Share

Bab 4 dan Sekarang, Keyakinan itu Runtuh, oleh Wanita yang saya Sayangi

Satria tidak pernah menduga, jika pergulatannya dengan setumpuk berkas akan ditemani sang ibu juga, yang tiba-tiba menghampirinya ke kantor. Satria bukan tidak senang, hanya saja waktunya yang kurang tepat. Apalagi jika mengingat kejadian kemarin

“Ibu ganggu kamu?”

Satria menggeleng, meski dalam decap hatinya berkata iya. Tapi siapa yang berani mengatakan hal yang semacam itu?

“Syukur deh. Ibu sengaja datang ke sini. Mau ada yang dibicarakan.”

Satria tahu, jika ibunya sudah menyandanginya langsung, itu artinya sang ibu hendak akan berbicara sesuatu hal yang sangat penting

“Satria Wiauthama. Kamu itu laki-laki berjiwa besar, lihat saja perusahaan bapak yang kamu bangun, semakin maju. Ibu bangga sama kamu. Tapi ingat nak, ini semua harus berakhir pada keturunanmu.”

Satria menghela napasnya, sudah bisa dipastikan sejak tadi jika ibunya pasti akan berbicara mengenai hal ini juga

“Satria tahu. Satria juga lagi berusaha bu.”

Sang ibu mendengus “Kamu masih mengharapkan Anisa?”

Perkataan itu sukses membuatnya memanas. Bagaimana bisa wanita yang dihormatinya mengatakan kata yang tidak pantas. Wajar bukan bila Satria marah

“Sampai kapan pun Satria akan sama Anisa terus. Dia istri aku.”

“Ibu gak nyuruh kamu ninggalin Anisa. Ibu minta kamu berhenti berharap punya keturunan dari Anisa.”

“Apa maksud ibu?”

“Menikah lagi. Ibu akan carikan wanita yang terbaik.”

Satria rasanya sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. dalam kepalanya sudah penuh dengan rasa marah, tapi sampai saat ini Satria tidak mampu mengeluarkannya begitu saja. Hanya karena wanita ini seorang ibunya

“Gak akan bu. Satria gak akan menikah lagi.”

“Satria nurut sama ibu. Ini demi masa depan kamu.”

“Masa depan apanya bu? Masa depan Satria jelas Anisa. Kalo gitu sama saja namanya ibu merusak masa depan Satria.”

“Sampai kapan kamu maluin ibu hah? Kamu juga gak kasihan sama bapak? Kalo tahu anaknya gak punya keturunan?”

“Satria bisa bu, cuman butuh waktu saja.”

“Sepuluh tahun kamu cuman bilang kaya gitu sama ibu? Mau sampai tahun ke berapa lagi?”

Ratna kini sudah geram dengan putranya. Dia sudah tidak tahan dengan semuanya. Anisa yang tidak bisa diandalkan. Pikirnya, menikah hanya bermodalkan cinta memangnya cukup? Jelas itu akan merusak citra perusahaannya juga. Lalu akan kemana perginya semua warisan ini?

“Pikirkan baik-baik perkataan ibu.”

Wanita itu bangkit, seraya membawa tasnya yang terlihat mahal. Kemudian tangannya terulur menyematkan batang kacamatanya pada atas telinganya.

“Kamu jangan egois Satria. Kamu ini pemimpin perusahaan, jelas perusahaan juga penting untuk kamu pikirkan!”

Satria juga ikut bangkit, memandang ibunya dengan tatapan tegas “Tapi tidak dengan menikah lagi bu!”

Ratna mendengus, merasa jika Satria kini berubah mejadi anak yang pembangkang, padahal sejak kecil Satria adalah laki-laki cerdas yang tidak pernah membangkangnya.

“Terserah.”

Sang ibu begitu saja pergi, dengan langkah yang bergemelatuk pada marmer. Meski perkataannya seolah terdengar tidak peduli lagi, tapi jelas dalam hatinya dia bersiasat untuk melakukan agar Satria mau menikah lagi dengan wanita pilihannya.

Semua yang dilakukan Ratna murni untuk masa depan Satria dan juga perusahaannya.

 ***

Jika Anisa bilang jam sebelas, maka pak Rahmat sudah siap sejak bermit-menit sebelumnya, selalu seperti itu. Membuat Anisa terkagum-kagum dan menyayangkan sosok pak Rahmat jika pergi begitu saja,dan mencari majikan lain.

Anisa kini sudah cantik dengan busananya yang terlihat elegan. Juga dengan satu kantung paper bag bersisi makanan siang untuk suaminya.

Dalam hatinya senang bukan main, karena ini kali pertamanya lagi dia berkunjung ke kantor suaminya setelah seminggu Satria melarangnya untuk mengunjuginya karena Anisa sedang sakit, padahal hanya demam biasa.

Pak Rahmat memandu jalannya mobil. Hingga sampai pada pekarangan besar perusahaan suaminya. Anisa keluar dengan pintu yang dibuka pak Rahmat

“Bapak makan siang dikantin kantor aja, bilang sama petugasnya. Nanti saya bayar.”

