"Kau seharusnya tetap tinggal di rumah."Dante mengomel saat menuntun Lizzy masuk ke dalam sebuah minimart. Dia melirik lengan gaun Lizzy yang sedikit koyak, dan meninggalkan bekas goresan di kulit putih wanita itu. Meskipun tidak mengeluh secaara terang-terangan, dia sempat mendengar Lizzy meringis menahan sakit."Aku mencarimu setelah mendengar suara motormu keluar halaman," balas Lizzy sambil mengikuti Dante yang tengah mencari sesuatu dengan berjalan di setiap lorong minimarket itu. "Kau bahkan tidak menikmati makan malam yang dibuat oleh Sofia. Dia pasti kecewa."Sepertinya Dante tidak mendengar kata-kata Lizzy karena matanya terpaku pada sebotol obat antiseptik. Tangannya segera mengambil benda itu, lalu matanya mencari-cari yang lainnya. Tidak jauh dari itu, dia menemukan setumpuk bungkusan kapas yang tersusun rapi di rak. Lalu buru-buru dia meraih sekotak plester."Bisa-bisanya kau pergi tanpa peduli terhadap bahaya yang tengah mengincarmu," ucap Dante beberapa menit kemudian.
"Seperti yang kau lihat."Emily mengedikkan bahunya, dan bibirnya mencebik. Meskipun dia berusaha menutupi perasaannya yang sebenarnya atas pertemuan ini, tangannya terlihat gemetar saat meletakkan piring-piring berisi makanan, gelas dan sebuah ember berisi penuh dengan es batu dan sebotol sampanye. Raut wajahnya tegang dengan bibir yang terkatup rapat."Kalau mau, kau bisa bergabung dengan kami di sini," ucap Dante sengaja memancing emosi Emily. Emily menggeleng cepat sambil menghela napas panjang. "Tidak, terima kasih," balasnya sambil meringis. "Nikmati makan malammu, lalu segera lah pergi ke neraka." Emily mengumpat keras, lalu mendorong troli makanan menjauh dari meja Dante. Sejak tadi Lizzy hanya diam menyaksikan obrolan di antara Dante dan si pelayan bernama Emily. Dari obrolan singkat itu, sedikit banyak dia bisa menyimpulkan bahwa keduanya sedang berselisih dan dalam hubungan yang tidak baik. Lizzy juga sempat menangkap tatapan tajam Emily yang diarahkan pada Dante. "Apa
"Apa aku boleh menumpang mobilmu?"Napas Lizzy terengah-engah setelah berusaha mengejar Dante yang akan pergi ke kantor. Dia berhasil membuat Dante mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam mobilnya. Tangannya memegang dadanya yang terasa sesak karena kesulitan untuk mengambil napas."Memangnya kau mau pergi ke mana?" Dante menaikkan alisnya, menatap Lizzy penuh curiga."Aku ingin pergi ke suatu tempat. Lagi pula tidak ada sesuatu yang penting. Jadi kau tidak perlu khawatir," jawab Lizzy meyakinkan Dante.Karena tidak ingin berdebat, Dante langsung membuka pintu penumpang, dan menyuruh Lizzy segera masuk. Pagi ini dia harus menghadiri rapat penting dengan para karyawannya. Dia tidak mungkin melewatkan rapat itu begitu saja."Aku berhenti di depan sana saja," ucap Lizzy lima belas menit setelahnya sambil menunjuk sebuah restoran sederhana di ujung jalan.Dante tidak berkomentar. Mobilnya berhenti tepat di depan restoran itu. Selama beberapa saat dia memperhatikan kondisi restoran itu,
"Aku ...."Mata Lizzy langsung melebar saat melihat Dante tengah berdiri di depannya. Kedua tangannya terangkat, dan dia membiarkan piring dan gelas kotor itu teronggok di atas nampan. Selain itu kakinya terasa melemah, seolah tidak mampu menopang tubuhnya lagi."Apa yang kau lakukan di sini?" ulang Dante dengan suara lembut tapi mematikan."Seperti yang kau lihat, aku sedang bekerja," jawab Lizzy mencoba terlihat santai. Padahal di dalam hatinya saat ini tengah terjadi gemuruh badai yang seolah akan menerjang keluar."Kau bekerja?" Nada Dante terdengar tidak percaya. "Untuk apa kau melakukan ini?" dia menunjuk barang-barang yang ada di depan Lizzy."Tentu saja aku ingin mendapatkan uang. Apalagi selain itu?" Lizzy menoleh ke dalam restoran usai ekor matanya menangkap bayangan Rose yang tengah berdiri dan menatap tajam padanya. "Maafkan aku. Aku harus segera membereskan ini karena jam kerjaku belum selesai." Lizzy mengangkat nampan, lalu berjalan terburu-buru masuk ke dalam restoran.
