Waktu berlalu, dan keuangan Adit dan Rani pun mulai menipis. Hal itu karena uang yang ada tidak mereka putar. Adit terlalu gengsi untuk berjualan sate seperti usul Rani.
Adit sibuk mencari pekerjaan ke sana kemari yang sesuai dengan ijazah S1 yang ia miliki. Sehingga hanya dalam waktu 6 bulan uang mereka pun menipis, sementara Adit belum juga mendapatkan pekerjaan.
“Bagaimana ini, Mas? Usia kehamilanku sudah delapan bulan, tapi kamu belum juga mendapatkan pekerjaan. Uang yang kita miliki sudah sangat menipis. Bagaimana aku melahirkan nanti?” tanya Rani pada suatu malam.
“Lalu aku harus bagaimana? Aku sudah berusaha untuk mencari pekerjaan ke sana kemari tapi memang belum dapat,” kata Adit.
Rani menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
“Coba seandainya kita dulu gunakan uangnya untuk usaha, Mas,” kata Rani.
Adit memicingkan matanya, ia menatap Rani dengan tajam.
“Maksudmu aku jualan sate seperti yang kamu katakan? Kamu sadar jika aku ini sarjana? Jika aku memiliki toko itu masih lebih baik. Tapi, jual sate, mendorong gerobak ... aku malu, Ran!” seru Adit.
Rani tersentak kaget, selama ini Adit belum pernah membentaknya. Tapi, kali ini ....
“K-kamu ....”
Sadar jika ia sudah membentak Rani, Adit pun menyadari kesalahannya. Ia langsung memeluk Rani dengan erat.
“Maafkan aku. Aku tidak sengaja membentakmu. Aku juga tidak mau begini. Sabarlah, aku yakin jika nanti aku akan mendapatkan pekerjaan yang baik,” kata Adit.
TOK! TOK! TOK!
Keduanya saling berpandangan, selama ini mereka belum pernah mendapatkan tamu selain pak RT dan pemilik kontrakan jika kebetulan mereka sedang berada di dekat sana.
“Biar aku yang buka,” kata Adit.
Lelaki itu pun segera keluar kamar untuk membuka pintu. Betapa terkejutnya ia saat melihat siapa yang ada di balik pintu.
“Ayah, Ibu?”
“Kamu sehat, Nak? Mana istrimu?” tanya Bu Ana dengan hangat lalu memeluk sang anak.
Adit tidak bisa menahan rasa haru, ia langsung bersujud memeluk kaki sang Ibu.
“Maafkan Adit, Bu. Selama ini Adit banyak salah,” kata Adit.
Karena merasa Adit terlalu lama, Rani pun bangkit dan ia melangkah keluar kamar.
Ia terkejut saat melihat Adit sedang bersujud di kaki Ibunya sementara Pak Tomi berdiri di dekat anak dan Ibu itu.
Rani pun bergegas mendekat. Ia mengulurkan tangan kepada Pak Tomi. Tetapi, lelaki separuh baya itu menepiskan tangan Rani.
Rani hanya bisa menghela napas, kemudian ia beralih kepada bu Ana. Untung saja wanita itu menyambut uluran tangannya. Dan wanita itu pun sekilas mengelus perut Rani yang sudah membuncit.
“Cucu Ibu sehat? Sudah berapa bulan sekarang?” tanya bu Ana.
“Sudah masuk delapan bulan, Bu,” jawab Adit.
“Silakan duduk, Bu. Maaf ruang tamu kami tidak ada sofa, hanya ada kursi ini seadanya,” kata Rani.
Ya, ruang tamu mereka memang kecil, tidak ada sofa, hanya ada meja dan kursi plastik.
Bu Ana dan Pak Tomi pun duduk, tampak jelas jika Pak Tomi tidak nyaman berada di sana.
“Bagaimana kalian? Kamu bekerja di mana?” tanya Bu Ana.
“Belum mendapat pekerjaan, Bu. Saya sudah berusaha mencari pekerjaan ke sana kemari. Tetapi belum dapat,” kata Adit.
“Lalu, kalian makan dari mana?” tanya Bu Ana.
“I-itu ....”
“Ah, ya Ibu mengerti. Sudahlah. Jadi, Ibu dan Ayah ke sini untuk meminta kalian tinggal di rumah. Walau bagaimana pun kamu adalah anak kami. Ayahmu merasa tidak tega melihatmu belum bekerja. Kamu bisa kembali mengelola salah satu toko grosir milik Ayahmu,” kata Bu Ana.
“Ibu serius?” tanya Adit dengan mata bersinar bahagia.
“Ya, tentu saja. Kalau tidak untuk apa kami ke sini. Kalau kalian mau, segera kemasi pakaian kalian malam ini juga. Kita pulang sekarang,” kata Pak Tomi dengan nada ketus.
