"Aku mau bicara sama kamu, Kia," sela Lidia saat mendapati Kiandra hendak menuju dapur. Terlihat sekali perempuan itu menghindarinya.
Kiandra sudah duduk, Lidia berpindah. Tadinya di sofa kecil, ia mengambil tempat di samping istri kesayangan Evan.
"Udah berapa bulan?" tanya Lidia. Tangannya mengelus pelan perut bulat Kiandra.
"Delapan," sahut Kia.
"Berarti aku udah boleh tanya ke kamu, 'kan?"
"Soal? Evan?" tebak Kia.
Lidia mengulum senyum miring. Ia menggeleng. "Kurasa aku nggak berhak minta kamu pisah dari dia. Yang aku mau tanyain itu, soal anak ini."
Menjauhkan tangan dari perut, Lidia menatap sinis. "Kesepakatan kita, anak itu akan jadi anak aku sepen
"Kamu yakin ini akan berhasil?"Pada pertanyaan Damar di seberang telepon, Lidia mengamini. Perempuan itu menoleh ke pintu untuk kesekian kali. Berjaga-jaga, waspada, kalau-kalau Evan atau siap pun masuk ke kamarnya.Lidia tengah menghubungi Damar sore ini. Diam-diam, tanpa sepengetahuan siap pun. Lidia ingin memberitahu soal perkembangan yang sudah terjadi beberapa hari belakangan.Perempuan itu sedang berusaha memonopoli Evan dari Kiandra. Dimulai dengan akting pusing dan sakit kepala beberapa hari lalu, hingga sekarang. Sebisanya, beralasan banyak hal, Lidia membuat Evan berada di dekatnya.Hasilnya lumayan. Sebab sepertinya Kiandra juga paham atas apa yang terjadi dan terlihat sebisanya mendukung."Kamu tenang aja. Kayaknya Kia bakal memilih bercerai dari Evan. Dan kamu bisa urus sisanya."Berkata demikian, Lidia malah kecewa.
Kiandra sedang membaca buku di ruang tamu saat Evan akhirnya pulang bekerja. Perempuan itu hanya setengah tersenyum dan menggeleng saat Sonya menyambut Evan persis seperti yang selalu Lidia lakukan.Kia jadi mengerti mengapa Lidia marah sekali. Istri pertama Evan itu pasti merasa tersaingi.Tak ada sapaan dari Evan. Lelaki itu duduk di sofa, memeriksa ponsel dan diam. Kia juga tak berniat memulai obrolan, sebab dia malas. Evan banyak tingkah belakangan ini.Salah satunya, itu. Mata lelaki itu selalu saja menatap Sonya dengan sorot lain. Seperti kucing melihat ikan segar."Kopinya, Tuan."Gadis muda, cantik, tubuh bagus, menawarkan kopi dengan senyum manis. Kia yakin Evan merasa terhibur saat ini.Setelah diperhatikan, apa yang Lidia katakan ada benarnya. Kiandra mulai setuju pada tuduhan bahwa Sonya berniat menggoda Evan.Lihat saja sekarang. Pakaian gadis itu mengundang sekali. Celana pendek
Memiliki dua istri itu enak. Bukan sekali dua kali Evan mendengar kalimat itu. Tak ditujukan untuknya, sebab masih segilintir orang saja yang mengetahui bahwasanya istrinya tak cuma Lidia. Sebagai salah satu orang yang tergabung dalam suami yang punya lebih dari satu istri, Evan ingin menegaskan bahwa kalimat di atas tadi itu salah. Tidak enak. Evan tersiksa. Dirinya sering dilanda dilema dan tak jarang merasa rendah. Evan takut bila tanpa sadar sudah menyakiti salah satu istri, demi kepentingan istri yang lain. Lelaki itu merasa lemah, tiap kali harus dihadapkan pada pergantian jadwal. Memangnya Evan barang yang bisa dioper tiap jangka waktu tertentu? Kalau orang-orang ingin tahu, Evan merasa seperti sedang digilir dan itu memalukan. "Apa kamu yakin kita akan baik-baik aja, dengan kamu yang punya dua istri?" Pertanyaan Kiandra mengusik Evan. Malam sudah larut, pria itu belum beranjak dari ruang tamu. Duduk seorang diri, pikirannya k
Sebelumnya, Kiandra kesal sebab Evan hanya memperkenalkan Lidia pada orang-orang. Keluarga besar Evan pun, hanya tahu istri Evan hanya Lidia. Sekarang, perempuan itu sedikit jengkel pada sang suami karena sudah memperkenalkannya pada keluarga besar Wijaya. Dua minggu setelah persalinan yang syukurnya lancar, kerabat Evan datang ke rumah untuk menjenguk. Ada Om dan Tante Evan, juga sepupu-sepupu pria itu. Di luar dugaan, Kiandra merasa dirinya diterima. Namun, ia juga malu karena status yang hanya istri kedua. Awalnya keluarga menatapi saja. Sempat terjebak di suasana canggung, tetapi kehadiran Vano langsung mencairkan situasi. Walau anak bayi itu tak melakukan apa-apa, kecuali tertidur di gendongan ayahnya. "Warna matanya doang yang mirip Kia. Selebihnya, diborong Evan," komentar Andi, sepupu Evan. Evan yang mendengar itu menoleh dengan raut pongah pada sang istri. "Harus. Anakku," ucapnya semringah. Kiandra memajukan bibir bawah ke
