Vinka berjalan santai di taman rumahnya sambil menikmati hawa dingin malam dan keindahan bulan purnama yang nampak sangat indah malam ini.
Tidak ada alasan khusus atas tindakannya kali ini. Ia hanya bosan di kamar dan tidak tau harus berbuat apa untuk menghilangkan rasa bosan yang ia rasakan kali ini.
Langkahnya mendadak terhenti saat matanya tidak sengaja melihat sebuah bunga krisan miliknya yang ternyata sudah mekar.
Ia berjongkok di hadapan bunga itu dengan tangannya yang mulai menyentuh bunga itu. Ia tersenyum kecil, mengingat bahwa bunga krisan adalah bunga yang pertama kali ia taman bersama dengan kakak laki-lakinya yang telah lama meninggal.
"Bukankah itu bunga yang bagus?"
Suara itu tiba-tiba saja muncul dari belakang Vinka. Vinka terkejut sempurna, karena sebelumnya ia sangat yakin bahwa tidak ada siapa pun di taman itu selain dirinya. Dan tiba-tiba saja ada suara laki-laki dari arah belakangnya yang membuatnya langsung berdiri dan berbalik badan.
Mata Vinka membulat sempurna saat melihat ada seorang laki-laki dengan jaket berwarna putih dengan bagian lengannya yang ditekuk sampai siku.
"Dalfon," lirih Vinka menyebutkan nama laki-laki itu.
Benar, laki-laki itu adalah Dalfon. Penampilannya memang sedikit berbeda. Namun Vinka sangat yakin bahwa laki-laki itu adalah Dalfon. Dan Dalfon sendiri tersenyum kecil saat mendengar namanya disebut oleh Vinka.
"Sepertinya sudah lama sekali kita tidak berbicara berdua seperti ini," ujar Dalfon sambil berjongkok di hadapan bunga yang tadi dilihat Vinka.
"Kamu? Kenapa kamu tiba-tiba saja muncul? Dan dari mana saja kamu selama ini? Apakah kamu tau selama ini ada banyak sekali orang mencarimu?" tanya Vinka dengan segala perasaan cemas di benaknya.
"Kenapa aku tiba-tiba saja muncul? Bukankah sudah jelas karena keluargaku sedang dalam masalah besar? Aku mendengarnya. Fla muncul dan ingin menghancurkan para penyihir bukan?"
Vinka sedikit kebingungan mendengar hal itu. Bukan karena tentang Dalfon yang mengetahui tentang Fla. Melainkan tadi Dalfon mengatakan kalimat 'keluargaku'.
"Bagaimana kabar Alyssa?" tanya Dalfon mengalihkan topik pertanyaan yang ada.
"Aku tidak bisa bilang dia baik-baik saja. Karena semenjak hari itu, dia menjadi lebih pendiam dan selalu untuk mengasingkan diri di perpustakaan atau pun kamarnya. Dia merindukanmu," jawab Vinka.
"Aku ingin menemuinya. Namun aku tidak tau harus berbuat apa. Aku sendiri belum tau siapakah orang yang benar-benar aku cintai. Jadi untuk sekarang mungkin aku akan seperti ini terus."
"Kamu akan terlihat seperti pengecut jika seperti ini? Bukankah sudah jelas wanita beruntung mana yang telah mendapatkan hatimu? Dan aku rasa semua orang sudah tau akan hal itu."
Dalfon kembali tersenyum kecil mendengar hal itu. Wanita yang berhasil merebut hatinya memang ada. Namun Dalfon masih ragu apakah memang rasa cinta yang ada di dalam hatinya ini adalah murni rasa cinta seorang laki-laki kepada seorang perempuan. Atau rasa cinta seorang anak kepada wanita yang telah melahirkannya.
"Aku tidak mencintainya. Aku membencinya. Bahkan hanya dengan melihatnya saja, membuatku ingin menghantam seluruh hal yang di sekelilingku. Perempuan egois, angkuh, dan tidak pengertian sepertinya mana mungkin bisa mengambil hatiku. Aku membencinya dan akan selalu membencinya," ujar Dalfon.
Ungkapan kebencian muncul begitu saja dari mulut Dalfon saat dirinya mengingat tentang Alice.
Vinka bingung akan hal itu. Pasalnya ia sudah mendengar semua cerita tentang awal pertemuan Alice dan Dalfon, sampai pada akhirnya perpisahan mereka berdua.
Dari seluruh cerita yang ia dengar itu, ia bisa menyimpulkan bahwa memang kedua orang itu saling mencintai. Dan kedua orang itu juga tau bahwa masing-masing dari mereka menyimpan rasa yang sama. Namun sayangnya kedua orang itu tidak bisa mengungkapkannya saja.
