Share

5. Kedatangan Mertua.

 Waktu berlalu, dan keuangan Adit dan Rani pun mulai menipis. Hal itu karena uang yang ada tidak mereka putar. Adit terlalu gengsi untuk berjualan sate seperti usul Rani.

Adit sibuk mencari pekerjaan ke sana kemari yang sesuai dengan ijazah S1 yang ia miliki. Sehingga hanya dalam waktu 6 bulan uang mereka pun menipis, sementara Adit belum juga mendapatkan pekerjaan. 

“Bagaimana ini, Mas? Usia kehamilanku sudah delapan bulan, tapi kamu belum juga mendapatkan pekerjaan. Uang yang kita miliki sudah sangat menipis. Bagaimana aku melahirkan nanti?” tanya Rani pada suatu malam. 

“Lalu aku harus bagaimana? Aku sudah berusaha untuk mencari pekerjaan ke sana kemari tapi memang belum dapat,” kata Adit. 

 Rani menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

“Coba seandainya kita dulu gunakan uangnya untuk usaha, Mas,” kata Rani. 

Adit memicingkan matanya, ia menatap Rani dengan tajam. 

“Maksudmu aku jualan sate seperti yang kamu katakan? Kamu sadar jika aku ini sarjana? Jika aku memiliki toko itu masih lebih baik. Tapi, jual sate, mendorong gerobak ... aku malu, Ran!” seru Adit. 

Rani tersentak kaget, selama ini Adit belum pernah membentaknya. Tapi, kali ini ....

“K-kamu ....” 

Sadar jika ia sudah membentak Rani, Adit pun menyadari kesalahannya. Ia langsung memeluk Rani dengan erat. 

“Maafkan aku. Aku tidak sengaja membentakmu. Aku juga tidak mau begini. Sabarlah, aku yakin jika nanti aku akan mendapatkan pekerjaan yang baik,” kata Adit. 

TOK! TOK! TOK!

Keduanya saling berpandangan, selama ini mereka belum pernah mendapatkan tamu selain pak RT dan pemilik kontrakan jika kebetulan mereka sedang berada di dekat sana.

“Biar aku yang buka,” kata Adit. 

 Lelaki itu pun segera keluar kamar untuk membuka pintu. Betapa terkejutnya ia saat melihat siapa yang ada di balik pintu. 

“Ayah, Ibu?” 

“Kamu sehat, Nak? Mana istrimu?” tanya Bu Ana dengan hangat lalu memeluk sang anak. 

Adit tidak bisa menahan rasa haru, ia langsung bersujud memeluk kaki sang Ibu. 

“Maafkan Adit, Bu. Selama ini Adit banyak salah,” kata Adit. 

Karena merasa Adit terlalu lama, Rani pun bangkit dan ia melangkah keluar kamar. 

Ia terkejut saat melihat Adit sedang bersujud di kaki Ibunya sementara Pak Tomi berdiri di dekat anak dan Ibu itu. 

Rani pun bergegas mendekat. Ia mengulurkan tangan kepada Pak Tomi. Tetapi, lelaki separuh baya itu menepiskan tangan Rani. 

Rani hanya bisa menghela napas, kemudian ia beralih kepada bu Ana. Untung saja wanita itu menyambut uluran tangannya. Dan wanita itu pun sekilas mengelus perut Rani yang sudah membuncit. 

“Cucu Ibu sehat? Sudah berapa bulan sekarang?” tanya bu Ana. 

“Sudah masuk delapan bulan, Bu,” jawab Adit. 

“Silakan duduk, Bu. Maaf ruang tamu kami tidak ada sofa, hanya ada kursi ini seadanya,” kata Rani. 

Ya, ruang tamu mereka memang kecil, tidak ada sofa, hanya ada meja dan kursi plastik. 

Bu Ana dan Pak Tomi pun duduk, tampak jelas jika Pak Tomi tidak nyaman berada di sana. 

“Bagaimana kalian? Kamu bekerja di mana?” tanya Bu Ana. 

“Belum mendapat pekerjaan, Bu. Saya sudah berusaha mencari pekerjaan ke sana kemari. Tetapi belum dapat,” kata Adit. 

“Lalu, kalian makan dari mana?” tanya Bu Ana. 

“I-itu ....” 

