“Ayah, sakit!” racau Ken lagi, “Mom, ayah mana?”Karen memang tak terlalu pandai menenangkan Ken, sebab ada Arashi yang selalu bisa diandalkan.Wanita itu seketika tersadar. Sedekat apapun ia dengan anaknya, peran seorang ayah tak kalah pentingnya.Sedangkan Diaz, ia tak tahu harus berbuat apa. Selama ini, ia jarang sekali berinteraksi dengan anak kecil.Ia hanya bisa memandang iba.Untungnya, itu tak berlangsung lama. Arashi telah datang dengan membawa es krim kesukaan Ken.“Ta—da.” Arashi memamerkan paper bag yang ia bawa.“Maafkan ayah, boy. Tadi ayah ada sedikit urusan.”Arashi duduk di samping Ken, lalu mengecup kening bocah itu.Dibelainya kepala Ken lembut. “Di mana yang sakit?”Ken menunjuk bahu dan tangan kirinya. Anak kecil itu terus menangis dan mengeluh sakit--mungkin efek biusnya sudah habis.“Apa sakit sekali?” tanya Arashi, ia masih membelai kepala Ken. Ken mengangguk.“Jagoan ayah harus?”“Ku-at,” jawab Ken terbata.“Pintar.”Lagi. Ada sesuatu yang aneh di hati Diaz m
Mobil itu berhenti setelah menabrak mobil lain di depannya. “Astaga. Untung saja. Sepertinya tidak terlalu parah,” gumam Diaz. Pria itu sudah melepas sabuk pengaman dan melongok bumper mobil yang di kendarainya. Ia lupa bahwa diseblahnya ada anak manusia yang gemetaran ketakutan. “Ya Tuhan, Diaz. Kamu benar-benar ingin membunuhku?” pekik Karen. Jantungnya berdebar kencang, kaget. Sabuk pengaman benar-benar menyelamatkan hidupnya. Diaz tersadar, menoleh ke arah Karen, “kamu tidak apa-apa?” tanya Diaz panik. Ia memindahi tubuh Karen. Karen menekan pelipisnya, pening. “Berapa kali aku hampir mati karenamu,” lirih Karen. Ingin hati mengucapkan maaf, tapi mulut berkata lain. “Ini semua salahmu, kalau kamu tak memancing keributan, kejadian ini tak akan terjadi.” Dua anak manusia itu masih melanjutkan pertengkaran. Karen mendengus kesal. Tuk! Tuk! Tuk! Kaca pintu mobil diketuk dengan tidak sabar. Diaz menurunkan kaca jendela. “Hei, keluar dan selesaikan masalah kita,” perint
Karen mendorong pelan tubuh Diaz. Nyaris saja ia terhipnotis oleh pesona Diaz Pradana. “Jangan berbuat sesukamu, Diaz Pradana.” Karen yang salah tingkah, membuat Diaz merasa gemas. “Ayo kita makan, aku harus segera ke rumah sakit,” ucap Karen canggung. Karen menurunkan tangannya dari dada Diaz. Lalu bergeser dua langkah untuk melepaskan diri dari pria itu. Ternyata tidak semudah itu lepas dari seorang Diaz Pradana. Suaminya itu mencekal kedua tangannya, lalu menariknya, memangkas jarak. “Apa kamu tak merindukanku?” bisik Diaz. Karen menunduk, menghindari tatapan mata Diaz. Jantungnya tak bisa ia ajak kompromi, seperti akan melompat ke luar dari rongga dadanya. Dapat dipastikan wajah telah merona. “Jangan seperti ini, Diaz,” lirih Karen. “Apa jantungmu berdebar saat ini?” sinis Diaz. Karen berdecak dalam hati, Diaz sungguh pandai mempermainkan hati Karen. Di sisi lain, Ken terbangun dari tidurnya. “Ayah, mommy mana?” “Kamu terbangun, boy!” “Mommy sedang pulang mengambi
Sampai di tempat tinggalnya, Diaz langsung merebahkan diri. Ternyata tubuhnya letih sekali. Tak butuh lama untum sampai ke alam mimpi. Entah kapan terakhir ia bisa tidur senyenyak ini semenjak kematian Elok. Insomnianya berangsur menghilang saat ia melihat paras ayu sang istri. Meski masih harus meminum obat tidur tapi reaksinya lebih cepat ketimbang biasanya. Matahari bersinar terang memasuki cela-cela gorden yang tak rertutup rapat. “Jam berapa ini?” gumam Diaz. Ia mencari handphone yang semalam diletakkannya sembarangan entah dimana. Pukul 11 siang, tulisan itu nampak jelas di layar benda pipih tersebut. Ada sepuluh panggilan tak terjawab salah satunya dari Henry—ayahnya—dan Glen. Pria itu kembali merebahkan diri, tak ada niatan untuk menghubungi dua orang itu. Ia justru membuka galeri fotonya, melihat foto selfinya bersama Kenshin. “Hei, son. Kau tampan sekali. Maafkan daddy,” monolog Diaz. Panggilan dari ayahnya membuat layar itu berganti dengan foto profil sang ayah.