Kebingungan Vinka menemui jalan keluar saat Vinka melihat raut sedih Dalfon. Vinka sadar bahwa semua yang dikatakan oleh Dalfon tadi bukankah sebuah kebenaran. Dalfon mengatakan itu semua hanya untuk menutupi rasa cinta yang sampai sekarang masih terus membayangi dirinya.
Vinka tersenyum lebar sambil jongkok di samping kanan Dalfon. Dengan lembut, ia menarik kepala Dalfon dan mengarahkannya pada bahu kirinya. Ia tau bahwa bagi Dalfon, bahu miliknya tidak senyaman Alice. Namun untuk sekarang hanya dirinya yang bisa memberikan bahu untuk Dalfon.
"Kamu sangat mencintainya, ya?" tanya Vinka dengan suara lembut.
"Kamu pasti sangat menderita selama ini. Aku tidak akan menceramahi mu tentang cinta yang sekarang kamu rasakan. Namun aku ingin mengingatkanmu satu hal. Di dunia ini tidak semuanya bisa dimiliki. Tidak peduli seberapa banyak uang dan kekuasaan mu, pasti ada beberapa hal yang tidak akan bisa kamu miliki atau pun gapai. Terkadang rasa itu hanya sementara. Mereka muncul karena terbiasa dan bisa saja menghilang secara tiba-tiba. Kamu sudah terbiasa di sisinya. Menghabiskan waktu dengan sebuah tawa bersamanya. Dan tentu saja nyaman dengan segala tentangnya. Namun jika memang perasaan ini menyiksamu, bukankah akan lebih baik jika kamu mengalihkannya pada orang lain? Alyssa dan Arasha sampai detik ini masih menyukaimu. Aku rasa kedua perempuan itu hampir setara dengan Alice," lanjut Vinka panjang lebar.
Vinka sadar bahwa tidak peduli sebanyak apa pun ia berbicara, tidak akan ada satu pun kalimat darinya yang bisa mencapai hati Dalfon. Dan akan sangat sulit untuknya supaya bisa menyadarkan Dalfon bahwa di luar sana masih ada banyak sekali wanita yang lebih baik dari Alice.
Tidak peduli seberapa banyak wanita cantik di luar sana. Tidak peduli seberapa banyak wanita baik di sekitarnya. Tidak peduli seberapa banyak wanita yang menunggunya. Jika hatinya sudah memilih satu wanita, maka hanya akan ada wanita itu di matanya.
Mungkin itulah yang sekarang sedang dialami oleh Dalfon.
"Benar. Lagipula untuk apa aku memikirkan itu sekarang. Ada hal yang lebih penting yang harus aku lakukan," ujar Dalfon lalu tersenyum kecil.
"Aku ingin membuat kesepakatan denganmu," lanjut Dalfon sambil mengangkat kepalanya dari bahu Vinka lalu menatap wajah Vinka secara saksama.
"Kesepakatan?" tanya Vinka sambil menatap Dalfon.
"Benar. Kesepakatan. Tentang tawaranmu waktu itu, aku akan menerimanya. Aku akan menggunakan nama Virgo sebagai nama belakangku. Dan akan mendukung seluruh hal yang kalian putuskan. Sebagai gantinya, bantu aku untuk menjauh dari keluarga Gracia," jawab Dalfon.
Mata Vinka membulat sempurna mendengar hal itu. Ia tidak percaya bahwa hari ini akan datang. Hari di mana Dalfon bersedia untuk menggunakan nama keluarganya sebagai nama belakang.
Tentu saja itu adalah hal yang sangat membahagiakan untuknya. Bukan cuma karena potensi Dalfon dan segala kemampuan Dalfon yang telah diakui oleh para Lima Keluarga Besar. Namun juga karena fakta bahwa Dalfon adalah anak dari kakaknya yang telah lama meninggal.
Namun apakah ini memang adalah tindakan yang benar?