“Ah, ya Ibu mengerti. Sudahlah. Jadi, Ibu dan Ayah ke sini untuk meminta kalian tinggal di rumah. Walau bagaimana pun kamu adalah anak kami. Ayahmu merasa tidak tega melihatmu belum bekerja. Kamu bisa kembali mengelola salah satu toko grosir milik Ayahmu,” kata Bu Ana. 

“Ibu serius?” tanya Adit dengan mata bersinar bahagia. 

“Ya, tentu saja. Kalau tidak untuk apa kami ke sini. Kalau kalian mau, segera kemasi pakaian kalian malam ini juga. Kita pulang sekarang,” kata Pak Tomi dengan nada ketus. 

Rani dan Adit saling berpandangan. 

“Malam ini juga? Tapi barang-barang ini?”

“Kalian tidak akan memerlukannya jika tinggal di rumah. Kalian tinggalkan saja dulu. Nanti kan kamu bisa nego kepada pemilik kontrakan,” kata Bu Ana. 

Adit tersenyum lalu mencium tangan sang Ibu. 

“Kami bersiap sebentar,” kata Adit.

Adit langsung menarik tangan Rani. Lalu, ia pun segera membantu sang istri untuk membereskan pakaian mereka. Karena pakaian mereka hanya sedikit, tidak membutuhkan waktu lama juga untuk memasukkannya ke dalam koper. 

Setelah semua siap, mereka pun keluar.

“Sudah siap? Kita berangkat sekarang, kamu bawa mobil,” kata Pak Tomi sambil memberikan kunci mobil kepada Adit. 

Dengan rasa bahagia Adit pun segera menggandeng sang istri dan mereka pun segera meluncur menuju rumah orang tua Adit. 

 “Kalian beristirahatlah dulu, nanti kita akan makan malam bersama,” kata Bu Ana. 

Adit pun menggandeng tangan Rani menuju ke kamarnya. Kamar itu masih sama seperti ketika ia tinggalkan. Tidak ada debu sama sekali pertanda sang Ibu masih menyuruh asisten rumah tangga untuk membersihkan kamar itu. 

“Ini kamarmu, Mas?” tanya Rani. 

“Iya, Sayang. Kamu suka? Aku bersyukur sekali Ibu dan Ayah ternyata masih menyayangi aku. Buktinya mereka masih mau meminta kita untuk pulang ke sini,” kata Adit.

Rani tidak banyak bicara, entah mengapa ia merasa ada sesuatu dibalik kebaikan mertuanya ini. 

Rani pun membaringkan tubuhnya ke atas ranjang. Sungguh nyaman rasanya dibandingkan tidur di atas kasur yang ada di rumah kontrakan mereka. 

Tepat pukul tujuh malam, Bik Nurmi- asisten rumah tangga di rumah itu mengetuk pintu untuk meminta Adit dan Rani turun dan makan malam bersama. 

Rani mengenakan pakaian terbaiknya supaya kedua mertuanya tidak trlalu menghinanya. Dan ia pun turun bersama Adit. 

Saat mereka tiba di ruang makan, ternyata sudah ada kedua mertua Rani bersama seorang gadis cantik. 

Dan saat melihat kehadiran mereka, tanpa melihat ke arah Rani, gadis cantik itu menghambur ke dalam pelukan Adit dan mencium pipi Adit dengan mesra. 

“Adiit! Astaga, aku kangen sekali padamu. Kamu sekarang kenapa kurus dan jadi sedikit hitam begini?” tanya gadis itu. 

Selama beberapa saat Adit menatap gadis itu, lalu ia pun tersenyum. 

“Ghea! Kapan kamu pulang ke Indonesia?” 

“Aku pulang ke Indonesia seminggu yang lalu. Dan aku senang sekali Ayahmu mengundangku makan malam di sini bersama kalian,” kata gadis cantik yang dipanggil Ghea itu. 

Rani benar-benar merasa sangat cemburu sekaligus minder, penampilan Ghea sangat timpang dibandingkan dengannya. Dengan make up tipis dan dress selutut yang simple gadis itu tampak sangat elegan cantik. Sementara dirinya? 

“Oh, ya ini Rani istriku, Ghea,” kata Adit seolah baru tersadar jika ada Rani di sampingnya.

“Ah, iya. Ayahmu mengatakan jika kamu sudah menikah. Hallo, Rani ... perkenalkan saya Ghea. Mantan kekasih Adit.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status