Jerimian Stevero Husodo untuk kakak yang lahir terlebih dahulu, dan Jessen Stevero Husodo untuk si adik yang menyusul keberhasilan kakaknya melihat dunia. Keduanya terlahir tanpa kurang, menyejukkan hati orang tuanya yang selama ini tak sabar menanti kehadiran si jabang bayi. Nama tersebut mereka cetuskan tanpa sengaja kala tengah berbincang. Vero dan Stefany sepakat menyelipkan gabungan nama mereka sebagai pembeda keturunan-keturunan Husodo lainnya.
Stevero— yang berarti Stefany dan Vero.
Simpel, tapi Vero menyukainya. Ia dapat memberikan ruang untuk Stefany pada nama anak-anak mereka. Jadi tak hanya Husodo yang melekat sebagai identitas jagoan-jagoannya.
"Bentar lagi rame nih.. Sodara-sodaranya Papi dateng Bang, Dek.. Jadi nggak cuman Opa Oma Jawa aja yang nengokin kalian.."
Gemas.. Ingin rasanya Vero memakan bibir-bibir mungil anaknya. Ia tak bisa membendung perasaan yang membuncah di d
Vero membekap kepalanya dengan bantal kala suara salah satu anaknya terdengar memekakan telinga. Vero yakin ini adalah ulah Jessen. Bayi termirip dengan Vero itu tak hanya mewarisi wajah rupawan sang papi, tapi juga kelakuannya yang merepotkan. Terhitung sudah enam kali Vero terbangun demi menemani anak itu menyerap sari-sari makanannya dari tubuh maminya.“Ayang.. Jess nakal.. Boboin dia lagi, Ayang..” Vero mengais-ngais ranjang disebelahnya— aneh, tidak ada tanda-tanda Stefany disana.“Ayang, Mian ikut bang,” ketika kepalanya berputar, Vero terkejut. Istrinya berada di atas sofa, menutup semua tubuhnya menggunakan bed cover.“Disumpelin apaan sih kupingnya sampai nggak kebangun anak konser?!” decak Vero. Jika ia tak segera bertindak, penyanyi solo tengah malam itu pasti akan menarik pasangan duetnya. “Damn! Anak gue beneran bakat jadi bintang D'academy!”“Jess.. Latih
Waktunya belanja bulanan. Kali ini Vero tidak sendirian, meski Stefany tak bisa menemaninya. Selain asisten andalan beserta nona muda tercinta laki-laki itu, Justine dan Siti turut ikut serta memeriahkan perburuan Vero. Misinya sudah dilengkapi dengan daftar panjang kebutuhan si kembar lengkap dengan pesanan Nyonya Besar Husodo.“Bini lo juga ngasih ginian nggak?!” Vero membuka gulungan kertas ditangannya hingga terbuka menyentuh lantai supermarket.“Clara udah canggih.. Di sini!”Vero berdecih kala Justine menggoyangkan ponsel.“Daftar ala tradisional gitu udah nggak jaman ya, Ver! Fungsi HP canggih lo, dibuat apaan!"“Mas Ver!” Siti menghadang. Wanita muda itu merentangkan tangannya menahan tubuh Vero yang hendak maju, :jangan terprovokasi omongan Mas Jasjus!” Ucapnya membuat Vero mengernyitkan alisnya.“Apa sih! Gue mau liat doang. Gue kepo apa yang bininya tulus, Sitay!&rd
"Mami udah bobo?!"Vero melipat tangannya, memperhatikan tiga manusia berbeda usia berada di atas ranjang dengan keadaan berbeda. Stefany yang terlelap di pinggiran ranjang tampak memunggungi Mian dan Jessen. Dua anak mereka masih terjaga, namun tak membuat keributan."Untung dikepung guling. Jadi nggak mungkin ngegelundung." Sebenarnya tanpa adanya pelindung yang melingkari anak-anaknya, kembar identik tersebut juga tak akan mungkin bisa terjatuh. Selain menangis, yang dapat mereka lakukan hanya menggerakan tangan dan kaki ke atas."Wait twins.. Papi kiss mama dulu baru main sama kalian ya?!"Mengerjap berarti boleh kan?!— monolog Vero menanti persetujuan Jessen dan Mian. Menggemaskan.. Vero selalu suka ketika bulu-bulu lentik di mata si kembar bergoyang. "Papi loves you, all! Tapi nggak sebanyak ke Mami sih." Ia terkekeh sebelum melempar ciuman jarak jauh. Sekesal-kesalnya dengan kelak
Ucapan selamat tidak berhenti datang semenjak Vero melangkahkan kakinya masuk melewati lobby perusahaan. Ia tak merasa pernah menggumumkan kelahiran putra-putranya. Cuti yang ia ajukan bahkan tidak menyangkut persoalan persalinan Stefany. Lantas dari mana para karyawannya tahu?!Mungkinkah dari unggahan media sosial saudara-saudaranya?!Bisa jadi sih!!Ngomong-ngomong soal pameran memamerkan, Vero sebagai orang tua belum mengunggah satupun wajah putranya. Laki-laki itu berencana menjual potret kedua jagoannya pada salah satu TV Swasta. Jika dipikir-pikir hal tersebut merupakan suatu keuntungan yang dapat menambah pundi-pundi rekening pribadinya."Anjir! Muka anak gue di blur nggak yak?!" Bisa rugi besar. Tahu begini ini, ia melakukan briefing di grup keluarga sebelum mereka menjenguk Stefany kemarin. Vero yakin ini kelakuan Opanya. Selain sang daddy, pria yang juga sangat mencintainya itu sangat excited dengan kelahiran cucu buy
