Share

03. Hubungan Penyusup Dan Brankas

Jantung Heris berdetak sangat cepat. Seluruh tubuhnya terasa gemetar saat memasuki gedung besar di depannya. William yang berdiri di sampingnya mendeham pelan.

"Jangan gugup," bisik pria tersebut.

Heris mengangguk pelan. "Jangan menghilang dari jangkauanku ya."

William mengangguk tegas. Begitu memasuki pintu utama, mereka langsung disambut oleh banyak karyawan yang berdiri membentuk barisan dan menyisakan jalan di tengahnya. Heris menarik napas panjang, lalu mulai berjalan sembari tersenyum pada semua orang yang ada di sana bagaikan seorang idol. Tiba-tiba saja sebelah tangannya dicubit oleh William. Lalu pria itu sedikit berbisik di dekat telinganya.

"Jangan tersenyum seperti orang bodoh. Anda mau mati?"

Senyum di wajah Heris langsung sirna. Ia mendeham pelan, sebisa mungkin menahan kedua sudut bibirnya yang berkedut. Untuk pertama kalinya ia tidak tersenyum pada orang-orang yang menyambutnya dengan ramah.

Ah, sial sekali. Ternyata selama ini kakakku menjalani hidup yang mengerikan. Tersenyum saja dianggap orang bodoh!

Setelah melewati jajaran karyawan, barulah Heris bisa kembali bernapas dengan lega. Senyumnya langsung melengkung. Bukan karena senang, melainkan ingin membiarkan senyumnya yang sedari tadi ditahan.

"Saat makan siang nanti, tetap berada di dalam ruangan. Jika keluar dari pintu sedikit saja, saya akan pastikan peluru bersarang di kepala Anda!" ujar William dengan penuh penekanan.

Heris mengerutkan dahinya. "Apa benar Anda sekretaris Kak Haris? Mengapa Anda terus saja mengancamku dengan pistol?"

"Saya merasa hanya pistol yang bisa membuat Anda tunduk."

Belum sempat menimpali ucapan William, tangan Heris langsung ditarik dengan cepat menuju ke tangga darurat. Suara langkah kaki yang begitu ramai mulai terdengar. William menempelkan telunjuk di bibirnya, mengisyaratkan agar Heris tidak bicara.

"Kalian sadar gak? Pak Haris tadi senyum!"

"Kalau senyum gitu lebih ganteng, 'kan?"

"Tapi jadi keliatan aneh. Biasanya 'kan dia selalu pasang muka seram."

Heris menaikkan sebelah alisnya, lalu menoleh ke arah William. Pria itu menggeleng, masih tidak membiarkan Heris membuka suaranya. Setelah orang-orang itu pergi, barulah William membuka pintu tangga darurat.

"Ruangan Anda ada di lantai 15. Hanya ada satu ruangan di sana, jadi Anda tidak akan tersesat."

Heris mengangguk pelan. "Tapi, apa aku boleh menanyakan sesuatu?"

"Apa?"

"Sebenarnya, Kak Haris itu orang seperti apa? Selama ini yang aku tahu, dia orang yang hangat," ujar Heris sembari menundukkan kepalanya.

William mendeham pelan, hingga membuat Heris mengangkat kepala. Wajah pria itu terlihat sangat datar seperti biasa. Sorot matanya tajam, seolah menyimpan banyak ancaman di sana. Namun sedetik kemudian pria itu tersenyum miring.

"Haris berbeda dengan Anda. Dia selalu bisa memisahkan urusan pekerjaan dan keluarga. Dia juga tidak menggunakan perasaannya saat sedang bekerja."

