“Mengapa kau hanya diam?” Aku mendesak agar ia lekas menjawab.“Dipikir bagaimana pun, tentu saja ini berbahaya. Kita berurusan dengan orang penting. Salah bertindak sedikit saja, nyawa taruhannya.” Ia berucap sangat serius.Ah, ternyata memang tidak ada cara yang mudah dalam mendapatkan uang. Aku yang bodoh karena menganggap ini pekerjaan yang gampang.“Tapi tenang saja. Saya yang akan betanggung jawab. Asal kamu melakukan apa yang saya minta.” Sergio berucap sangat meyakinkan.Aku semakin dilema. Entah seberapa bahayanya pekerjaan ini, yang terpenting bayarannya sangat tinggi. Aku butuh uang banyak.“Kau yakin akan selalu memihakku?” Aku bertanya memastikan.“Tentu saja.” Ia menjawab dengan cepat. Kemudian beranjak untuk membawa barang bawaan masuk ke dalam mobil.Tidak ada lagi keraguan di dalam dada. Apalagi mengingat pesan yang dikirim oleh Devan. Aku sangat butuh uang, apa pun caranya.Aku ikut masuk dan duduk di kursi depan samping kemudian setelah semua barang dimasukkan ke b
Mobil berbelok ke sebuah kawasan yang menurutku cukup elit. Ada banyak bangunan kokoh dengan suasana yang bersih dan terjaga. Sepertinya cukup damai jika tinggal di sana. Mobil berhenti setelah kami tiba di tempat parkir. Hanya ada dua tiga motor yang terparkir di sana. Juga beberapa mobil yang bertengger tidak jauh dari barisan motor. Sergio turun setelah mematikan mesin mobil. Aku ikut menyusul. “Ini kost?” Aku bertanya memastikan. Ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kemudian berjalan menuju bagasi untuk mengeluarkan barang. “Sepertinya barang-barang ini tidak terlalu diperlukan lagi.” Sergio menatap tumpukan barang yang ia letakkan di dekat kaki mobil. Aku hanya diam, menyimak sembari memerhatikan tas besar berisi baju-baju, bantal juga guling, rice kooker, peralatan mandi, dan perlatan masak seadanya. “Semua keperluan ada di sana. Jika ingin masak, ada dapur umum bebas pakai. Ada dua dapur, dapur bersih juga dapur kotor.” Ia menjelaskan. Aku hanya mengangguk
Sergio tertawa setelah menatapku dengan sangat serius. Ia tampak puas melihat ekspresi keterkejutan di wajahku. Gigi grahamnya tampak dengan jelas ketika ia tertawa. Cukup manis, tapi sayang bukan tipeku. “Saya becanda. Saya sudah punya istri dan tiga orang anak.” Ia menjelaskan tanpa kuminta. Waw? Realy? Tiga orang anak? Sungguh tidak pernah kusangka jika ia sudah jadi seorang ayah. Sebab, ia masih tampak begitu muda. Jika masalah statusnya yang sudah menikah dari awal aku sudah mengira. Karena ada cincin yang melekat di jari manisnya. “Ini gedung atas nama istri saya. Nanti saya coba diskusikan agar diberi diskon.” Ia melanjutkan. Sialan! Hampir saja aku jantungan. Mengira jika ia benar-benar menginginkan aku menjadi simpanan. “Di bawah sepuluh juta?” Aku bertanya memastikan. Lagi, ia hanya menjentikkan kedua alis sebagai jawaban. Kuhela napas dengan dalam. Rasanya terlalu berat menarik napas di tempat ini. Karena aku belum bisa memastikan akan sanggup melunasi semua hutang
Sejenak kami terdiam dengan saling pandang. Ia memberikan senyum smirk yang menonjolkan kesan menyeramkan. “Kau yakin ingin menolak?” Sergio bertanya meyakinkan. Ia menatap seolah ingin menelanjangi. Tatapan itu sungguh menakutkan. Tajam, dan menusuk. Aku terdiam. Gemetar. Kali ini aku benar-benar takut melebihi apa pun. Bahkan lebih takut dibanding dengan malam terkutuk itu. Aku rasa ini benar-benar sebuah jebakan. Aku telah masuk terperangkap ke dalam lubang yang telah ia gali. Terlalu memikirkan duniawi hingga tidak memikirkan risiko yang ada. “Oke. Kau mau apa?” Aku bertanya dengan suara bergetar. Wajah lelaki itu memerah. Sejenak ia kembali terdiam. Kukira ia akan marah dan main tangan. Ternyata dugaanku lagi-lagi salah. Wajah memerah itu bukan karena menahan amarah, tapi karena menahan tawa. Tawanya pecah seketika. “Ternyata hanya sebesar itu perlawananmu. Saya pikir kau akan melakukan perlawanan yang lebih besar lagi.” Ia tidak bisa menghentikan tawa. Apa ini? Benar-ben