Pak Rahmat mengangguk. Kemudian membiarkan ibu majikannya itu berjalan masuk ke dalam kantor

Anisa selalu mendapati sapaan hangat dari karyawan kantor, membuat Anisa harus berkali-kali tersenyum dan menjawab kata hai, untuk membalas puluhan sapaan hallo

Tepat didepan lift, Anisa bisa melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya “Mbak Anya.”

Wanita itu tersenyum “Hai Nis. Mau ngapel juga nih?”

Anisa mengangguk seraya terkikik “Mbak juga?”

Anya mengangguk

“Kok sendirian, anak-anak gak dibawa?”

“Bisa repot urusan nanti kalo anak-anak dibawa.”

Setelah itu pintu lift terbuka. Anisa dan Anya sama-sama terkejut saat menampakan sosok Ratna sang ibu mertua disana.

Anisa lantas tersenyum, namun senyuman itu tidak dibalas oleh Ratna. Wanita itu malah menyapa Anya dengan hangat “Nikmati saja waktu berdua sama suamimu, Ya. Biar anak-anak sama ibu.”

Anya mengangguk, setelah kemudian sang ibu mertua beringsut, barulah Anya masuk ke dalam lift bersama Anisa. Kebetulan lantai mereka sama.

Anisa masih merasakan efek dari pengabaiannya. Anya sepertinya mengetahui “Gak usah terlalu dipikirin,Nis. Nanti juga baik sendiri kok.”

“Mbak, apa gara-gara aku—“

“Gak bisa hamil?”

Anya buru-buru menyela perkataan Anisa

“Nis. Semua wanita itu sudah dikodratkan mengandung dan melahirkan, jangan khawatir. Teman mbak, ada kok yang sepuluh tahun baru dikasih anak. Jangan nyerah dulu.”

Untuk sesaat Anisa bisa merasakan keyakinan lagi pada hatinya. Dia lantas mengangguk dan berterima kasih. Sampai lift pun terbuka. Namun sayang, arah ruangan kerja suaminya berbeda, Anya dan Anisa terpaksa berpisah di depan lift

Meski dengan keadaan hati yang lara, Anisa tetap berusaha untuk tampil senyum. Apalagi kepada Dewi sekertaris pribadi Satria

“Bapak ada kok bu, ke dalam saja.” Dewi tahu, jika menyangkut paut tentang Anisa tidak perlu dimasukan ke dalam jadwal pertemuan agendanya Satria

Sebab kata laki-laki itu, Anisa boleh kapan pun masuk ke dalam ruangannya. Karena Anisa adalah orang yang sesungguhnya pemilik ruangan kebesarannya itu. Malah jika perlu izin, Satria yang harus melakukan itu kepada Anisa.

Satria yang semula, merebahkan kepalanya ke sandaran kursi, kini dia kembali duduk dengan tegap, hanya untuk melihat permaisurinya datang.

“Kamu kok datangnya cepet banget perasaan?” katanya seraya berjalan ke tempat sofa, menyusul Anisa lebih tepatnya

“Masa sih. Kamunya kali yang lagi banyak pikiran.”

Hanya dalam keheningan Satria mampu terdiam. Merasa jika perkataan Anisa kenapa rasanya tepat sasaran. Apakah ini suatu kebetulan.

“Ibu habis kesini ya. Pasti bicara yang buat kamu kepikiran.”

Satria menoleh dengan pandangan terkejutnya, dia juga menuntut jawaban, darimana asal Anisa tahu tentang kedatangan ibunya barusan

“Aku ketemu ibu di lift tadi.”

“Dia bilang sesuatu sama kamu?”

Anisa menggeleng, seraya tangannya bergerak membuka satu persatu wadah makanannya

“Tapi rasanya aku makin takut, mas.”

Satria mendekat, hanya untuk meraih jemari manis Anisa. Menggenggamnya. Jika boleh jujur, Satria lebih hancurnya saat ini. Tapi dalam kehancuran itu dia sangat enggan melihat kesedihan dari wajah Anisa

“Aku gak bakal ninggalin kamu, kalo emang itu yang kamu takutin.”

“Bener?”

Satria mengangguk, bersamaan dengan ukir senyum yang mampu membuat Anisa candu. Bahkan rasanya sampai mabuk kepayang

“Sini,” Satria mengisyaratkan Anisa untuk sampai kedalam pelukannya. Tanpa menunggu lama, wanita itu langsung membiarkan tubuhnya menghangat dalam pelukan Satria

Anisa jadi teringat tentang perkataan Satria sewaktu dulu masih pacaran, dia mengatakan “Nis. Bahkan sampai aku mati aku akan tetap selalu mencintai kamu.”

Anisa pikir perkataan itu hanya sebuah rayuan semata, tapi ternyata dia keliru, buktinya hingga sampai saat ini Satria masih orang yang sama, yang selalu mencintainya.

NEXT

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status