Share

Bagian Keenam

Bersyukur sekali aku dan Reny Putri Salsabila sudah mengikat perjanjian yang kuat. Yakni menikah. Ianya adalah ibadah seumur hidup. Jika sholat itu ibadah yang ditentukan waktunya, puasa tiap ramadhan, zakat saat ramadhan, dan haji pada musim haji. Maka ibadah menikah tidaklah terikat waktu. Lihat, memegang tangan istri adalah ibadah yang berpahala. Membeli makanan atau baju untuk istri juga berpahala. Demikian juga mencium dan merayunya. Dan itu bisa dilakukan kapanpun. Nikmat sekali bukan?

Setelah ibadah malam pertama itu kami tertidur pulas. Pada pukul 03.00 aku terbangun. Aku matikan alarm di hapeku dan bergegas membersihkan diri. Mandi besar. Tanpa ku bangunkan, istriku juga sudah bangun sendiri. Mungkin dia juga mendengar alarm tadi. Lalu ia menyusul mandi besar setelahku. Kemudian kami sholat tahajud. Dilanjut membaca al Qur’an, sambil menunggu adzan shubuh yang jatuh sekitar jam 04.05.

Saat adzan shubuh berkumandang, tentu saja kami berhenti membaca al Qur’an. Diganti dengan mendengarkan lantunan adzan seorang muadzin dan menjawab adzannya. Sejenak menyempatkan sholat qobliyah shubuh dua rokaat. Baru sholat shubuh berjamaah.

Selesai sholat.

“Sayang, aku kemarin baca cerita bagus” Kataku pada Reny. Yang diajak bicara malah senyum-senyum sendiri.

“Kenapa kamu senyum?” Kataku lagi.

“Ndak apa-apa. Kata sayangmu itu loh membuat hatiku bergetar. Hehe”

“Hmm, eh tapi beneran loh. Aku kemarin baca. Menurutku bagus. Jadi kayaknya kamu harus baca juga”

“Tapi aku sekarang lagi malas baca sayang” Jelas Reny. Dia melanjutkan, “Kita ibadah kayak tadi malam saja yuk!”

“Lagi?” Kataku.

“Iyah, kamu ndak mau sayang?”

“Boleh, tapi baca dulu gih. Ndak terlalu banyak kok. Kemarin aku baca sekali duduk saja sudah selesai”

“Yasudah, tapi setelah baca kita ibadah ya?” Ajak Reny lagi.

“Oke”

“Oh iya, mana bukunya?”

Aku langsung bergegas mengambil buku yang ada di tasku.

“Ini bukunya. Judulnya Cahaya Palsu. Nama penulis Muhammad Aminuddin” aku menyodorkan buku itu kepada Reny.

Tangan Reny langsung mengais buku yang ada di tanganku. Sebelum membaca buku itu, Reny bertanya sekali lagi. “Sebentar sayang. Kamu tadi cuma bilang cerita ini bagus. Bagusnya seperti apa? Atau kasih alasan lagi kenapa aku harus baca buku ini?”

“Baiklah. Karena aku sudah membaca buku itu dan aku mendapat pelajaran yang berharga. Aku ingin kamu mendapat pelajaran juga dengan membacanya”

“Boleh dibocorin sedikit ceritanya tentang apa? hehe”

“Haduh, sudah deh. Nanti kalau aku cerita, jadinya tidak surprise. Sudah mulai baca saja”

“Oke kalau begitu” Reny pasrah. Aku memang sengaja memaksa istriku untuk membaca cerita itu. Karena aku juga ingin kehidupan kami berdua bercahaya. Dan bukan cahaya palsu.

Berikut ini teks cerita Cahaya Palsu karya Muhammad Aminuddin yang aku baca.

CAHAYA PALSU

Bagiku melihat perkembangan bayi adalah hal yang luar biasa. Aku menemukan semangat yang menakjubkan darinya. Dan juga proses belajar yang selalu berhasil membuatku terpesona. Pelajaran ini aku peroleh setelah mengamati keponakanku yang bernama Fiyah.

