Deg
“Teganya kamu bicara seperti itu Mas? Melati sedang sakit. Aku juga pergi ke dokter dengan sisa uang pemberian Ibumu. Tidak minta lagi padamu seperti kemarin. Kalau terjadi sesuatu pada Melati bagaimana?” Balasku tidak terima. Melati sudah menangis di pelukanku dengan tubuh yang semakin panas.“Salah kamu sendiri nggak becus ngurus anak sampai Melati sakit. Sudah jangan membantah. Kamu bisa kompres dahi Melati sekarang lalu siapkan tas kerjaku.” Perintah Mas Anang tidak mau di bantah. Ia justru dengan santainya memakai dasi di leher.“Ya Allah Mas. Siapa sih yang mau sakit. Lagian aku cuma ijin sama kamu untuk bawa Melati pergi ke rumah dokter. Bukan minta uang lagi. Tenang saja, aku baru akan pergi setelah kamu berangkat kerja.” Seruku kesal tidak bisa menahan amarah. Setengah mengiba padanya agar mengijinkan kami pergi.“Terus siapa yang akan membersihkan rumah ini kalau kamu hanya sibuk dengan Melati? Urusi pekerjaan rumah dulu. Nanti Melati juga sembuh sendiri. Awas saja kalau sampai Ibu lapor kamu bawa Melati pergi sebelum pekerjaan rumah beres. Akan aku usir kalian dari rumah ini.” Ancam Mas Anang tidak main-main lalu segera memakai celana kerjanya.Aku hanya bisa duduk sambil memangku Melati di tepi tempat tidur. Dengan cepat aku mengusap air mata yang sudah keluar. Mau bagiaman lagi? Tidak mungkin aku terpaksa terus merepotkan Hanin yang juga sibuk dengan keluarga kecilnya. Jika sampai besok panas Melati tidak turun, maka aku sendiri yang akan membawanya pergi berobat tanpa harus ijin dulu pada Mas Anang."Tunggu di kamar dulu ya sayang. Ibu amblkan kompres." Melati hanya bisa menganggukan kepalanya dengan lemah.Di dapur, Ibu mertua baru saja meletakan dua kantung nasi uduk yang di belinya dari warung depan. Tanpa menghiraukan keberadaan Ibu mertua, aku mengambil baskom lalu mengisi separuhnya dengan air panas di dispenser. Kemudian, air panas itu sedikit demi sedikit aku campur dengan air dingin hingga berubah menjadi hangat. Tidak lupa juga aku mengambil handuk kecil di kabinet dapur lalu mencelupkannya ke baskom itu."Siapa yang sakit Rum? Apa Anang sakit?" Tanya Ibu mertua dengan nada khawatir. Aku menggelengkan kepala sambil mendengus pelan."Bukan Bu. Melati yang sakit.""Oh." Jawab Ibu mertua datar, Reaksinya sangat berbeda saat menyebutkan tentang Mas Anang tadi.Selesai mengkompres dahi putriku, aku menyiapkan tas kerja Mas Anang lalu meletakannya di sofa ruang tengah. Tampak Mas Anang yang tengah makan nasi uduk dengan teh hangat buatan Ibu mertua. Mereka bedua berbincang hingga tertawa. Sama sekali tidak khawatir dengan kondisi Melati seperti aku. Saat air mata sudah menggenang, aku segera menghapusnya. Aku tidak boleh lemah di saat seperti ini.Dengan cepat aku berjalan menuju dapur untuk mengambil nasi milik Melati. Mengabaikan Mas Anang dan Ibu mertua yang tengah membicarakan tentang cucunya yang lain. Padahal Melati dan keponakan Mas Anang sama-sama anak perempuan. Tapi, Ibu mertua memang hanya sayang dari cucu dari anak perempuannya saja. Tanpa memandang gender seperti kebanyakan kakek dan nenek yang hanya sayang dengan cucu laki-laki mereka saja."Makan dulu ya sayang. Biar cepat sembuh." Bujukku lalu membantu Melati duduk bersandar di dinding."Mulutku pahit Bu. Tenggorokanku juga sakit." Keluh Melati dengan suara yang masih serak seperti tadi."Waktu minum air tadi sakit juga apa nggak?" Melati menganggukan kepalanya. Perasaanku jadi semakin tidak enak."Ya sudah Ibu belikan bubur di luar dulu sama beli obat penurun panas di warung." Pirng itu aku bawa kelur lalu di letakan di meja tengah.Kakiku dengan cepat pergi ke warung terdekat. Membeli bubur ayam yang mangkal di depan rumah