Vinka bimbang dengan kesepakatan yang ditawarkan oleh Dalfon. Jujur saja, ia sudah sangat menantikan saat-saat di mana Dalfon muncul di depan publik dengan nama Virgo sebagai nama belakangnya.Namun Vinka merasa ada yang salah dengan ini semua. Menjauhkan Dalfon dari keluarga Gracia. Ia bisa saja melakukan hal itu dengan mudah. Namun Vinka sadar bahwa itu bukanlah hal yang seharusnya ia lakukan.Kesepakatan ini sangat menguntungkan. Namun juga sangat mengerikan. Menguntungkan karena dengan masuknya Dalfon sebagai anggota keluarganya, maka ia tidak perlu mengkhawatirkan lagi bagaimana nasib keluarganya di masa yang akan datang. Vinka yakin bahwa laki-laki itu bisa membuat keluarganya lebih berkembang dan mungkin saja bisa membuat keempat keluarga yang lainnya tunduk pada keluarga mereka.Namun kesepakatan ini juga sangat mengerikan baginya. Pasalnya ia harus menjauhkan Dalfon dari Alice. Hubungannya dengan Alice akhir-akhir ini sudah terbilang sangat baik. Dan jika ia melakukan hal it
Seluruh anggota Keluarga Lima Besar diundang ke mansion milik keluarga Virgo. Sebuah pesta diadakan oleh Vinka malam ini. Namun tidak ada yang tau untuk apa pesta itu diadakan. Bahkan para anggota keluarga Virgo sendiri pun belum mengetahui alasan kenapa tiba-tiba Vinka mengadakan sebuah pesta dan mengundang banyak sekali anggota Keluarga Lima Besar.Hanya Vinka yang tau alasan dari pesta itu diadakan. Dan tidak ada satu pun orang yang berhasil mendapatkan jawaban atas alasan Vinka membuat pesta itu.Semua anggota Lima Keluarga Besar diundang secara khusus. Bukan cuma para anggotanya saja, para pengawal juga diizinkan untuk datang dan menikmati pesta selama para pengawal menggunakan pakaian yang pantas dan tidak melupakan perbedaan status mereka.Dan pesta itu berlangsung dengan lancar sampai sekarang. Dengan segala makanan dan minuman yang tersedia, para tamu undangan menikmati hidangan sambil menikmati sebuah iringan lagu yang telah dimainkan oleh penyanyi kelas atas yang telah dise
Alice menatap secara saksama punggung laki-laki yang telah menyelamatkannya. Ia sangat merindukan laki-laki itu. Saking rindunya, ia ingin langsung memeluk tubuh laki-laki itu dan tidak akan melepaskannya lagi untuk selamanya.Namun Alice tidak bisa melakukan hal itu. Masalah antara dirinya dan Dalfon masih belum selesai. Masih ada beberapa persoalan yang belum menemukan titik terang dan sebelum semua masalah itu selesai, hubungan mereka tidak akan pernah bisa sedekat dulu."Sepertinya terlalu banyak yang menjadi korban di sini," ujar seorang perempuan dengan gaun berwarna putih dan sebuah topi berjenis sun hat.Perempuan itu berjalan santai melewati tubuh para korban dengan sebuah senyuman di wajahnya. Tidak ada satu pun orang yang bisa melihat secara utuh wajah dari perempuan itu. Pasalnya wajah perempuan itu ditutupi oleh selembar kertas dengan sebuah huruf kuno. Tentu saja itu bukanlah sebuah kertas biasa. Kertas yang digunakan oleh perempuan itu adalah kertas mistis. Kertas yang
Arasha melangkahkan kakinya keluar dari gerbang sekolah. Ia sangat letih dengan segala kegiatan organisasinya. Jadi ia berniat untuk langsung masuk ke dalam mobil jemputannya dan sesampainya di rumah, ia akan langsung merebahkan tubuhnya di kasur empuknya.Dari tempatnya sekarang, ia sudah bisa melihat jelas sebuah mobil putih milik keluarganya terparkir di seberang jalan dan ada beberapa pengawal sedang berjaga-jaga di sekitar mobil itu.Pemandangan yang sangat membosankan. Setiap ia pulang sekolah, selalu saja pemandangan seperti ini yang ia lihat. Sebenarnya ia sudah mulai jenuh dengan ini semua. Sebenarnya ia pernah meminta ayahnya supaya tidak mengirimkan mobil jemputan berserta para pengawal untuk dirinya. Namun ayahnya menolak permintaan Arasha mengingat sekarang Fla sedang gencar-gencarnya mencari titik lemah para Lima Keluarga Besar. "Mau kencan sebentar?" Suara itu tiba-tiba saja terdengar di telinga. Sontak dengan kecepatan tinggi, ia langsung menoleh ke arah kanan. Untu
