Aku pulang ke rumah dua hari setelah Sergio balik ke Jakarta. Selama ia tidak ada, Clayton yang lebih banyak membantu. Termasuk ketika aku ingin buang air besar ataupun kecil, juga ketika hendak mandi. Ia yang membawaku ke kamar mandi sebelum aku kuat berjalan sendiri seperti hari ini. Hanya membawa, selebihnya ibu yang mengurus. Biar bagaimana pun, ia juga sangat menjaga interaksi di antara kami. Pagi ini aku berjemur di teras dengan kaki menjulur ke kursi yang sengaja dipindahkan ke depan, agar aku lebih mudah untuk bersantai. Sementara tongkat kuletakkan di sisi kiri. Clayton berulang kali menyarankan agar aku menggunakan kursi roda, tapi aku menolak karena merasa masih sanggup jalan meski dengan bantuan tongkat. Ponsel berdering dengan nama Sergio tertera di layar. Lekas kuangkat karena aku juga sudah sangat merindukannya. “Kau sudah di rumah?” Ia bertanya setelah wajahnya muncul di layar. “Sudah, aku pulang kemarin. Kapan kau akan ke sini lagi? Sudah tiga hari kau di sana ber
[Aku sudah mau sampai] Begitu pesan yang kudapat dari Sergio. Hari ini dia benar-benar menepati janji untuk datang. Nanti malam adalah acara malam ke empat belas acara kematian Bapak. Hari ini rumah sedikit ramai karena ada acara masak-memasak. Sementara aku tidak bisa membantu apa pun, karena kaki dan tangan belum pulih total. Luka di muka juga masih terasa nyeri dan nyut-nyutan sesekali. Aku mengurung diri di kamar. Setelah tahu Sergio masih memiliki istri, Ibu sedikit berubah sikapnya. Ia tidak seperti biasa. Desakan agar lekas bercerai juga terus ia lontarkan. Entah apa yang salah, toh aku tidak pernah merebut apa pun. Aku juga tidak pernah meminta agar Sergio meninggalkan keluarganya. Permintaan waktu itu terlontar hanya karena aku tidak bisa mengontrol perasaan. Kami menikah juga atas restu Larissa, tidak menikah secara diam-diam di belakangnya. Aku bangkit berdiri dengan satu kaki dan bantuan tongkat. Harusnya terima saja tawaran dokter untuk tanam besi di kaki agar lekas pu
“Kamu pulang saja, ya.” Aku meminta dengan tidak enak hati pada Clayton. Dia juga pernah berkata akan kembali ke Jakarta setelah acara peringatan empat belas hari kematian Bapak. Lelaki itu menatap, menuntut penjelasan atas ucapanku barusan. Sebenarnya tidak masalah dia ingin tinggal berapa lama pun di rumah ini. Ia adik iparku, meskipun usianya jauh lebih tua dibanding aku. Namun, perlakuan Ibu sejak semalam sangat berbeda ketika ia berinteraksi dengan Sergio dan Clayton. Tampak dengan sangat jelas kesenjangan di antara mereka berdua. Ibu terlihat jauh lebih suka pada Clayton tanpa peduli dengan perasaan menantunya. “Kamu kan harus kerja.” Aku mencari alasan agar ia tidak merasa terusir dari sini. Meski kerja atau tidak pun, tidak akan berpengaruh dengan keuangan mereka. Aku tahu dari Sergio bahwa mereka punya banyak warisan peninggalan orang tua. “Jangan salah paham dulu, aku tidak mengusirmu dari sini. Aku hanya khawatir dengan pekerjaanmu. Sudah dua minggu ini kamu libur.” Aku
“Bu, jangan begitu sama Sergio. Hargai perasaannya. Dia itu baik, bahkan berbakti sama Ibu. Coba Ibu pikirkan jika tidak ada Sergio, siapa yang akan menanggung biaya pemakaman Bapak? Biaya yasinan selama seminggu, bahkan sampai acara empat belas hari. Itu semua pakai uang dia. Kalau dia itu tidak peduli sama kita, tidak mungkin dia mau habis-habisan begitu. Tagihan rumah sakit juga dia yang nanggung, bahkan sampai ganti motor tetangga juga, dia yang menanggung semuanya. Semua pengeluaran Clayton selama di sini juga sudah diganti sama uangnya.” Aku meminta dengan memelas pada Ibu, berharap agar sikapnya kembali seperti sedia kala. Setidaknya tidak terlalu cuek pada suamiku itu. Namun, tampaknya Sergio telah menjadi begitu buruk di mata Ibu. Ia tidak ingin mendengar sama sekali. Bahkan tidak peduli saat aku berbicara padanya. Ia memilih sibuk sendiri, meraih sapu, lalu menyapu lantai yang tidak kotor sama sekali. “Ibu! Ibu bisa menghargaiku sedikit saja?! Aku lagi bicara sama Ibu!” Ku