tetangga lalu membeli obat penurun panas anak di warung. Tidak lupa juga aku memeriksa tanggal kadaluarsanya. Baru saja aku masuk ke dalam rumah, Mas Anang sudah siap dengan tas kerjanya."Kamu darimana saja Rum? Suami mau berangkat kerja bukannya di bantu untuk bersiap malah kelayapan." Omel Ibu mertua yang tengah menyodorkan sepatu kerja Mas Anang."Aku beli bubur ayam dan obat penurun panas untuk Melati Bu. Mas Anangkan sudah siap sama Ibu. Aku mau masuk ke dalam kaamr dulu biar Melati cepat makan.""Halah, anak sakit gitu doang langsung beli obat." Cibir Ibu mertua dengan mata mendelik tajam."Ya iyalah Bu. Anak sendiri sakit pasti khawatir. Beda sama anak Ibu itu yang biasa saja waktu anak kandungnya sakit, tapi langsung khawati waktu dengar keponakannya sakit hingga ijin kerja demi mengantar cucu kesayangan Ibu itu ke rumah sakit." Sindirku tidak mau kalah yang membuat Mas Anang segera memegang tangan Ibu sebagai isyarat agar diam saja."Nah nggak bisa balaskan. Mungkin tiba-tiba Ibu jadi amnesia sama kejadian waktu itu." Sarkasku balik."Sudahlah Rum. Lebih baik kamu segera masuk agar Melati bisa makan. Asal kamu nggak minta tambahan uang kalau jatahmu habis.""Iya Mas. Nanti aku pinjam adikku lagi kalau jatah uang darimu habis." Kakiku segera masuk ke dalam kamar."Kenapa kamu mengijinkan Harum pinjam terus ke adiknya Nang? Mau di taruh dimana muka kamu di depan keluarga Harum?" Sayup-sayup aku masih bisa mendengar suara Ibu mertua yang memarahi Mas Anang."Didik dong istri kamu supaya bisa belajar hemat."Aku sudah tidak memedulikan mereka lagi karena segera menyuapi Melati dengan bubur ayam. Putriku hanya mau makan tiga sendok saja. Setelah itu dia menggelengkan kepalanya. "Tenggorokanku sakit Bu.""Ya sudah Ibu ambilkan minum dulu. Setelah ini minum obat biar panasnya turun."Mas Anang sudah tidak ada di rumah saat aku keluar untuk mengambil air. Ibu mertua juga pasti sudah pergi ke rumah anak perempuannya yang jaraknya tidak jauh dari sini. Pergi shopping bersama. Kebiasaan mereka yang sudah aku hapal di luar kepala.Setelah meminum airnya, Melati mau minum obat. Hingga hari menjelang malam, panas Melati tidak kunjung turun juga. Mas Anang dan Ibu mertua juga diam saja setiap aku berjalan melewati mereka. Mungkin masih teringat dengan ucapanku tadi pagi.Keesokan harinya, panas Melati tidak kunjung turun. "Pagi ini aku mau bawa Melati ke puskesmas. Terserah Mas mau mengijinkan atau tidak." Ujarku begitu Mas Anang yang baru saja mandi, masuk ke dalam kamar."Tunggu sampai besok saja. Kenapa terburu-buru sih?" Aku menatapnya tajam karena dia juga tidak setuju seperti kemarin."Awas saja kalau kamu mau tetap pergi. Tanggung akibatnya." Selalu saja mengancam seperti itu.Saat Mas Anang sudah keluar dari kamar, tanganku sudah meraih hp untuk mengirimkan pesan pada adikku yang bernama Hanin. [Tolong Mbak, Nin. Kamu bisa datang kesini dengan mobil? Tubuh Melati demam. Tapi, Mas Anang tidak mengijinkanku untuk membawa Melati ke rumah praktik Dokter. Mbak sangat khawatir karena tubuh Melati sudah panas sejak kemarin.]Selagi menunggu balasan pesan dari Hanin, aku kembali mengompres tubuh Melati dengan air hangat yang baru lalu meninggalkannya sejenak untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang tertunda. Dengan cepat aku menyapu halaman depan dan rumah ini. Termasuk ruang makan yang merangkap dengan dapur. Tempat Ibu mertua dan Mas Anang tengah makan.“Kamu ini nggak sopan banget Rum. Suami dan Ibu mertuamu sedang makan malah kamu menyapu sekarang.” Aku hanya melirik Ibu mertua sekilas lalu tetap melanjutkan pekerjaan.