Dalfon dan Arasha sudah sampai di wahana bermain yang sangat terkenal di kota mereka. Tentang penyamaran, Arasha tidak menggunakannya. Karena Dalfon baru teringat bahwa ia bisa menyamarkan penampilan orang lain dengan cara menyelimuti orang itu dengan aura miliknya.Jadi Arasha sekarang bisa melakukan semua yang ingin ia lakukan tanpa harus menjaga martabatnya sebagai penerus keluarga Mafuyu.Dalfon sendiri sangat bahagia saat Arasha terus menerus menariknya menaiki satu per satu wahana yang ada di sana.Arasha terlihat sangat antusias dan berbahagia. Sedangkan Dalfon sendiri juga terlihat sangat menikmati segala sesuatu yang bisa menimbulkan senyuman di bibir Arasha.Roller coaster, bumper car dan beberapa wahana yang lainnya mereka nikmati. Tidak lupa juga mereka memasuki Area Adventure land. Yang merupakan sebuah area yang disiapkan supaya para pengunjung bisa merasakan rasanya berpetualang di dunia antah berantah, banyak area yang bernuansa seperti hutan, teluk, dan gedung-gedung
Dalfon dan Arasha sudah ada di depan kediaman Mafuyu. Dalfon telah mengantarkan perempuan itu pulang ke rumahnya dengan selamat. Dan sekarang adalah akhir dari segala kesenangan mereka.Berpisah. Mereka akan melakukan itu. Arasha akan melanjutkan kehidupannya, sebagaimana seharusnya. Sedangkan Dalfon harus melakukan apa yang seharusnya ia lakukan."Mau mampir sebentar?" tanya Arasha sambil menunjuk rumahnya."Sebentar lagi akan hujan, jadi aku harus pulang secepatnya. Ditambah lagi, aku harus mampir ke rumah Vedora untuk mengembalikan mobilnya," jawab Dalfon sambil menggeleng pelan."Baiklah kalau begitu. Terima kasih untuk hari ini. Aku sangat-sangat menikmatinya.""Ya, aku juga."Mereka kembali terdiam. Masih banyak lagi hal yang ingin mereka sampaikan, namun mereka bingung dengan cara apa mereka harus memulainya."Oh, iya. Ini foto yang tadi diambil di foto box. Kamu simpan dua dan aku juga dua," ujar Arasha sambil mengambil foto card di dalam tasnya lalu memberikannya pada Dalfon.
Arasha, Alyssa, dan Vedora sedang berada di ruang OSIS. Seperti biasa, mereka sedang mengecek beberapa dokumen sekolah dan memberikan tanda tangan pada surat-surat perizinan acara sekolah.Langit juga ada di sana, namun ia hanya duduk di sofa sambil bersantai. Ia tidak melakukan apa pun selain memainkan ponselnya dan memakan cemilan yang tadi ia beli di kantin bersama Vedora."Aku tidak melihat Dalfon hari ini di sekolah, apa dia tidak masuk lagi?" tanya Langit setelah menguyah makanan yang ada di mulutnya."Bukankah itu sudah biasa? Dia masuk dan bolos sesukanya. Untuk apa kamu memikirkannya?" tanya Alyssa balik.Tangan kanan Arasha berhenti saat mendengar nama Dalfon disebutkan oleh Langit dan Alyssa. Ia masih belum bisa melupakan kejadian kemarin. Atau lebih tepatnya, ia selalu mengingat segala kejadian malam itu di setiap detiknya. Membuatnya merasa kesal dan sedih."Tentang Dalfon. Sepertinya kemarin dia sedang ada acara. Dan entah bagaimana ceritanya kemarin malam saat hujan der
Vedora kebingungan karena tiba-tiba saja Dalfon mengajaknya untuk pergi pada tengah malam. Menaiki sebuah mobil, mereka pergi ke kaki bukit. Dan sepanjang jalan, Dalfon sama sekali tidak memberitahunya tentang ke mana mereka akan pergi.Vedora sendiri tidak banyak tanya, karena yakin Dalfon akan langsung memberitahunya jika mereka sudah sampai di tempat.Vedora memarkirkan mobilnya sesampainya di kaki bukit. Mereka melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki. Di perjalanan kali ini, Vedora sangat yakin bahwa tujuan mereka adalah puncak. Namun Vedora masih bingung untuk apa Dalfon mengajaknya ke sana.Dan akhirnya mereka benar-benar sampai di puncak bukit. Mereka berdua berjalan ke tepian dan melihat ada sebuah kota mati yang sepertinya sudah sangat lama sekali tidak ditinggali.Di kota itu sama sekali tidak ada pencahayaan dan terlihat sangat kosong. Yang menandakan bahwa memang di kota itu tidak ada siapa pun."Pakai ini," ujar Dalfon sambil memberikan sebuah topeng rubah pada Vedor