Zhalika sudah berpakaian rapih, seperti jika dia pergi untuk mengajar mengaji. Yah, Zhalika memang berbeda dengan wanita yang sebaya dengannya, memiliki banyak pakaian bagus.
Bukannya tidak ingin, tetapi untuk saat kemarin-kemarin itu, dia tidak punya kemampuan untuk membeli pakaian baru. Terkadang dia suka merasa malu jika sedang mengajar di majelis taklim, pakaiannya tidak jauh dari itu-itu saja. Mungkin hanya ada tiga potong pakaian, yang Zhalika anggap pantas dan masih terlihat layak untuk digunakan saat mengajar.
Sekali lagi, Zhalika kembali mematut diri di depan cermin. Terdiam sesaat, menarik napas panjang. "Bismillah ...."Sebenarnya, Zhalika saja merasa aneh sendiri, kenapa dia begitu peduli dengan penampilannya sendiri siang ini, dan ingin terlihat pantas di depan Sadewa, padahal hanya ingin membeli kitab.Sadewa terlihat sedang duduk membelakangi pintu rumah, Zhalika merasa detak jantungnya semakin tak karuan. Berhenti sesaat sebeluPerjalanan baru memakan waktu 15 menit, dengan menggunakan earphone, Sadewa menghubungi dan berbicara dengan seseorang. --Ilham, rencana pertemuan kita malam ini tolong dibatalkan saja, diundur besok malam. Saat ini saya sedang dalam perjalanan menuju ke luar kota. Sadewa kemudian melepaskan earphone dari telinganya, kembali fokus ke depan, hanya melirik sesekali ke arah kaca spion. Sadewa melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Suasana siang hari seperti ini, jalan raya memang tidak terlalu macet. Berbeda jika di waktu pagi dan petang.
Memasuki waktu Isya, Zhalika dan Sadewa masih dalam perjalanan. Zhalika meminta Sadewa untuk mencari masjid terdekat, agar dapat melaksanakan Salat Isya tepat waktu.Disebuah Masjid besar dengan bentuk bangunan lama, Sadewa memasukkan kendaraannya ke dalam pelataran Masjid tersebut, tepat saat suara adzan mulai berkumandang.Sadewa yang memang sedari kecil di didik Daisah untuk selalu menjalankan salat, segera ke ruang wudhu, begitupun dengan Zhalika, jadi bukan karena Zhalika, Sadewa berpura-pura alim.Sadewa memang pemberani, pemimpin Geng Naga Hitam, selepas Prasetyo
"Dilanjut makannya, Zha," ajak Sadewa, kepada Zhalika yang masih sedikit gemetar karena ketakutan. Seumur-umur, tidak pernah Zhalika melihat orang berkelahi secara langsung di depan matanya."Kita pulang saja ya, Mas," pinta Zhalika."Tetapi ini makanannya masih banyak loh, mubazir, nggak boleh, kan buang-buang makanan," ujar Sadewa."Ta-tapi takutnya mereka balik lagi, Mas.""Sudah nggak apa-apa, yuk makan lagi, dari siang, kan kita belum makan."
Si Jon dengan gegas langsung menyerang, pukulannya yang kencang, hampir saja mengenai wajah Sadewa, jika sedikit saja dia telat untuk berkelit. Pukulan kedua Jon mengarah ke dada Sadewa, dan dia menepisnya, kemudian gesit menghindar.Dua kali serangannya luput mengenai sasaran, membuat Jon semakin bernafsu. Kembali dia menyerang Sadewa, dengan tangan kirinya dia menepis, dan tangan kanannya langsung menghajar keras kerongkongan si raksasa hitam itu hingga bola matanya mendelik. Napasnya tersedak, hingga membuat tubuhnya diam mematung.Sadewa sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi lawan yang bertubuh besar seperti ini. Pukulan mengenai tubuh, atau pun wajah tidak akan berarti bagi mereka, dan Sadewa mengincar area-area yang mematikan di tubuh lawan tandingnya.Jon terjatuh berlutut, kedua tangannya memegangi lehernya yang terasa tercekik karena sulit bernapas, dan Sadewa belum memenangi pertarungan. Wajah si Jon belum mencium tanah. Sadewa hanya mendorong pu