"Siapa yang menelpon?" Dante bertanya meskipun dia sudah tahu identitas si penelpon. Mantan kekasih Lizzy benar-benar orang yang tidak tahu diri. Laki-laki itu masih saja terus mengganggu padahal hubungannya dengan Lizzy sudah berakhir. "Ben ...." Lizzy menggigit bibirnya, lalu menundukkan kepalanya. Dia tidak mungkin memberi tahu Dante tentang ancaman yang diberikan Ben padanya. "Apa yang dia katakan?" tuntut Dante setelah melihat perubahan di wajah Lizzy. Laki-laki itu pasti mengatakan sesuatu yang buruk sehingga Lizzy tertunduk lesu. Lizzy menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang penting," jawab Lizzy tanpa berani menatap Dante. Dante mendengus kesal. "Kau bukan pembohong yang ulung. Jadi, sebaiknya katakan yang sebenarnya padaku," gertak Dante dengan suara keras. Lizzy memegang pinggiran meja, lalu dia mengangkat kepalanya. "Ben meminta uang satu juta dollar padaku," bisik Lizzy tanpa berani menatap wajah Dante. "Dia mengancam akan melaporkan tempat persembunyianku pada Mar
"Kathryn .... Atur pertemuan dengan pengacaraku."Dante berdiri di depan meja asisten pribadinya itu dan terlihat sedikit gusar. Pertemuannya dengan Alberto beberapa menit yang lalu berhasil membuat darahnya mendidih. Tapi dia memilih untuk menahan amarahnya karena tidak ingin membuat laki-laki itu senang dengan ancamannya."Apa yang terjadi?"Kathryn menatap bingung padanya. Sebelum bertemu Alberto, suasana hati Dante terlihat biasa saja. Sekarang yang tampak justru sebaliknya. Bosnya seperti memendam amarah yang besar, dan akan tumpah keluar."Alberto ingin menjual sahamnya padaku. Kalau aku tidak menerima tawarannya, maka dia ...." Dante mengepalkan tangannya dan menggeretakkan giginya. "Dia akan menjualnya pada Luca," pungkasnya."Dan kau menerima tawaran Alberto?" Kathryn menajamkan matanya, lalu menggeleng perlahan. Sama sekali dia tidak habis pikir dengan sikap Dante. Dia sangat mengenal atasannya itu cukup baik. Dante tidak akan mudah menyerah, atau berlari ketakutan karena ge
"Tinggalkan kami berdua."Dante memberi isyarat pada Fabio dan beberapa laki-laki yang berdiri di sana untuk keluar dari gudang itu. Dia ingin berbicara dengan Ben secara pribadi tanpa ada gangguan dari yang lain. Laki-laki itu masih duduk di kursi kemarin dan menatapnya dengan sorot mengejek. Dante berusaha mengendalikan dirinya agar tidak terpancing lalu melakukan tindakan yang bodoh."Dalam setelan jas yang kau kenakan sekarang, dirimu benar-benar terlihat berbeda," ucap Ben setelah Dante berada di depannya."Terima kasih atas pujianmu. Sayangnya aku tidak membutuhkannya," balas Dante sinis.Ben tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan Dante. Kelihatannya dia salah memilih lawan. Dari penampilannya, Ben menyadari bahwa Dante bukan orang sembarangan.Tawa itu seketika berhenti setelah Dante melayangkan sebuah pukulan tepat mengenai rahang Ben. Darah segar langsung keluar dari mulut Ben. Dia meringis kesakitan, dan matanya nyalang menatap Dante."Kau ....""Jangan pernah terta
"Selamat, Dante. Sekarang kau menjadi pemilik saham terbesar di perusahaan ini." Alberto mengulurkan tangannya, mengajak Dante bersalaman setelah mereka menandatangani surat perjanjian alih kepemilikian saham. Laki-laki tua itu menyunggingkan senyum lebar. Kali ini dia terlihat sangat ramah dan bersahabat pada Dante. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, Alberto selalu menunjukkan sikap permusuhan pada Dante, juga mendiang kakeknya. "Terima kasih, Signor Alberto," balas Dante lalu menjabat tangan Alberto erat selama beberapa detik. Dia segera melepas tangan yang telah keriput itu. "Tentu saja semua berkat Anda," lanjut Dante basa-basi. Semua orang yang berada di ruangan itu, yang ikut menyaksikan peristiwa tersebut bertepuk tangan dengan keras. Hari ini adalah hari yang bersejarah bagi perusahaan House of Corradeo sebagai tanda berakhirnya pengaruh Alberto di sana. Hal itu patut dirayakan, mengingat bahwa selama ini beberapa di antara mereka memendam kebencian pada laki-laki tua itu.