"Tuan Edward, mobil Tuan ada di sana!" tunjuk Lean pada mobil Edward yang terparkir di parkiran khusus di depan Mall. Edward hanya melirik mobilnya sekilas, namun ia tetap menarik tangan Lean, menyeret wanita itu agar mengikuti dirinya. Tujuannya tak lain adalah Resto Les Jardins yang terletak tak jauh dari Pusat Perbelanjaan Mewah yang baru saja ia kunjungi. Tempat di mana ia, Oliver, dan Pamannya, biasa menikmati makan siang mereka. "Tu-Tuan Edward, bukankah Anda sudah terlambat untuk bertemu dengan Tuan Oliver? Lalu, mengapa kita tidak naik mobil saja?" usul Lean, sambil menatap bingung pada Edward yang tengah memasang wajah datar. Pria ini sama sekali tidak peduli terhadap tatapan dari orang-orang yang berpapasan dengannya. Baik pria, ataupun wanita, semua tampak menatap padanya, pada Edward Gail. "Aku lihat kau belum membaca agendaku dengan benar, Lean Marquise," celetuk Edward. Ia melirik Lean dari sudut matanya, lalu kembali menatap ke depan. Pada papan nama mewah yang bertu
"Paman masih harus mengawasi proyek di Dubai selama beberapa hari lagi, Ed. Ada apa? Apa kau ...." Oliver menggantungkan kalimatnya, menatap sang adik dengan wajah serius. "Ed? Jangan katakan kalau kau masih memikirkannya!" tambahnya. "Bagaimana denganmu sendiri, Kak? Bukankah hingga hari ini kau juga masih memikirkan Rosi?" balas Edward, kemudian tersenyum sinis setelahnya. Oliver hanya menanggapi ucapan adiknya itu dengan berdehem pelan, sama sekali tidak bisa menampik bahwa sampai sekarang— semua tingkah yang pernah Rosalia tunjukkan di hadapannya, masih sulit untuk ia lupakan. "Setidaknya sekarang aku sudah mencoba untuk berdamai dengan keadaan," cetusnya, tersenyum kaku, karena tidak merasa yakin atas ucapannya sendiri. Mungkin, ia bisa berbohong di hadapan orang lain, namun Oliver tidak bisa membohongi hatinya. Jika di saat ia berhubungan dengan Rose, terkadang ia masih memikirkan Rosalia. "Dengan memperhatikannya secara diam-diam? Maaf, Kak. Aku tidak bisa melakukan hal it
"T-Tuan Edward, apa Anda tidak sadar jika saat ini kita sedang berada di ...." Dengan kikuk Lean menundukkan wajahnya. Tanpa berani membalas tatapan Edward yang seakan ingin merontokkan hatinya. Oh, Tuhan. Jika saja hatinya hanya sepotong keju, mungkin hatinya kini telah meleleh gara-gara tingkah Edward."Mengapa? Apa kau malu pada orang-orang yang sedang memperhatikan kita? Tapi, bukankah tadi kau terus menatapku? ""Huft!" Lean menghela nafas sejenak sebelum ia menjawab pertanyaan itu. Seiring dengan itu, diam-diam ia mencoba untuk meredakan detak jantungnya yang seakan berlomba di dalam tubuhnya.Lean sama sekali tidak mengerti, mengapa Edward selalu senang menggoda dirinya jika ia dan Bosnya ini hanya berdua saja.Namun, di luar itu, perlakuan Edward padanya justru sangat berbeda. Contohnya, satu jam yang lalu saat Oliver memintanya untuk makan bersama. Saat itu, Edward langsung menampilkan wajah datar padanya. Edward bahkan tidak terlihat senang jika Lean makan di meja yang sama
"Apakah menurutmu Tuan Edward akan melakukan sesuatu padaku?" Lean balik bertanya pada Anton. Anton menggedikkan pundaknya, "Setahuku, tidak!" tegasnya. "Tuan Edward adalah seorang pria yang selalu menghormati wanita, dia bahkan sering menyelamatkan para wanita dari gangguan pria-pria jahat di jalan." "Maksudmu, Tuan Edward tidak pernah menyentuh wanita sama sekali?" Anton mengerutkan keningnya, sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan itu. "Selama ini, aku belum pernah melihat Tuan melakukannya. Lagipula, Tuan tampaknya tidak terlalu suka berdekatan dengan wanita. Kecuali ...." "Rosi?" tebak Lean. Anton mengangguk pelan, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan dengan meminta Lean untuk pergi ke ruangan Edward. Melaporkan pada Bosnya itu bahwa meeting sore akan segera dimulai. Sambil berpikir, Lean pun pergi ke ruangan Edward. Sama sekali tidak mengacuhkan tatapan tak suka yang diberikan oleh beberapa karyawan wanita padanya saat ia melewati mereka menuju ke ruangan Edward. 'Rosi