“Melati sakit Bu. Mas Anang bilang aku tidak boleh keluar sebelum menyelesaikan pekerjaan rumah hari ini. Lebih cepat selesai, lebih cepat aku bisa membawa Melati berobat. Panas Melati belim turun sejak kemarin?”“Jangan manjain anak deh. Baru sakit demam aja mau di bawa periksa. Tunggu sampai tiga hari kenapa?” Gerakan tanganku seketika terhenti. Mataku sudah panas menahan air mata yang hendak jatuh. Sebisa mungkin aku tahan agar mereka tidak melihatku lemah.“Tentu saja aku sangat khawatir Bu. Namanya juga darah daging sendiri. Seharusnyakan lebih khawatir sama anak sendiri daripada sama keponakan.” Balasku dengan suara serak.“Jangan minta uang pada Anang lagi. Kamu sendiri yang ingin membawa Melati berobat.” Aku menganggukan kepala tanpa ragu.“Iya. Aku tidak akan meminta uang. Nanti aku akan berhutang lagi pada Hanin.” Jawabku sinis sambil menatap mata Mas Anang yang membelalak kaget.Tanpa memberikan kesempatan mereka untuk menjawab, aku segera berjalan menuju ruangan belakang tempat mesin cuci berada. Mengambil cucian yang sudah di keringkan lalu menjemurnya di halaman belakang. Terdengar langkah kaki yang berjalan mendekat kini sudah berdiri di belakangku.“Untuk apa kamu melibatkan Hanin lagi dalam urusan rumah tangga kita? Kamu mau citraku di mata orang tuamu jadi semakin jelek jika Hanin menceritakan hal ini pada orang tuamu?” Hardik Mas Anang dengan suara tertahan.“Aku tidak akan menghubungi Hanin jika tidak berkaitan dengan keperluan Melati. Daripada aku menyesal jika terjadi sesuatu yang buruk pada Melati, lebih baik merendahkan diri dengan minta tolong.” Jawabku tanpa membalikan badan.“Melati hanya panas biasa. Nanti juga akan sembuh sendiri.” Teriak Mas Anang tertahan menarik tanganku agar membalikan badan untuk melihat wajahnya.“Benar. Karena itulah aku akan melakukan apapun untuk kesembuhan anakku. Sama seperti kamu yang mengabaikan kami saat keponakanmu harus di bawa ke rumah sakit. Padahal hanya demam karena radang.” Teriakku keras menarik perhatian para tetangga yang juga sedang menjemut pakaian mereka.“Kenapa kamu harus membawa keponakanku juga?” Wajah Mas Anang sudah terlihat panik. Karena Ibu-ibu yang seumuran dengaku menatapnya dengan tatapan penuh permusuhan.Aku mendengus tidak peduli lalu segera melanjutkan pekerjaan untuk menjemur pakaian ini dengan cepat. Mas Anang justru menjejalkan uang dua ratus ribu ke tanganku dan segera masuk ke dalam. Mungkin ia takut jika akan di amuk masa oleh para tetangga.Saat masuk ke dalam rumah, tidak ada keberadaan Ibu mertua yang biasanya sudah menonton TV di ruang tengah. Aku masuk ke dalam kamar Melati untuk mengambil hp jika ada balasan pesan dari Hanin. Kedua mataku sontak membulat saat tidak melihat keberadaan putriku di atas tempat tidurnya.Sontak saja aku merasa panik hingga berlari menuju ruang tamu. Namun, langkahku seketika berhenti saat melihat Mas Anang dan Ibu mertua sudah duduk di ruang tamu. Selain itu, ada Hanin yang tengah duduk sambil memangku tubuh Melati. Sepertinya mereka baru saja bicara. Tapi, langsung diam saat melihat keberadaanku. “Kamu sudah selesai Mbak?” Tanya Hanin langsung berdiri. Aku hanya bisa menganggukan kepala dengan wajah bingung. “Ayo kita pergi ke rumah sakit sekarang. Biar Melati bisa cepat di tangani. Jangan di bawa ke rumah praktik dokter saja. Keponakan suamimu saja bisa di bawa ke rumah sakit. Kenapa Melati tidak bisa?” Sindir Hanin sambil menatap ke arah Mas Anang dan Ibu mertua yang hanya bisa menundukan kepalanya. Mereka memang segan pada Hanin karena masih mengharapkan harta dari orang tuaku.“Ehm. Adik iparku yang mentransfer langsung biaya anaknya di rumah sakit Nin. Aku hanya mengantarnya saja.” Hanin tertawa tidak percaya. Kentara sekali jika tawanya adalah tawa mengejek.