Pagi hari, sekitar pukul 07.20 setelah menjalani aktivitas rutin setiap pagi. Selepas Salat Subuh, lalu dilanjut dengan membaca kitab suci Al-Qur'an hingga fajar menjelang. Kemudian dilanjutkan dengan mencuci beberapa potong pakaian, sarung bantal. Sekaligus juga menjemurnya di lantai atas belakang rumah, yang memang dikhususkan untuk menjemur pakaian."Tetehh Ikaaa...!!" Suara panggilan dari dalam rumah yang berasal dari salah satu penghuni kost dengan berteriak, karena dia tahu Zhalika sedang berada di atas dak rumah."Iya! Ada apaa!""Ada tamu yang nyariin, Teh!""Iya! Suruh tunggu sebentar!" jawab Zhalika, sembari merapihkan susunan jemuran, langsung bergegas turun ke lantai bawah.Kembali sebentar ke dalam kamar untuk mengambil hijabnya seraya berpikir. Siapa yang sudah datang bertamu sepagi ini. Kemudian dengan sedikit bergegas ke luar rumah untuk menemui."Mas Bisma." Tamu yang tadinya membelakangi pintu rumah, lantas menoleh dan berbal
'Terima kasih buburnya, Mas' gumam Zhalika, tersenyum manis sambil memandangi bubur ayam pemberian Sadewa. Dan bubur ayam dari Bisma, Zhalika berikan pengojek online tersebut.Zhalika memang sudah menyimpan nomor Sadewa di handphone-nya, tetapi untuk menghubungi Sadewa dan mengucapkan terima kasih, Zhalika merasa malu, jika harus menghubungi terlebih dahulu.Jam 10 pagi ini, adalah jadwal Zhalika mengajar majelis taklim di Masjid Ar-Rahmah, dan akan berakhir sebelum memasuki waktu Salat Djuhur. Jama'ah-nya hari ini terlihat banyak sekali. Meskipun setiap kali pertemuan jamaahnya selalu bertambah, tetapi kali ini jauh di luar perkiraannya. Bahkan sampai memenuhi lantai dasar masjid. Zhalika sama sekali tidak tahu, bahwa penambahan jamaahnya semakin banyak, karena tersebarnya berita dari mulut ke mulut. Jika Zhalika membantu Ceu Entin dalam membayar kekurangan uang untuk biaya memandikan dan mengkhafani jenazah orang tersebut kepada Ustazah Rosmini.Berita itu berasal dari Hajah Rosna,
Sudah memasuki hari ke hari, janji yang Zhalika ucapkan tentang pilihan menurut petunjuk Allah dan memberikan keputusan terkait kepada Hajah Daisah. Jujur saja, Zhalika merasakan sebuah keresahan. Dia tidak ingin keputusan yang diberikan nanti akan membuat salah satu dari kakak beradik itu ada yang terluka hatinya.Bisma setiap pagi sebelum berangkat bekerja selalu menyempatkan diri untuk mampir ke rumahnya, selalu membawakan sarapan pagi untuk Zhalika, walaupun Zhalika selalu berusaha menolak pemberiannya, tetapi Bisma tetap membelikan untuknya. Sementara Sadewa, Zhalika sendiri tidak tahu bagaimana kabarnya. Mencoba menghubunginya pun tidak, sementara jika dia yang memulai terlebih dahulu ada rasa sungkan dalam hatinya.Selepas Isya, Ratih, putri bungsu dari Hajah Daisah datang untuk bertemu Zhalika atas perintah ibunya. Tadinya Zhalika berharap diantara Ibu Daisah akan lupa, dan dia tidak harus memberikan jawaban. Sejujurnya, Zhalika sendiri sudah mendapatkan jawaban atas Salat Is
"Kapan kamu akan menikahi Zhalika, Wa?" Pertanyaan mendadak Ibunda tercinta, sontak membuat Sadewa terkejut, setelah sebelumnya hanya diam saja, memperhatikan saat sang adik Bisma pamit entah kemana. Jujur saja hatinya merasa tidak nyaman, tetapi adiknya itu adalah lelaki dan harus terbiasa dengan tantangan dan keinginan yang tidak semua bisa didapatkan. "Sebentar Bu, ada yang ingin saya tanyakan kepada Zha. Boleh, kan Zha?" tanya Sadewa, beralih menatap gadis yang ada di depannya itu. Zhalika tidak menjawab, hanya mengangguk perlahan."Saya tahu, setiap pagi selama seminggu terakhir ini, Bisma selalu membelikan sarapan dan mengantarkan langsung kepadamu, dan saya hanya memberikan di hari pertama, itupun lewat kurir, betapa peduli dan perhatiannya adik saya itu. Tetapi kenapa kamu malah memilih saya, Zha?" Kali ini Daisah dan putri perempuannya Ratih yang terkejut, karena baru mengetahui hal itu. Zhalika belum menjawab."Kenapa kamu memilih saya yang tidak terlalu perhatian, dibandin