Mendengar suara asing, reflek Diaz menutup teleponnya.“Siapa itu? Apa pegawai itu salah menekan nomor telepon?”Diaz kembali mendatangi pegawai tadi untuk mengkonfirmasi kebenaran nomor yang ditelepon. Pagawai itu yakin ia benar.Diaz heran mengapa ada orang yang dengan mudahnya mengangkat panggilan telepon milik orang lain.Tak habis akal Diaz meminta kontak nomor Karen, namun sayangnya pegawai itu tidak di perbolehkan memberikan kontak pemilik dan kerabat pada orang lain.“Apa katanya? Kerabat? Jadi bengkel ini milik siapa? Aaarrrgghhh,” Diaz mengerang dalam hati.“Siapa sebenarnya kamu ini, Ren?” Diaz merasa frustasi.Pupus sudah harapannya mengetahui keadaan dan keberadaan Ken.Sepertinya benar apa kata Arashi ia harus lebih bersabar. Tapi sampai kapan?Diaz mengacak-acak kasar rambutnya.*“Apa katanya kak?” tanya Karen pada Haru.Saat panggilan masuk, Karen sedang sibuk membersihkan tubuh Ken. Kepalang tanggung jika
Karen mengedipkan mata, bingung harus menjawab apa.Lantas ia menoleh ke arah Arashi, kakaknya itu hanya mengedikkan bahu.Ken masih menatap intens sang ibu, berharap sang ibu segera memberinya jawaban.“Mmmm, boleh tapi tidak sekarang atau besok ya sayang. Besok kan teman-temanmu akan datang. Mungkin lusa atau menunggu saat paman tidak sibuk.”Ken mengangguk paham.“Kalau boleh mom tahu, kenapa kamu ingin paman Diaz datang menjengukmu?” tanya Karen yang penasaran dengan kemauan anaknya.“Entahlah, mom. Aku hanya merasa rindu pada paman Diaz,” jawab Ken polos.“Aku belum menyapanya dengan benar kemaren, aku merasa bersalah,” sesal Ken.“Apa ini yang dinamakan ikatan batin ayah dan anak, mereka baru saja bertemu, tapi Ken sudah bisa mengatakan bahwa ia merindukan ayahnya,” batin Karen.Karen memandang ke Arashi, pria itu nampak tidak peduli dengan obrolannya dengan Ken.Karen mendekati Arashi yang berada di balkon kamar ruang rawat Ke
Arashi masih menunggu reaksi dari Diaz, sejujurnya ia sudah tidak sabar.Pada akhirnya Arashi tahu, Diaz lebih mementingkan ego dan harga dirinya.“Jika tidak ada lagi yang ingin Anda bicarakan, silakan keluar. Pintu keluar ada di belakang Anda,” ucap Arashi.Pria itu berdiri lalu menuju meja kerjanya. Sedangkan Diaz masih berdiri mematung di tempat semula. Arashi tak ingin repot-repot memberi informasi pada adik iparnya.Sedangkan Diaz masih berkutat dengan hatinya.“Berpikir Diaz, berpikir. Apa yang harus kamu lakukan,” batin Diaz.Otaknya tiba-tiba tidak berfungsi sebagaimana mestinya.“Baiklah kali ini kau menang Arashi. Asal kau tahu saja aku tidak kalah. Ini ku lakukan semata demi aku bisa membalas Karen.”Kata-kata hanya itu terpatri dalam sanubarinya.“Tolong beri tahu aku dimana kamar rawat Ken.” Kata-kata itu akhirnya lolos juga dari bibir Diaz.Arashi tersenyum simpul. Ia memberi tahu dimana ayah kandung Ken it
Karen melongo tak berkedip mendengar ucapan Diaz. Ia tidak menyangka ayah kandung Ken akan berbicara seperti itu. “Hei, apa maksudmu, Diaz?” tanya Karen. Wanita itu berjalan ke arah dispenser, entah mengapa, ia tiba-tiba merasa haus, kemudina meminum satu gelas air hingga tandas. “Jadi aku akan punya tiga ayah?” tanya Ken antusias. “Hah?” ucap Diaz penuh tanya. Ken menyebutkan orang-orang yang ia anggap sebagai ayah sesuai prioritasnya. “Iya, pertama ayah Arashi, kedua papi Rain, dan yang terakhir paman.” “Hei, kenapa aku di urutan terakhir?” protes Diaz dangan nada bercanda. “Sedangkan aku ini ayah kandungmu,” bisik hati Diaz. “Karena paman, ayah terakhir yang datang padaku," jawab Ken jujur. Bocah cilik itu kemudian tertawa renyah. Membuat Diaz tertampar dan cemburu dengan dua ayah lainnya, terutama Arashi yang selalu ada untuk Ken. “Lalu kenapa kamu masih menyebutku paman? Sekarang aku juga ayahmu.” Protes Diaz lagi. “Aku harus panggil paman apa ya!” Ken nampak berpikir