“Hebat ya kamu sudah membuat harga diri Anang jatuh di mata para tetangga. Seharusnya sejak awal kamu tidak memanggil Hanin untuk datang ke rumah. Lihatlah Melati yang hanya sakit radang tenggorokan saja. Karena kamu, Hanin sudah mengatai Anang sebagai suami yang tidak becus dan menagabaikan keluarganya.” Kata Ibu mertua tanpa henti. Tanpa memperhatikan jika banyak orang yang sudah memegang kamera tengah merekam kami. Mas Anang juga tidak sadar jika Ibunya tengah mempermalukan diri sendiri sehingga menarik perhatian orang lain.“Maaf ada apa ini ribu-ribut?” Tegur suster yang datang bersama Hanin. Ibu mertua langsung gelagapan hingga tanpa sadar mundur menyentuh tembok. Aku menghela nafas lega saat meljhat adikku sudah masuk.“Nggak ada masalah apapun suster. Hanya masalah keluarga saja. Maaf sudah membuat keributan.” Jawabku masih berusaha untuk menutup aib keluarga kami. Membuat aku bisa mendengar beberapa Ibu-ibu yang berbisik kagum padaku. “Oh begitu. Tolong jangan buat keributa
“Baiklah jika Bu Munah tidak setuju. Papa saya akan membawa masalah penganiayaan pada Mbak Harum ke jalur hukum saat Mbak Harum mengajukan gugatan cerai. Dan Mas Anang akan membayar mahal sekali untuk waktu empat setengah tahun karena tidak memberikan Mbak Harum dan Melati nafkah dengan layak. Mungkin jumlahnya akan lebih dari seratus juta. Apakah Mas Anang sanggup untuk membayar uang sebesar itu?” Ibu mertua sudah terlihat gelisah. Padahal Hanin hanya menggertak saja. “Belum lagi dengan nafkah per bulan yang akan di bebankan pada Mas Anang. Jika Mas Anang melanggar, mudah saja bagi Papa membuat Mas Anang keluar dari pekerjaannya.” Sekali lagi Hanin membawa nama Papa untuk menakuti mereka. Padahal belum tentu Papa mau membelaku.“Ibuku hanya bercanda saja Nin. Tentu saja aku akan menyerahkan semua gajiku pada Harum. Asal Harum mau memaafkan aku.” Tangan Mas Anang terlihat memegang tangan Ibunya agar tidak bicara lagi.“Iyakan Bu?” Mas Anang mengedipkan matanya berulang kali.“Iya.” J
Ya ampun. Bagaimana ini? Kalau Papa dan Mama semakin marah padaku, mereka pasti tidak akan mau untuk membantuku lagi. Sia-sia sudah ancaman yang di berikan Hanin pada Mas Anang dan Ibu mertua. Hanin menjelaskan kondisi Melati pada Papa dan di rumah sakit mana Melati sudah di rawat. Selain itu, Hanin juga menceritakan tentang rencana kami pada Papa. Membuat aku melotot tidak setuju. Tidak lama kemudian, Papa sudah minta Hanin menyerahkan hpnya padaku.Selama lima tahun ini aku sudah tidak pernah bicara berdua saja dengan Papa. Membuat dadaku berdegup kencang. Tanpa terasa air mata sudah menggenang di pelupuk mataku. Mengingat kesalahan masa lalu saat aku sudah mengabaikan nasihat Papa dan Mama demi bisa menikah dengan Mas Anang.“Jangan menangis Mbak. Bicara berdua saja dengan Papa disini. Biar aku yang beli makanan di kantin.” Bisik Hanin menguatkan saat menyerahkan hpnya padaku. Aku hanya bisa menganggukan kepala lalu dengan cepat menghapus air mata yang menggenang agar orang-orang
“Nggak percuma Mas Anang selama ini pencitraan sebagai orang yang taat agama. Jadi, kalau Mbak Harum menuduhmu nggak akan ada yang percaya. Pasti banyak tetangga kalian yang akan lebih percaya pada Mas Anang daripada Mbak Harum.” Langkah kaki Hanin yang mendekat membuatku seketika meletakan jari telunjuk di depan bibir agar Hanin tidak bicara dulu. Mengerti dengan isyarat yang kubuat, Hani berjalan perlahan lalu berdiri di sebelahku. Kami berdua menguping percakakan keluarga Mad Anang.“Sudahlah jangan bahas rencana kita di rumah sakit. Kalau ada suster dan dokter yang mau masuk bisa gawat. Apalagi kalau Harum dan Hanin sampai mendenagr perkataan kalian tadi. Kita bisa bicarakan semuanya lagi di rumah atau lewat hp.” Tegur Ibu mertua sehingga aku tidak bisa mendengar lebih banyak lagi. Karena percakapan mereka sudah beralih pada hal lain, Hanin mengajakku untuk masuk ke dalam kamar sekarang.“Kita masuk sekarang, Mbak.” Aku menganggukan kepala lalu membuka pintu tepat di hadapan Mas A