Sebelah tangan William bergerak menyentuh bahu Heris dan mencengkramnya cukup kuat. "Maka dari itu, saya harap, Anda bisa menyesuaikan diri dengan baik."

~~~

"Papa!"

Heris berusaha bersikap dingin saat Hamdan menghampirinya dan langsung menarik sebelah tangannya ke meja makan. Nampak Aleya yang sedang menyiapkan makanan. Heris tidak menyangka kalau akan memiliki keluarga seperti ini. Padahal ia sudah bertekad akan hidup sendirian.

"Tumben kamu pulang cepat, Mas?" kata Aleya sembari tersenyum tipis.

Heris mendesis pelan. "Ya, karena aku sedikit lapar."

"Kebetulan aku sama Hamdan mau makan. Kamu gak keberatan 'kan kalau kita makan bareng?"

Heris tidak menjawab, ia langsung menarik salah satu kursi. Hamdan yang melihatnya nampak senang. Ia juga menarik kursi untuk tempat duduknya. Anak itu tanpa rasa takut terus mengajak Heris berbicara.

"Aku seneng banget deh. Sekarang Papa mau makan sama kita. Terus Papa juga gak marah kalau aku masuk ke kamarnya."

Aleya mengerutkan dahinya. "Hamdan masuk ke kamar Papa?"

"Iya, ngasih Papa minuman. Terus aku juga ngobrol sama Papa." Hamdan menoleh dengan penuh semangat ke arah Heris. "Iya 'kan, Pa?"

Heris menjawabnya dengan dehaman pelan. Ia harus semakin berhati-hati karena Hamdan nampak sangat memperhatikannya. Tatapan Aleya juga perlahan membuatnya merasa tidak nyaman. Ia menggeser piringnya dan bergegas bangun dari tempat duduk.

"Papa mau ke mana?" tanya Hamdan dengan wajah sedih.

Heris hanya menoleh sekilas, lalu kembali melangkah ke arah tangga. Ia tidak mau terlihat mencurigakan di depan kedua orang tersebut. Begitu tiba di lantai dua, barulah ia bisa bernapas lega. Ia masih merasa lapar, namun sudah terlanjur pergi.

"Nanti makan lagi deh," gumamnya sembari berjalan masuk ke kamar.

Kaki Heris seakan membeku di depan pintu saat melihat seorang pria berpakaian hitam berada di dalam kamarnya. Pria itu tengah mengacak isi lemarinya. Semua pakaian berserakan di lantai.

"Si-siapa kamu?!" seru Heris.

Pria itu langsung menoleh. Kedua matanya terbuka lebar. Tanpa membuang waktu, pria itu melompat keluar dari jendela. Beberapa detik setelah kepergian pria itu, barulah kaki Heris bisa kembali bergerak. Ia berlari ke arah jendela dan melihat ke bawah sana. Namun tidak ada siapa pun, apalagi kondisi penerangan yang sedikit kurang.

Secepat mungkin Heris melihat ke dalam lemarinya. Semua pakaiannya sudah ada di lantai, menyisakan sebuah brankas yang masih terkunci rapat. Namun terlihat banyak bekas pukulan dan sebuah palu di dekatnya.

Ia berusaha mengangkat brankas itu keluar dari lemari. Pinggangnya sampai terasa seperti mau patah karena membawa benda tersebut. Begitu di luar, ia mengamati brankas di depannya. Lalu ia mulai memasukkan kode untuk membuka benda itu. Namun setelah lebih dari dua kali percobaan, masih tidak membuahkan hasil.

Klek.

Heris sempat terkejut saat mengira branks itu terbuka. Namun rupanya pintu kamarnya yang terbuka. Nampak Hamdan yang membawakan semangkuk bubur kacang hijau. Anak itu tersenyum ceria sembari melangkah dengan hati-hati memasuki ruangan tersebut.

"Tadi Papa makannya baru sedikit. Jadi aku bawain bubur buat Papa," ujar Hamdan.

Heris berusaha menahan senyumannya. Ia tidak boleh terlihat senang. Sebab itu berbanding terbalik dengan sikap Haris selama ini.

"Letakkan saja di meja."

"Papa gak mau makan sekarang?"

Heris menggeleng, lalu kembali menyibukkan diri dengan brankas di depannya. Setelah meletakkan mangkuk bubur, Hamdan langsung mendekati Heris.

"Papa mau buka ini?" tanya Hamdan.

Heris mengangguk. "Iya, tapi Papa lupa kodenya."

"Oh, itu sih mudah."

Hamdan langsung menyentuh kunci brankas. Ia mulai menekan angka-angka di sana. Saat tersisa dua angka lagi, tiba-tiba saja Aleya datang. Wanita itu langsung menggendong Hamdan.

"Maaf, Mas. Aku gak tau kalau Hamdan ganggu kamu." Aleya bergegas keluar dari kamar itu sembari mengomeli putranya. "Kamu jangan ganggu Papa dong, Dan."

"Aku cuma mau bantu Papa buka kotaknya."

Heris menghela napasnya, lalu menatap kunci brankas itu. Tersisa dua angka lagi, namun ia juga tidak sepenuhnya percaya dengan angka yang diketik oleh Hamdan. Akhirnya ia mendorong brankas itu ke bawah tempat tidurnya.

Setelah memasukkan semua pakaiannya ke dalam lemari, Heris langsung menyantap bubur kacang hijau yang ada di atas meja. Saat tengah menikmati hidangan tersebut, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia bergegas menghidupkan benda tersebut. Ketika hendak memasukkan sandi ponsel, ia kembali teringat dengan angka yang diketikkan Hamdan.

"7463?" gumam Heris dengan dahi berkerut. "Jangan-jangan kode ini diambil dari SOS? Huruf S ada di angka 7 urutan keempat. Lalu huruf O ada di angka 6 urutan ketiga. Kalau benar, berarti angka selanjutnya?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status