Aku peringatkan kepadamu! Berani kamu sentuh anakku penjara tempatmu menatimu!" Bapak melepaskan kerahnya Radit,kemudian mendorong pria itu ke belakang."Zaki! Jaga dia! Jangan sampai kabur!" Lelaki yang baru datang dari belakang itu mengangguk."Ayo, kalian ikut Bapak!" Bapak mengajakku dan Bang Sukri masuk ke ruang tengah. Kami berunding di sana, membahas langkah apa yang akan kami ambil. "Kamu hampir saja menodai adikku. Dulu memang itu menjadi hakmu. Wajib bagi Alina untuk melayanimu. Tapi, sekarang kalian bukan lagi suami istri. Kasus ini termasuk pelecehan. Ada pasalnya. Masalah ini bisa kami bawa ke kantor polisi, Dit. Dan bisa dipastikan kamu akan mendekam di sana. Minimal beberapa hari. Tapi, kami sengaja tidak melakukan itu karena Alina masih memikirkan Ibumu. Kamu dipenjara pasti dia terlantar di sana. Kamu yakin Desti mau mengurus ibumu dengan baik? Belum tentu! Kamu lihat saja perbedaan antara Alina dengan Desti dalam mengurus ibumu!" ucap Bang Sukri setelah kami kemb
Semoga kali deal. Aku ingin segera pindah rumah. Memulai hidup baru berdua dengan Wildan tanpa adanya bayangan masa lalu. Mataku membelalak sempurna saat tahu siapa yang keluar dari pintu mobil. Diakah yang akan membeli rumah ini? mpat yang sedang terlibat obrolan ringan di ruang tamu. "Siapa tamunya, De?" Mbak Mela bertanya saat aku melewati mereka di ruang tengah. Aku hendak membuatkan minuman untuk mereka yang berada di ruang tamu. "Bang Randu, Mbak." Aku mendengar Mbak Mela berdecak, tanda tak suka dengan jawaban yang diberikan."Kenapa, sih, Bang Sukri itu apa-apa menghubungi Randu?" Pertanyaan serupa protes itu keluar dari bibir Mbak Mela. Aku hanya bisa mengangkat bahu sebelum kembali berjalan menuju dapur."Memangnya kenapa kalau Randu yang datang, Mel?" tanya Mbak Puji saat aku sudah menjauh dari mereka. Aku berjalan ke arah depan dengan membawa nampan berisi teh manis dan kudapan. "Ini rencananya mau ditempati siapa, Nak?" tanya Bapak yang aku dengar dari ruang tengah
"Ibu kenapa, Mbak?" Aku sudah takut duluan. Takut ada apa-apa dengan ibu mertua. Biar bagaimanapun kami pernah begitu dekat."Bi Wiwin masuk rumah sakit setelah terjatuh dari ranjang katanya. Dari masuk rumah sakit sampai saat ini beliau belum membuka mata. Mbak takut, Lin. Bi Wiwin adalah orang tua yang Mbak punya saat ini." Mbak Niswa sesenggukan di seberang sana. Ya, Ibu adalah satu-satunya orang tua yang Mbak Niswa miliki. Orang tuanya telah lama meninggal. Bahkan menurut penuturannya, Ibulah yang mantu Mbak Niswa. "Innalillahi … bagaimana bisa jatuh dari ranjang, Mbak?" Rasa penasaran tak dapat aku sembunyikan."Mbak juga kurang tahu, Lin. Tapi, ini perkiraan Mbak ya, kayaknya penyebab Bi Wiwin itu bukan semata-mata jatuh melainkan, soal tanah yang dijual atau digadaikan oleh Radit." Tanah? Radit menggadaikan atau menjual tanah ibunya? Iya, Ibu memiliki tanah peninggalan almarhum suaminya di sini, di kecamatan sebelah. Sayangnya, tanahnya berbentuk rawa yang kurang produktif. S
Aku menunggu Mbak Nanik yang berjalan ke arah kami. Dari seberang jalan dia berjalan ke arah sini. Sesekali ia menoleh kiri dan kanan jalan. Mungkin takut tiba-tiba ada kendaraan yang melintas dengan kencang."Dia yang kakak tirinya Radit itu, De?" tanya istrinya Bang Sukri. Aku mengangguk. Mbak Puji baru bertemu dua kali ini dengannya, jadi wajar kalau ia belum begitu paham."Bukankah rumahnya jauh dari sini, ya? Kok ada di sini?" Bang Sukri pun tampak heran. Aku hanya bisa mengedikkan bahu. Sama-sama nggak tahu kenapa bisa bertemu dengan kakak ipar tiri di sini."Kok ada di daerah sini, Mbak?" tanyaku saat Mbak Nanik sudah mendekati kami. Kami menyambutnya hangat meskipun dalam hati penuh tanda tanya. Aku dan Mbak Puji pun menjabat tangan Mbak Nanik, tak lupa cium pipi kiri dan kanan. Aku pikir di sini tidak akan bertemu dengan orang-orang yang dikenal. Nyatanya perkiraanku salah. Buktinya, kami harus bertatap muka padahal daerah sini berjarak lumayan jauh dari kecamatan tempat ti