Tubuh Mas Anang seketika menegang mendengar peringatan dari Rasyid. Membuat aku berusaha menahan tawa. Setelah kepergian keluarga Hanin, Mas Anang dan Ibu mertua kembali duduk di sofa. Aku sudah menggelear seprai tipis yang tadi di bawakan oleh Rasyid. Lengkap dengan bantal dan guling.“Ibu nanti tidur di atas sofa saja biar nyaman. Aku dan Mas Anang akan tidur di bawah.” Ujarku pelan tanpa menatap ke arah Ibu dan anak itu. Entah bagaiaman raut wajah mereka saat ini.“Nggak usah Rum. Biar Ibu saja yang tidur di bawah. Kasihan Anang kalau badannya pegal. Diakan masih harus kerja besok.” Aku hanya bisa memutar kedua bola mataku malas. Di usia yang sudah setua itu saja Ibu mertuaku tetap memanjakan Mas Anang seolah dia masih anak kecil. Sampai Ibu mertua tidak memberikan perhatiannya sebagai seorang Nenek pada Melati.“Jangan Bu.” Ucapku tegas membuat senyum di wajah Mas Anang seketika luntur. Mulai malam ini, aku akan membuat mereka tidak bisa mengaturku lagi.“Kalau aku membiarkan Ibu
Raut wajah Ibu mertua sudah berubah menjadi datar mendengar jawaban Papa. Walaupun senyum tetap tersungging di bibirnya. “Kenapa Pak Besan? Kalau Harum kerjakan lumayan untuk tambah pemasukan keluarga. Biar bisa membantu Anang mendapatkan uang.” Papa tetap menggelengkan kepalanya.“Mencari uang itu sudah tanggung jawab suami. Istri bisa membantu kalau memang nafkah yang di berikan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya membesarkan anak. Tapi, setahu saya gaji Anang itu sudah lebih dari tujuh juta per bulan. Cukuplah untuk kebutuhan kalian dir umah ini. Di tambah dengan kebutuhan Melati yang sudah sekolah. Karena saya yakin putri kami bsia mengelola gaji suaminya dengan baik.”Ibu mertua dan Yara jadi salah tingkah karena Papa tahu jumlah gaji Mas Anang. Maklum saja karena perusahaan tempat Mas Anang bekerja masih rekanan bisnis dengan perusahaan Papa. Kadang kala aku mendengar Mas Anang bercerita pada Ibu mertua jika dia datang ke perusahaan Papa karena kontrak kerja sama d
“Kenapa kamu terkejut seperti itu Rum? Hubungan kita dengan orang tuamukan sudah membaik. Aku juga ingin bisa bekerja di perusahaan keluargamu seperti Rasyid. Lagipula kamu sendiri menolak bekerja untuk membantuku memenuhi biaya hidup kita. Kalau aku bekerja di perusahaan keluarga sendirikan gampang. Bisa langsung dapat jabatan tinggi. Atau minimal jabatan yang setara dengan perusahaan tempatku kerja sekarang." Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil memijat pelipis yang mendadak pening. Walaupun aku sudah menduga hal ini, rasanya tetap mengesalkan sekali.“Bukan begitu caranya Mas. Aku memang belum pernah cerita sama kamu kalau Rasyid itu bekerja di perusahaan Papa murni karena dia lolos seleksi lima tahun lalu. Terus menikah dengan Hanin. Jadi, seolah menantu Papa bisa bekerja disana dengan mudah. Padahal nggak begitu kenyatannya. Rasyid itu benar-benar merangkak dari bawah untuk sampai ke jabatannya sampai sekarang. Sama seperti kerja kerasmu di kantor. Bahka Rasyid menolak jaba