"Baiklah, rapat hari ini selesai! Untuk yang telah menyelesaikan target market, juga laporan pemasukan barang dan penjualan yang telah dikirimkan oleh Tuan Edward siang tadi— segera hantarkan laporan-laporan itu ke kantorku sebelum jam pulang kantor!" pungkas Anton sebagai penutup meeting. Edward segera memutar kursinya menghadap meja setelah Anton mematikan proyektor. Sesaat, ia melirik Lean yang tampak sedang termangu menatapnya. 'Hmm, apa dia ... sangat terkejut dengan permintaanku tadi?' pikirnya. Demi menyadarkan Lean, ia pun berdehem pelan. Suara deheman itu menyentakkan Lean dari lamunannya. Ia mengerjapkan matanya, dan membeku saat menemukan Edward tengah menatapnya dengan satu alis terangkat naik. "Apa yang sedang kau pikirkan, Lean Marquise?" sebelum Lean sempat membuka mulutnya, Edward kembali melanjutkan kata-katanya. "Ikut denganku ke ruanganku, sekarang!" Lean tergugu di kursinya, "Ba-baik, Tuan Edward," sahutnya terbata, sudah pasrah dengan apa yang akan Edward laku
Edward terus menatap Lean, dan Lean justru tersenyum kecut pada atasannya itu. "Tu-Tuan Ed ...." Ucapan Lean itu sontak terjeda oleh suara telpon yang berasal dari atas meja Edward. Namun Edward sama sekali tidak mengacuhkannya, hanya terus menatap Lean sambil menyipitkan matanya. Saat suara telpon itu berhenti, kini ponsel Edward yang berada di dalam saku celana pria itu yang justru berbunyi. Mendengar suara tersebut, Lean pun menunjuk ke saku celana atasannya itu. "Sebaiknya Tuan angkat dulu telponnya, mungkin panggilan itu sangat penting, Tuan Edward," tukasnya. "Hmm, jangan mengalihkan pembicaraan, Lean!" sungut Edward, namun ia tetap merogoh ke dalam saku celananya. Mencari ponsel miliknya yang terus menjerit di dalam sana. Setelah menemukannya, Edward melirik ke layar ponselnya. Decakan pelan terlontar dari bibirnya ketika ia mengetahui siapa yang telah menghubunginya itu. "Ya," sahutnya singkat, tanpa basa-basi pada seseorang yang ada di seberang panggilan. "Tuan Edward?
Keluar dari lobby Gail Mart, Lean menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Kemudian melirik ke kiri dan ke kanan, takut jika ia akan bertemu dengan Edward di tempat ini. Karena tadi, ia pulang begitu saja setelah berbicara dengan Anton. "Semoga saja Anton mau mengatakan pada Tuan Edward jika aku sudah ijin padanya." Merasa yakin jika Edward tidak ada, dengan mantap Lean melangkahkan kakinya menuju sedan perusahaan, di mana supir Gail Mart yang mengantarnya pagi ini telah menunggunya di samping sedan tersebut. Supir itu menyapa Lean ketika Lean tiba di hadapannya. Namun, sebelum Lean sempat masuk ke dalam sedan, tiba-tiba ia mendengar suara klakson mobil. Ketika ia menoleh, ia melihat Anton sedang tersenyum padanya di belakang setir. Di belakang rekannya itu tampak Edward duduk dengan wajahnya yang datar. Atasannya itu hanya melirik sekilas padanya, kemudian meminta Anton untuk segera pergi. "Dasar pria aneh," gerutu Lean sambil masuk ke dalam sedan perusahaa
Pukul 9 malam di sebuah Klub Malam yang ada di Kota L. Bill, sang Pemilik Klub tampak melangkah tergesa-gesa menuju ke sebuah ruangan Vip. Lima belas menit yang lalu, saat ia dalam perjalanan menuju Klub miliknya, tiba-tiba Anton menghubungi dirinya. Mengatakan pada Bill bahwa pria itu yang tidak pernah Bill harapkan kehadirannya, malam ini datang kembali ke Klub miliknya. Menyewa room privasi dan memesan beberapa botol whisky. "Apa yang terjadi pada bocah sialan itu," sungut Bill gemas. Padahal, sudah cukup lama Edward tidak pernah lagi datang ke Klubnya. Dan terakhir kali ia bertemu dengan keponakan bungsu sahabatnya itu adalah saat Rosalia masuk Rumah Sakit. Di depan ruangan yang ia tuju, Bill bertemu dengan Anton yang sedang menunggu dirinya. "Bagaimana keadaannya?" cecarnya pada pria itu. Anton menggelengkan kepalanya, "Sangat buruk, Mr. Bill! Kali ini Tuan Edward menghabiskan satu botol whisky hanya dalam waktu 30 menit saja. Sekarang dia bahkan telah membuka botol ketiga,"