“Din, kamu benar-benar jadi wanita simpanan di kota? Pantas saja dapatnya yang kaya.” “Din, cariin calon suami buat Rena juga dong. Tua tidak apa-apa, asal banyak duitnya. Kamu saja dapat yang muda dan kaya-raya, Rena pasti bisa lebih dari itu. Jadi istri keberapa tidak masalah. Asal hidup terjamin.” “Kamu pakai pelet apa dapat suami orang?” “Kamu pakai dukun yang mana? Bayar berapa biar hasilnya sebagus itu?” “Jadi pelakor ternyata, tega sekali menjadi wanita.”Berbagai macam kalimat tidak baik mulai sering kudapat saat tengah duduk di kursi teras. Setiap kali aku duduk di sana, berniat untuk merefresh otak dengan menatap anak-anak yang tengah bermain dekat jalan sana, selalu saja ada ibu-ibu tetangga yang datang untuk membicarakan masalah yang tidak ingin kudengar. Itulah sebabnya kini aku lebih memilih untuk mengurung diri di kamar. Sebab, tidak hanya satu atau dua ibu tetangga saja yang datang saat melihatku tengah bersantai di teras, ada banyak ibu-ibu yang berkumpul dan kem
“Jangan bicara sembarangan. Aku sibuk mengurus banyak hal, tidak ada waktu lagi jika harus menambah satu wanita.” Sergio langsung menyangkal tuduhanku yang tidak berdasar. Aku tahu ia tidak seburuk itu, hanya saja jauh darinya membuatku memikirkan banyak hal yang negatif tentangnya. “Kau tahu kenapa aku tidak ingin pisah rumah?” Ia bertanya dengan nada entah. “Karena aku tahu LDR itu tidak pernah memiliki ending yang baik.” Ia menjawab sendiri pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. “Aku akan menyusul ke sana beberapa hari lagi agar kau berhenti berpikir negatif.” Ia terus mengoceh tanpa henti, tidak memberikanku waktu untuk membalas setiap kalimat yang ia lontarkan. Aku hanya menarik napas berat, merasa menyesal karena telah melontarkan pertanyaan yang mungkin telah menyinggung perasaannya. “Kita bicara lagi nanti. Aku harus menjemput Larissa sekarang.” Sergio kembali ke setelan awal. Berucap dengan penuh kelembutan. Aku hanya mengangguk dengan lemah meskipun ia tidak bisa melih
Ibu hanya diam saat ia pulang dan menemukan Sergio telah ada di rumah. Tidak ada tegur sapa, tidak ada basa-basi apa pun sama sekali. Sikapnya masih saja sama. Bersikap seolah Sergio tidak ada. Senyum lelaki itu hanya dibalas dengan wajah datar. Aku memerhatikan ekspresi Sergio setiap waktu. Memastikan bahwa ia tidak apa-apa dengan sikap Ibu. “Kau tidak apa-apa?” Aku bertanya dengan perasaan entah, saat tegur sapanya pada Ibu tidak ditanggapi sama sekali. Wanita paruh baya itu berjalan melewati, bahkan tidak menoleh sedikit pun. Rasanya lebih sakit ketika Ibu mengabaikan Sergio daripada ketika Ibu mengabaikan aku. Rasa sakitnya terasa dua kali lipat lebih parah. “Mungkin ibu capek, baru pulang kerja.” Sergio masih berpikir positif. Aku hanya bisa menghela napas dengan berat. Kami tengah duduk di kursi ruang depan. Membahas hal yang tidak terlalu penting. Berdiskusi untuk mengusir rasa sepi. Namun, setelah Ibu pulang, suasana malah terasa semakin mencekam. Terdengar bunyi perabota
Wanita paruh baya itu bersikap acuh tak acuh. Sekeras dan sememelas apa pun aku meminta restu agar diperbolehkan ikut dengan Sergio ke Jakarta, ia tetap tidak mengizinkan. “Satu langkah saja kamu keluar dari rumah ini sama Sergio, jangan pernah injakkan kaki lagi ke rumah ini.” Ibu berucap dengan sangat tegas. Ia tidak main-main dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya. Terlihat keseriusan di sana. Sebenci itu dia terhadap suamiku? Ternyata benar, cinta tidak akan selamanya tetap berbentuk cinta. Ibu pernah sangat mencintai Sergio, menganggap dia adalah pahlawan keluarga. Namun, kini cinta itu telah berubah menjadi benci yang tiada tara. “Aku sudah menikah, Bu. Sergio lebih berhak atas aku dibanding Ibu.” Aku terus memberikan jawaban yang serupa. Sergio kembali setelah ia pergi beberapa waktu yang lalu entah ke mana. Ia pulang dengan membawa tentengan. “Aku sudah membeli keperluan dapur dan peralatan mandi untuk stock satu bulan. Mungkin lebih.” Sergio berucap seraya