Dari sekian banyak aspek perkembangan antara lain perkembangan motorik, perkembangan fisik, perkembangan psikis, perkembangan kognitif, perkembangan sosial, dan perkembangan-perkembangan lain yang sangat sulit dijelaskan karena sebegitu kompleksnya. Dua momen perkembangan saja sudah berhasil membuatku kagum.

Pertama, momen perkembangan ketika Fiyah menguasai kontrol kepala. Yaitu saat otot-otot leher sudah menguat. Sehingga Fiyah bisa menyanggah atau mengangkat kepalanya sendiri. Fase ini membuat lega orang-orang di sekitarnya.

Kedua, momen saat Fiyah belajar duduk mandiri. Walaupun sebenarnya dari awal ibunya bisa mendudukkan Fiyah. Namun Fiyah belajar duduk sendiri prosesnya dimulai dari usia empat bulan. Awalnya ia belajar bertumpu menggunakan bagian perutnya ketika diposisikan tengkurap oleh ibunya. Karena otot leher sudah kuat, Fiyah belajar mengangkat dan menegakkan kepalanya ketika dalam posisi tengkurap tersebut.

Kemudian Fiyah akan belajar bagaimana memposisikan dirinya di atas lengannya dan mengangkat dadanya dari permukaan. Seperti gerakan mini push up. Otot-otot yang dibutuhkan untuk berbagai posisi berangsur-angsur berkembang.

Setelah benar-benar kuat dan berhasil mengangkat badan, lalu Fiyah akan belajar bagaimana mempertahankan keseimbangan. Ia berusaha mencondongkan badannya ke depan ditopang oleh kedua tangannya. Dan juga menempatkan kaki-kakinya supaya tidak terjungkal ke belakang.

Aku mengamati betapa keponakanku itu terus mencoba dan mencoba lagi sampai menemukan posisi yang pas hingga bisa duduk dengan baik. Jangan ditanya seberapa banyak Fiyah jatuh. Sudah berkali-kali. Namun Fiyah tak menyerah sampai ia sukses duduk dengan mudah dan tanpa terjatuh lagi. Fase duduk ini benar-benar membuat bangga.

Kalau prosesnya dirunut ke belakang, Fiyah belajar duduk mandiri dari usia empat bulan dan baru benar-benar bisa menguasai keterampilan barunya itu pada usia tujuh bulan.

Dari sini aku menemukan bahwa pada tiap fase perkembangan mempengaruhi fase perkembangan berikutnya. Itu berarti tiap-tiap perkembangan saling berhubungan. Tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Aku juga menemukan kenyataan bahwa setiap anak ternyata memiliki perkembangan yang bervariasi. Tidak ada yang persis sama. Sebagai contoh dari fase duduk mandiri. Ada anak yang justru baru bisa menguasainya ketika berusia delapan atau bahkan sembilan bulan. Jadi pada dasarnya setiap orang itu unik. Punya cara tersendiri yang hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Karena triliunan benda dan peristiwa di alam semesta benar-benar tidak ada yang sama. Semua diciptakan satu dan satu-satunya. Termasuk benda-benda micro sekalipun. Misalnya saja kumpulan sel-sel pembentuk kulit. Walaupun susunan tiap masing sel terlihat mirip namun tak ada yang persis sama.

Dan bersyukur sekali Fiyah telah melewati fase duduk mandiri dengan baik. Tinggal menunggu waktu hingga Fiyah akan beralih ke posisi merangkak, berdiri, dan berjalan. Walaupun kebanyakan orang tua begitu menanti momen anaknya bisa berjalan dan bicara. Namun dua momen yang aku jelaskan di atas saja sudah cukup membuatku kagum.

Kekagumanku pun tidak berhenti sampai di situ. Karena mungkin bagi orang dewasa semua itu adalah hal yang normal dan wajar saja. Tapi bagi makhluk kecil tersebut, belajar pada tiap-tiap posisi membutuhkan perjuangan yang sangat hebat. Setelah melihat ini semua, tak diragukan lagi. Bagiku perkembangan bayi adalah suatu proses belajar yang sangat mengagumkan.