Vero mematung dengan mulut sedikit terbuka. Suara bayi yang ia dengar dari pengeras suara ponselnya ternyata merupakan rekaman belaka. Vero menemukan empat orang dewasa saling ber-tos-ria di ruang tamu rumahnya. Sial! Ia ditipu mentah-mentah."Gue bilang apaan! Langsung balik kan nih bocah! Gue sama Cla yang menang!" Seru Justine girang. Pria itu menengadahkan, telapak tangannya berujar meminta Stefany dan sepupunya untuk membayar uang taruhan. “Dua setengah juta seorang!” senyum tengilnya membakar emosi jiwa dalam diri Vero.Gila!! Ia seperti orang sinting berteriak agar Daddny-nya menginjak pedal gas sedalam mungkin. Dan mereka malah melakukan transaksi gelap untuk menipunya. Tega sekali manusia-manusia laknat ini— minus Stefany ya.. Ia tidak akan menyematkan panggilan keji itu pada wanita yang telah melahirkan dua anak mereka. “Norak lo semua..” Vero benar-benar tak habis pikir dengan gaya bercandaan keempatnya yang kampungan.
Mischa melihat jam di pergelangan tangannya. Sebuah arloji yang terus dirinya simpan sejak diberikan oleh si pemberi.Senyumnya mengembang— bukan untuk mengingat gerangan yang menabung uang pribadinya agar bisa membelikannya hadiah atas jerih payah sendiri, melainkan mensyukuri jika ia pernah merasakan dicintai dengan tulus, diperjuangkan seperti caranya kini memperjuangkan penggantinya.Melalui Stefany, Mischa belajar banyak tentang arti sebuah ketulusan.Seperti sekarang contohnya. Menunggu sosok yang berhasil membuatnya melepaskan nama Stefany seutuhnya dibawah guyuran hujan Kota Jakarta. Sudah satu setengah jam Mischa berdiri di antara payung yang melindunginya. Setiap menanti Vallery yang mengatakan tengah menghabiskan waktu bersama kekasih baru gadis itu.Menyedihkan.. Statusnya yang jelas-jelas mengantongi restu kakak dan kedua orang tua gadis itu, kalah terhadap laki-laki baru yang seminggu mendekati sang pujaan hati.Mischa meninggik
Stefany memukul-mukul kepalanya. Wanita itu berjalan mondar-mandir di depan pintu apartemen yang baru saja Vero tutup. Demi hubungannya yang pernah berjalan selama bertahun-tahun dengan Mischa, Ia sangat mengenal laki-laki itu. Mischa bukanlah seseorang yang bisa melakukan tindakan melebihi batas seharusnya. Mantan kekasihnya itu selalu mengontrol dirinya dengan baik. Paling banter, kenakalan yang mereka lakukan tak lebih dari berciuman. “Ini kenapa malah kita keluar?!” Sentak Vallery. Vero menyeretnya meninggalkan kamar setelah sepuluh menit menunggu percintaan pasangan tanpa ikatan yang kunjung menghentikan aktivitas mereka di dalam kamar mandi. “Harusnya kita gebrakin pintunya. Kita.. Kita.” Mereka harus apa?! Memisahkan keduanya?! “Pi.. Vallery di ena-ena Mischa, Papi! Adik kita!” gemas Stefany. Suaminya hanya duduk mengemper di atas lantai apartemen, persis seperti gembel anyaran. Gaya
“Pi.. Ngerasa nggak sih, kalau ada yang kelupaan?!”Vero memajukan bibirnya, berpikir sembari memainkan bagian tak bertulang dibawahnya.Kelupaan?!Perasaan Vero tidak meninggalkan apapun di apartemen. Mereka bahkan memastikan Vallery pulang bersama Mischa. Mensterilkan unit dari kemungkinan terjadinya shooting layar yang tercekal season dua.“Mami, bisa bantu Papi mikir?! Papi lagi fokus nyetir. Nabrak nanti kalau disuruh multitasking.”Semua orang tentu memiliki kekurangan, salah satunya Vero. Ia malah jika diminta ini itu dalam waktu yang sama. Terlebih di saat perasaannya tak kunjung membaik setelah adiknya bersedia dinikahi oleh Mischa.Karma sepertinya.. Ia dan daddy-nya pernah membuat kesalahan yang sama dan kini adik sekaligus anak merekalah yang diminta alam untuk membayar kelakuan mereka.Vero berdecih.. Malika yang mereka jaga sekuat tenaga, kebobolan juga