Pada Lidia yang sedang menimang Kai, Kia menatap saksama. Ada binar bahagia karena melihat senyum di wajah istri pertama Evan itu. Namun, juga terasa getir saat membayangkan bila tak lama lagi pemandangan demikian akan sering dilihat. Kai sudah lahir. Artinya Kia harus memenuhi kesepakatan semula. Menikahi dengan Evan, memberikan anak, kemudian sudah. Kia harus pergi dari kehidupan Evan dan Lidia, juga Kai. Terlambat, tetapi Kia berharap bisa mengulang waktu. Jika ia tahu rasanya akan sepedih ini karena harus merelakan sang buah hati dibagi, ia pasti menolak terlibat dengan Evan. "Gitu banget lihatnya? Mata kamu copot nanti." Evan mencolek pipi istri keduanya. Ia ikut menoleh pada Lidia yang betah menggendong Kai. Kiandra tersenyum saja. Ia menarik napas, mengembuskannya pelan. Sepertinya, waktu sudah tiba. Saatnya membuat semua menjadi jelas dan seperti semestinya. Haduh .... Perihnya lebih terasa ketimbang bekas operasi kemarin. Ki
"Aku berharap keputusanku ini bisa diterima sama Ibu dan Bapak. Aku merasa ini yang terbaik." Bicara dengan penuh harap, Kiandra bisa melihat sorot mata kedua orangtuanya redup. Seolah ikut bersedih atas apa yang barusan ia tuturkan. "Bagaimana dengan Vano? Kamu yakin dia akan baik-baik saja?" Mendengar pertanyaan dengan suara lembut dari Ibunya, Kiandra tak bisa membendung perasaan lega. Perempuan itu menghambur ke pelukan ibunya. "Kai akan baik-baik aja, Buk. Aku yakin itu. Masalah Nando dan Rina, biar aku yang urus. Mereka enggak akan terkena imbas." Masih memeluk ibunya, Kiandra merasakan kepalanya diusap. Oleh sang ayah. Semakin haru perasaan perempuan itu. Setelah sekian lama, akhirnya kedua orangtuanya bersedia setuju pada pilihan yang ia buat. Kiandra menghabiskan beberapa jam lagi di rumah orangtuanya, sebelum akhirnya pamit pulang. Tidak sendiri, perempuan itu meminta dijemput oleh sang suami. "Kita mak
Turun dari sepeda motor sembari melepas helm, Kiandra membawa langkahnya yang ringan memasuki pekarangan rumah Evan. Satu tangan wanita dengan kemeja hitam itu menenteng sebuah kantung belanja. "Kai!" panggilnya senang seraya mengetuk pintu. Belum ada sahutan. Mengetuk lima kali lagi, akhirnya Sonya muncul. "Ibuk? Kai belum pulang. Lagi dijemput Buk Lidia." Sonya menjelaskan sambil mempersilakan Kiandra masuk. Pada gadis muda yang berpakaian lebar dan panjang itu, Kiandra mengangguk. Ia dituntun menuju ruang tamu, kemudian mendadak berdiri kaku saat tatapan bertemu dengan sang pemilik rumah. "Kai belum punya, Son," ucap Evan pada Sonya. Lelaki dengan kaus hitam itu memalingkan wajah dari tamunya. Sonya melirik sungkan pada Kiandra, kemudian mempersilakannya duduk. "Sebentar lagi juga sampai. Saya buatkan teh dulu, ya, Buk." Gadis itu pergi. Mengambil tempat di sofa single, Kiandra menatapi Sonya. Senyum kecilnya muncul. Per
"Gantikan Ferdi, cuci semua piring dan gelas di dapur!" Pada perintah yang barusan meluncur dari bibir si bos, Kiandra merespon dengan membuka mulut lebar-lebar. Ia menganga, tak habis pikir. "Salah saya apa, Pak?" tanya perempuan itu dengan nada yang sebisa mungkin dibuat sopan. Sebenar-benarnya Kia sudah ingin menarik rambut bos yang suka menyunat gajinya ini. Seingat Kia, yang melakukan kesalahan itu Juwi. Juwi yang tidak sengaja menumpahkan jus pesanan pelanggan. Kiandra hanya membantu membereskan kekacauan itu tadi. Lalu, kenapa ia dihukum? "Salah kamu apa? Kamu sok baik," ucap Raka dengan wajah judesnya. Laki-laki itu mengarahkan telunjuk ke arah dapur. "Pergi ke dapur, sekarang." Diam di tempatnya berdiri, mematung, Kiandra memandangi bosnya. Satu detik, dua detik .... Perempuan itu mengulas senyum. Ekspresi judes, mata besar dengan tatapan tak peduli, dagu terangkat dan kalimat perintah penuh dominasi yang terdengar