***

Demi mengetahui perkembangan Fiyah itu, tak masalah aku harus riwa-riwi mengunjungi Farhana. Oh iya Farhana adalah adik kandungku. Yang tak lain adalah ibu dari keponakanku Fiyah. Pasca menikah dengan Deni, Farhana ikut tinggal di rumah suaminya bersama mertuanya. Alasannya karena Deni anak tunggal. Karena itulah aku dan Farhana tidak serumah lagi. Untung masih satu kota. Sama-sama Surabaya.

Dan intensitas pertemuan kami kala itu cukup sering terhitung setelah Farhana melahirkan Fiyah. Hampir tiap libur akhir pekan aku menyempatkan diri mengunjungi Farhana. Biasanya aku membawa sedikit hadiah untuk Fiyah. Dan yang pasti tujuan utamaku adalah ingin mengetahui perkembangan Fiyah. Nah, dari situlah aku mendapatkan inspirasi tentang proses belajar yang sangat mengagumkan tersebut. Begitulah kronologisnya.

***

Kini Fiyah berusia empat tahun. Tentu saja perkembangannya sudah sedemikan pesat. Ia senang berbicara dan bertanya tentang banyak hal. Ia juga sudah masuk ke dunia sosial yang lebih luas. Senang bermain-main dengan teman sebayanya. Dan sudah di sekolahkan di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Beda dulu beda sekarang. Aku mulai jarang mengunjungi Fiyah. Tidak sesering pada tahun-tahun pertamanya. Jadwal kunjunganku pun menjadi sebulan sekali.

Hingga suatu siang di libur akhir pekan. Sudah tiga bulan lebih aku tak menengok Fiyah. Jelas saja rasa kangen kepada keponakanku itu sudah tak dapat dibendung. Setelah cukup lama. Akhirnya aku main lagi ke rumah Farhana.

Aku, Farhana, Deni, dan Fiyah berkumpul di ruang keluarga. Kami bertiga duduk dan mengobrol di sofa yang menghadap ke TV LED. Kecuali Fiyah, ia asyik dengan dunianya. Fiyah secara sengaja ingin mendapat perhatian dari Budhenya yaitu aku.

Dalam sistem panggilan kerabat di Jawa, budhe adalah singkatan dari ibu gedhe. Merupakan panggilan untuk kakak perempuan dari ibu atau ayah. Dan siang itu Fiyah mencari perhatianku dengan cara berlari ke sana kemari.

Bosan berlarian sendiri. Capek berlari ke sana kemari. Sedangkan yang dicari perhatian sudah tidak memperhatikan lagi. Iyah, aku malah hanyut dalam obrolan bersama ayah dan ibunya. Lalu muncullah ide di benak Fiyah. Anak cerdas itu mengambil tas sekolah. Kemudian ia mengeluarkan isi tasnya di atas meja yang ada di depan aku dan kedua orang tuanya. Kami bertiga yang saat itu fokus mengobrol dibuat terkejut oleh tingkah tak terduga dari Fiyah.

“Oh, lihat Budhe. Fiyah mau menunjukkan isi tasnya” Kata Farhana lalu tertawa.

Aku dan Deni juga tak dapat menahan tawa melihatnya. Fiyah benar-benar ingin menjadi pusat perhatian. Ia tidak mau diacuhkan.

Di antara isi tas tersebut ada buku menulis, buku membaca, buku mewarnai, pensil beraneka warna, dan pensil tulis biasa. Tiba-tiba Fiyah mengambil pensil berwarna merah. Langsung saja tangannya bergerak melesat ke tembok yang berwarna putih. Beberapa coretan tergores di sana.

Mengetahui hal itu Deni spontan menghampiri anaknya sambil setengah berteriak, “Eh Fiyah, jangan nakal yaa. Tidak boleh menulis di tembok seperti itu. Tuh kan lihat? Nanti temboknya jadi jelek. Nah, susah juga kan menghapusnya?”