Kuhela napas dalam-dalam. Mencoba untuk menetralkan perasaan sebelum menghubungi Sergio. Kabar yang kudapat dari Devan benar-benar membuat stress. Jika sudah begini, kiriman tiap bulan harus kutambah. Sebab, selain untuk biaya hidup mereka, juga biaya berobat Bapak. Tentunya. “Ada apa?” Sergio langsung bertanya setelah panggilan terhubung. Sejenak aku terdiam. Tidak enak hati jika selalu menyusahkan Sergio untuk segala hal. Baru beberapa hari kami bertemu, hutangku telah menumpuk banyak. “Kau butuh berapa banyak?” Seolah paham mengapa aku diam, ia langsung bertanya. “Sepuluh juta saja. Katanya bapak harus dioperasi. Jadi, butuh biaya mendesak.” Aku berucap dengan nada sungkan. Sergio terdiam sejenak. Kudengar ia tengah berbicara dengan seorang wanita. Mungkin istrinya. Terdengar samar juga suara anak kecil yang tengah bermain sembari berteriak kegirangan. Tidak salah lagi, mungkin ucapan tentang bapak anak tiga adalah sebuah fakta. “Kirim nomor rekeningnya ke WA. Nanti saya ki
Setelah merasa puas, akhirnya wanita itu menghentikan aksi penyerangan. Namun, ia masih tidak henti untuk memberikan cacian dan makian. Sementara lelaki paruh baya yang tadi mendekapku, berusaha untuk menenangkan istrinya. “Dasar wanita murahan! Seenaknya menggoda suami orang!” Ia masih terdengar penuh emosi. Meski samar karena telah mendapatkan serangan, aku bisa melihat perbedaan usia yang sangat jauh di antara mereka. Mereka tidak pantas disebut sebagai suami dan istri. Lebih cocok jika berperan sebagai bapak dan anak. Mungkin wanita itu adalah salah satu dari list istri simpanan yang disebut oleh Sergio. Kuusap hidung yang mengeluarkan cairan, kukira ingus ternyata darah. Bibir juga terasa perih. “Suami Anda yang salah, mengapa saya yang dianiaya? Anda mau saya laporin ke polisi? Ini bisa divisum sebagai bukti.” Aku mengancam karena sudah habis kesabaran. Wajah terasa sakit dan nyut-nyutan. Pandangan terasa buram. Akhirnya ia berhenti mengeluarkan makian. Wanita itu menghen
Kutatap pantulan wajah di layar kaca. Luka memar akibat pukulan beberapa hari yang lalu sudah lumayan memudar. Bibir juga tidak terlalu terasa perih lagi saat dibawa makan. Kuraih ponsel untuk melihat pesan masuk dari Sergio. Namun, nihil. Tidak ada pesan sama sekali. Video dewasa yang ia sebut dua hari lalu juga tidak ada dikirim hingga kini. Aku semakin merasa bersalah. Malam itu aku benar-benar tidak bisa mengontrol diri. Sungguh, andai dia menolak aku tidak akan memaksa. Namun, ia malah menyambut dengan sangat baik. Memberikan kenikmatan yang belum pernah kurasakan. Ciuman itu masih membekas hingga kini. Bibirnya yang terasa kenyal dan basah, masih terasa hingga sekarang. Bibir itu terasa manis dan membuatku kecanduan. Aku ingin lagi. Sungguh. Namun, aku sadar bahwa itu sebuah kesalahan. Arght! Sadar, Dinda! Kutarik rambut dengan kasar agar bisa melupakan kejadian di malam itu. Dia bukan tipeku! Aku tidak tahu bagaimana kelanjutan pekerjaan yang ia tawarkan. Sudah dua hari s
Sergio menawarkan untuk mencoba soup yang sudah kumasak. Istri dan anaknya setuju meskipun mereka telah sarapan sebelum ke sini. Aku dibuat kerepotan untuk menghidangkan soup tanpa nasi. Bukan, bukan menghidangkan makanannya yang membuatku menjadi kerepotan. Namun, jantung yang hingga kini tidak bisa berdetak dengan normal. Berada di tengah-tengah mereka sungguh membuatku tersiksa. Apalagi Sergio menunjukkan rasa cintanya pada sang istri dengan melimpahkan perhatian. Ada api yang terasa terpantik di dada ketika melihat kemesraan mereka. Sergio memberikan istrinya suapan, sebab wanita itu sibuk mengurus bayinya. Aku hanya bisa menggigit sendok menyaksikan itu semua. Mereka suami istri, Dinda! Kau tidak pantas cemburu seperti ini! Aku memaki diri sendiri. “Bibirmu masih terasa sakit?” Sergio bertanya ketika melihat aku hanya menggigit ujung sendok. Cepat, aku menggeleng dan menunduk. Rasanya ada aliran aneh ketika ia menyebut kata bibir. Adegan di malam itu kembali terputar denga