"Mbak sudah tahu bahwa kalian sudah berpisah secara agama. Mbak tahu kamu sakit hati karena sudah dimadu oleh Radit sehingga nekat datang ke sana dan menyerahkan ibu pada mereka. Mbak paham posisimu, Lin. Tapi, ada yang Mbak sesalkan kenapa kamu tidak bicara dulu sama Mbak?" Ucapannya lembut tapi menusuk. Aku mengangkat salah satu sudut bibir. Ingin langsung menjawab tapi pemilik kedai sudah mengantarkan pesanan kami. Aku diam sejenak, mengatur napas agar bisa bicara dengan tenang. Tangan ini pun sibuk mengaduk jus dalam gelas. "Gara-gara kamu antarkan ke sana saat ini ibu kembali drop. Lebih parah dari biasanya. Mbak benar-benar menyesalkan perbuatan gegabah mu, Lin. Padahal, kalau kamu mau berunding sama Mbak, pasti Mbak bersedia merawat Ibu." Mbak Nanik berbicara dengan penuh emosi. Menyalahkan tindakanku. Seolah selama ini dia orang yang paling open dengan ibu. Ada apa ini? Pasti ada apa-apa yang melatar belakangi perubahan sikapnya yang mendadak baik begini. Ah, aku tahu itu.
POV Bu WiwinKini aku tahu mengapa akhir-akhir ini hatiku sedih. Sepertinya Tuhan telah memberikan firasat padaku. Sebuah pertanda bahwa inilah hari-hari terakhirku bersama Alina. Menantu yang sangat sayang padaku. Aku yang telah membuat dia berubah seperti ini. Hatiku hancur saat ini. Ada penyesalan yang tak terbantah di dalam sini. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Tidak mungkin bubur dijadikan makanan lainnya. Satu-satunya caranya hanya tinggal dinikmati. Toh, disesali juga tidak ada gunanya. Begitu pun dengan nasibku kini.Dadaku sesak saat diam-diam aku mendengar talak yang dijatuhkan Radit pada Alina. Ya, aku tahu itu pun permintaan menantuku. Mungkin, dia sudah sangat sakit hati oleh pengkhianatan kami. Aku pun ikut serta dalam mengkhianatinya. Setelah itu hari-hariku selalu murung. Alina yang dulu sibuk menghibur diri ini di saat sedih, kini tak lagi. Perempuan itu banyak diamnya. Tak lagi hangat seperti dulu walaupun masih mengurus segala keperluan dan juga melayaniku dengan b
Ada rasa takut di dalam sini saat melihat Alina dan rombongannya naik ke atas panggungAku tahu Alina tidak mungkin membuat onar di tempat ramai ini. Dia yang selalu tenang tak mungkin mempermalukan diri dengan marah-marah di depan orang lain. Dia sangat tahu menjaga nama baiknya. Aku tahu marah-marah atau ngamuk-ngamuk dengan wanita lain hanya untuk merebutkan lelaki itu bukan tipenya. Alina terlalu baik untuk melakukan hal itu. Alina tampak sedang berbicara dengan Radit. Namun, anakku malah mematung dan terlihat tak berdaya di depan mantan istrinya itu. Aku yakin Alina baru saja menumpahkan semua unek-unek di hatinya dengan cara sopan tapi justru menusuk untuk Radit.Aku semakin tak tenang saat Alina berbicara dengan Desti. Bukan Alina yang akan berbuat onar melainkan Desti. Tapi, aku lega saat Alina turun dari panggung pelaminan. Dia tersenyum. Itu artinya tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Aku kaget saat melihat Radit pingsan di atas pelaminan setelah berfoto bersama keluar
Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan pelan saat keluar dari gedung pengadilan. Ada rasa sesak di dada saat mengingat sidang putusan tadi. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, pernikahan yang kami bina selama dua puluh tahun ini akan berakhir di pengadilan agama. Rasanya seperti terbangun dari mimpi buruk walaupun aku yang menggugatnya.Dengan langkah pasti, aku segera meninggalkan gedung pengadilan agama. Sejalan dengan keputusanku untuk mengubur semua kenangan yang menyakitkan di masa lalu. Hari ini aku resmi menyandang status janda. Status yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Sebelum tahu pengkhianatan Mas Radit tentunya. Bohong kalau aku tidak merasakan sakit di dalam sini atas perceraian yang terjadi. Bukan perpisahannya yang membuatku sakit, tapi pengkhianatan yang ia lakukan masih membekas di sini. Namun, di sisi lain aku pun lega sudah bebas dari laki-laki parasit yang menghisap hartaku selama ini. Mungkinkah cintaku hilang begitu saja dari lelaki yang telah me