Fiyah sontak memasang ekspresi wajah kaget. Tatapan mata tak berdosa itu melihat ketika ayahnya marah. Fiyah diam dan mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh ayahnya.

Tak hanya Fiyah. Aku yang menyaksikan kejadian itu tak kalah kagetnya. Lebih tepatnya kaget melihat respon dari Deni. Bagaimana mungkin Fiyah tahu kalau dia melakukan kesalahan? Otaknya belum mempunyai konsep itu. Padahal anak cerdas itu hanya mau menunjukkan kepada aku, kepada ibu dan ayahnya. Bahwa ia juga bisa melakukan seperti apa yang dilakukan gurunya di sekolah.

Fiyah hanya melihat di sekitarnya lalu menirunya. Sebab anak adalah peniru ulung. Ia paling baik dalam hal meniru dan mencontoh orang serta dunia yang pernah dilihatnya.

Terus apakah Fiyah mengerti apa yang dikatakan Deni ketika marah? Mungkin iya, tapi perhatikan apa yang Fiyah lakukan setelah Deni marah. Ia menurut tidak melanjutkan menulis di tembok. Malah langsung memeluk Deni yang baru saja memarahinya. Ia masih ingin dibelai ayahnya.

“Sudah tidak apa-apa. Sekarang Fiyah menonton video saja yaa” Kata Farhana sembari mendekati anaknya dan suaminya.

Tidak menunggu begitu lama Farhana langsung menyalakan TV. Lalu membuka file video yang ada di flashdisk yang sudah tertancap di bagian belakang TV. Farhana memilih memutar video sholawat yang dinyanyikan oleh anak-anak. Dengan amat cepat, Fiyah pun melupakan kejadian barusan.

Deni dan Farhana kembali duduk di sofa. Aku yang dari tadi melihat detail kejadiannya tak dapat berdiam diri. Tak tahan ingin bertanya.

“Den, apa tidak terlalu berlebihan apa yang kamu lakukan tadi itu?”

“Itu kan salah Mbak, biar tidak diulangi lagi” Jawab Deni enteng.

“Salah kan menurutmu Den! Lagi pula cuma tembok saja kok” Protesku kepada adik iparku.

Nampaknya Deni terkejut atas pernyataanku. Walaupun dia ayah dari keponakanku sekalipun, tetap akan aku utarakan kalau saja ada perilaku yang kelihatannya kurang tepat. Belum selesai keterkejutan Deni, ternyata Farhana juga merasakan hal yang sama denganku. Ia tidak setuju atas apa yang dilakukan oleh suaminya. Ia pun angkat bicara.

“Iyah Mas, betul apa kata Mbak. Aku lihat tadi setelah Mas memarahi Fiyah, dia tetap ingin memelukmu loh Mas. Sebenarnya itu tanda bahwa dia memaafkanmu. Namun aku berani menjamin, kalau Mas terus-menerus memarahi Fiyah, lama-kelamaan Mas tak akan mendapat pelukan lagi darinya. Cadangan ‘maaf’ di otaknya akan hilang. Setelah itu Fiyah akan membencimu sedikit demi sedikit Mas.

“Jiwa anak yang terluka itu mendendam. Sudah banyak contoh loh Mas. Anak tidak tahan hidup dengan orang tuanya. Lalu anak menjadi ganas. Tidak hormat pada orang tua. Menjadi musuh orang tua. Hingga dia nanti ‘malas’ merawat orang tuanya ketika tua. Lalu jangan tergesa menyalahkan anaknya. Coba lihat dulu apa yang sudah dilakukan orang tua ketika anak-anaknya masih kecil. Dan aku tak mau itu terjadi kepada kita Mas” Farhana berbicara panjang lebar kepada suaminya. Mata Farhana terlihat berkaca-kaca. Karena ini adalah kali kedua. Sebelum ini Deni juga pernah kelewatan marahnya.

Kejadiannya memang saat itu Deni sedang tidur di kursi ruang tamu. Sementara Fiyah main-main pintu, khas anak kecil. Lalu Fiyah mendorong pintu dengan kuat hingga pintu tertutup dan menimbulkan suara yang amat keras. Deni pun terbangun dengan mata merah lantas memarahi Fiyah sampai menangis.

