak kalau membantah. Aku ikut saja. Hingga dia berhenti di sebuah toko yang cukup besar. “Silakan gamisnya kakak! Ada yang model terbaru kakak! Ini bahan import, modelnya bagus-bagus, bahannya adem-adem!” Seorang penjaga toko sibuk menggiringku dan Mas Reza ke arah koleksi gamis-gamisnya. “Adek pilih, ya! Nanti mau ada pertemuan di kelua
“Loh, loh, loh? Bukannya tadi cuma beli satu set baju, ya? Kok kenapa Mas Reza bawa tentengan sebanyak itu?” “Maafin lama ya, Dek. Packingnya lama tadi.” Mas Reza meletakkan tiga kantong belanjaan yang sepertinya penuh semua.“Mas, itu bawa apaan? Banyak banget?” tanyaku sebelum duduk diboncengannya. “Ini, itu, Dek. Baju.” Dia menjawab singkat. Lalu segera naik ke atas sepeda motor setelah barang-barang bawaannya dia tata. “Baju?” tanyaku masih bingung. “Iya.” Dia menjawab singkat. Lalu segera melajukan sepeda motornya. Tiba di rumah, Mas Reza menurunkan barang-barang yang dibawa. Tampak Bi Mae yang sedang menyapu teras rumahnya melongokkan kepala. “Habis dari mana, Rin?!” Suaranya kencang terdengar lantang.“Pasar, Bi!” Aku menjawab sambil turun. “Wah mborong lagi, Mas?” Tanpa kuharapkan, Bi Mae sudah muncul dan ikut-ikutan membantu menurunkan barang belanjaan dari motor butut Mas Reza. “Iya, Bi. Cuma beli baju-baju buat Dek Arin. Pas nikah nggak sempet bikin seserahan lengka
“Ya Allah, kenapa suami kamu bisa punya uang sebanyak itu, Rin?” tanya Ibu menatap heran. “Katanya dia sudah nabung dari usia dua puluh tahunan, Bu.”Aku mengedik dan menjawab seperti yang Mas Reza bicarakan kemarin. Hanya saja, besok adalah kesempatanku untuk mencari tahu, seperti apa sebetulnya kehidupan Mas Reza di gunung sana? Huh, gimana kalau dia ternyata bandar narkoba, kan katanya tanaman ganja itu harganya mahal-mahal, ya? Atau dia pesugihan, kan kalau orang-orang di pegunungan itu biasanya masih kental sama hal-hal mistis. Ya Allah, kenapa aku jadi takut gini, ya? Gimana kalau salah satu tebakanku benar? Soalnya kalau memang dia orang kaya, kenapa harus jadi bujang lapuk segala? Empat puluh tahun gak nikah-nikah karena gak ada yang mau, katanya. “Ya Allah, Rin. Alhamdulilah … Bapak gak salah pilihkan suami buat kamu. Reza sayang banget sama kamu.” “Iya. Bu. Cuma Arin sendiri sebetulnya masih takut … Mas Reza itu sebenernya kerjaannya apa. Kok bisa belanja was wis wus saja
“Ke kebun? Lama, Mas? Aku boleh ikut?” tanyaku sambil menatap penuh harap. “Hmmm … Mas takut Adek gak nyaman. Kebunnya di lereng gunung rungkingnya, Dek. Jalannya masih jelek. Di sana banyaknya cowok-cowok semua, nggak apa?” tanyanya tampak ingin memastikan. “Gak apa, Mas.” Aku lekas bangun sebelum Ibu Mertua atau kakak iparku melarang. Bisa mati kutu aku di sini. “Ayo, Dek!” tuturnya sambil bergegas menuju sepeda motor. Aku mengangguk, lekas berpamitan pada Mbak Rena dan Ibu. Setelah itu, lekas duduk diboncengan Mas Reza. Sepeda motor butut supra X jadul itu melaju pelan. Semilir angin pegunungan terasa menyapu wajah. Aku tak memakai helm. Mas Reza bilang tak ada polisi di sana. Iya lah, di gunung mana ada polisi. Berkendara sekitar dua puluh menitan dengan medan turun naik, akhirnya Mas Reza tiba di sebuah area datar. Sebuah kaki gunung di balik bukit. Akses mobil sudah bisa, hanya saja jalannya memang masih berbatu. Tadi hanya beraspal sampai area wisatanya saja. Tampak hamp