Setelah mendengarkan penjelasan istrinya dengan seksama. Deni seperti mendapat tetesan embun di pagi hari. Bersih menyejukkan dadanya. Tak terasa air mata Deni mengalir. Keluarga ini memang mudah tersentuh hatinya. Deni begitu terenyuh mendengar penuturan penuh makna dari istrinya. Hatinya pun perih mendengar akibat dari pola asuh yang keliru. Membayangkannya saja sangat mengerikan. Deni jadi merasa bersalah.

Farhana bergegas menepuk-nepuk pundak suaminya. Menyemangati. Sampai usia empat tahun ini, Farhana sendiri tidak pernah memarahi Fiyah dengan meninggikan suaranya. Kalau terhadap anak-anak, biasanya seorang ibu memang lebih sabar daripada seorang ayah. Anak-anak di usia dini sangat perlu diberi keleluasaan. Agar tetap kreatif dan tetap berani. Dilarang boleh saja asal tidak kebanyakan.

Kejadian Deni menangis, gelombangnya sampai kepada Fiyah hingga menarik perhatiannya. Fiyah melihat momen indah itu, ketika kedua orang tuanya berdiskusi. Fiyah pun menghampiri kami bertiga yang duduk di sofa. Fiyah mencoba menerangkan dengan gaya bahasanya yang khas. Bahwa ia tak akan mengulangi mencoret-coret tembok lagi. Terlihat jelas bagaimana gesture tangan Fiyah menunjuk tembok kemudian dada-dada seperti orang akan berpisah sembari menggeleng-gelengkan kepala. Tanda ia menyesal dan tak akan mengulanginya lagi.

Ternyata Fiyah menyangka kedua orang tuanya sedih karena temboknya tidak bisa dibersihkan. Logika anak sekecil itu begitu menggemaskan. Semua jadi terharu melihat cara Fiyah menunjukkan penyesalannya. Deni langsung saja mencomot Fiyah, memeluknya dengan penuh cinta dan menciumnya.

Tak sia-sia aku berkunjung hari ini. Aku menyaksikan peristiwa sederhana yang sangat berkesan. Bunga silaturrahmi aku mendapat pelajaran lagi.

Sejurus kemudian Deni pamit ke kamar mandi. Sementara Fiyah sudah berada di depan TV. Fiyah terbawa menikmati video yang diputarkan ibunya. Lagi-lagi dengan cepat Fiyah melupakan kejadiannya tapi ingat pelajarannya.

Aku memandang dengan pandangan cinta ke arah Fiyah yang sedang fokus menonton video. Aku pandang seraya mengingat kembali kenangan saat keponakanku pertama kali belajar duduk, merangkak, berdiri, dan berjalan. Semua kenangan itu mempesonakan diriku sekali lagi. Tak dapat aku pungkiri, kenangan demi kenangan telah membuatku tersenyum atas keindahan sebuah proses.

Farhana yang mendapati aku sedang senyum-senyum sendiri ketika melihat anaknya. Farhana langsung menyentuh lenganku.

“Budhe, ada apa kok senyum-senyum sendiri? Seneng yaa lihat keponakannya? Makanya Budhe, jangan lama-lama..” Komentar Farhana.

Aku tersadar. Seketika kenangan-kenangan yang berkelebat dalam pikiranku itu buyar. Aku memandang ke arah adikku dan membalasnya dengan senyuman.

Itulah mengapa aku yang lebih sering mengunjungi Farhana. Aku mengalah karena ia yang lebih dulu berkeluarga dan sudah mempunyai anak. Padahal aku saudara tertuanya. Sedangkan kebiasaan umum di masyarakat adalah yang lebih muda mengunjungi ke tempat saudara yang lebih tua. Tapi itu tidak apa-apa. Aku tak masalah. Rezeki bersilaturrahmi, aku jadi memperoleh banyak pelajaran.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status