Rani dan Adit saling berpandangan.
“Malam ini juga? Tapi barang-barang ini?”
“Kalian tidak akan memerlukannya jika tinggal di rumah. Kalian tinggalkan saja dulu. Nanti kan kamu bisa nego kepada pemilik kontrakan,” kata Bu Ana.
Adit tersenyum lalu mencium tangan sang Ibu.
“Kami bersiap sebentar,” kata Adit.
Adit langsung menarik tangan Rani. Lalu, ia pun segera membantu sang istri untuk membereskan pakaian mereka. Karena pakaian mereka hanya sedikit, tidak membutuhkan waktu lama juga untuk memasukkannya ke dalam koper.
Setelah semua siap, mereka pun keluar.
“Sudah siap? Kita berangkat sekarang, kamu bawa mobil,” kata Pak Tomi sambil memberikan kunci mobil kepada Adit.
Dengan rasa bahagia Adit pun segera menggandeng sang istri dan mereka pun segera meluncur menuju rumah orang tua Adit.
“Kalian beristirahatlah dulu, nanti kita akan makan malam bersama,” kata Bu Ana.
Adit pun menggandeng tangan Rani menuju ke kamarnya. Kamar itu masih sama seperti ketika ia tinggalkan. Tidak ada debu sama sekali pertanda sang Ibu masih menyuruh asisten rumah tangga untuk membersihkan kamar itu.
“Ini kamarmu, Mas?” tanya Rani.
“Iya, Sayang. Kamu suka? Aku bersyukur sekali Ibu dan Ayah ternyata masih menyayangi aku. Buktinya mereka masih mau meminta kita untuk pulang ke sini,” kata Adit.
Rani tidak banyak bicara, entah mengapa ia merasa ada sesuatu dibalik kebaikan mertuanya ini.
Rani pun membaringkan tubuhnya ke atas ranjang. Sungguh nyaman rasanya dibandingkan tidur di atas kasur yang ada di rumah kontrakan mereka.
Tepat pukul tujuh malam, Bik Nurmi- asisten rumah tangga di rumah itu mengetuk pintu untuk meminta Adit dan Rani turun dan makan malam bersama.
Rani mengenakan pakaian terbaiknya supaya kedua mertuanya tidak trlalu menghinanya. Dan ia pun turun bersama Adit.
Saat mereka tiba di ruang makan, ternyata sudah ada kedua mertua Rani bersama seorang gadis cantik.
Dan saat melihat kehadiran mereka, tanpa melihat ke arah Rani, gadis cantik itu menghambur ke dalam pelukan Adit dan mencium pipi Adit dengan mesra.
“Adiit! Astaga, aku kangen sekali padamu. Kamu sekarang kenapa kurus dan jadi sedikit hitam begini?” tanya gadis itu.
Selama beberapa saat Adit menatap gadis itu, lalu ia pun tersenyum.
“Ghea! Kapan kamu pulang ke Indonesia?”
“Aku pulang ke Indonesia seminggu yang lalu. Dan aku senang sekali Ayahmu mengundangku makan malam di sini bersama kalian,” kata gadis cantik yang dipanggil Ghea itu.
Rani benar-benar merasa sangat cemburu sekaligus minder, penampilan Ghea sangat timpang dibandingkan dengannya. Dengan make up tipis dan dress selutut yang simple gadis itu tampak sangat elegan cantik. Sementara dirinya?
“Oh, ya ini Rani istriku, Ghea,” kata Adit seolah baru tersadar jika ada Rani di sampingnya.
“Ah, iya. Ayahmu mengatakan jika kamu sudah menikah. Hallo, Rani ... perkenalkan saya Ghea. Mantan kekasih Adit.”
Rani tercekat, mantan kekasih? "Benar Ghea ini mantan kekasihmu, Mas?" Tanya Rani kepada Adit yang tampak sedang menatap Ghea dengan tatapan penuh kekaguman. "Ghea memang mantan kekasih Adit, dia juga anak pengusaha kaya yang terpandang. Dan dia baru menyelesaikan kuliahnya di Hongkong," kata Tomi. Lelaki itu memang sengaja mengundang Ghea datang ke rumahnya. Ia ingin hubungan Rani dan Adit renggang karena kehadiran Ghea. "Ah, Ayah ini suka melebih-lebihkan saja," kata Ghea. "Ayah kan hanya mengatakan apa adanya saja," kata Tomi. Ana yang melihat ada mendung di wajah Rani langsung berdeham pelan. "Ayo kita makan dulu, ibu sudah memasak buat kita. Dan ini juga ada oleh-oleh dari Ghea dari Hongkong, ada egg tart dan Lo mai gai. Ini makanan dari sana dibawa Ghea sengaja untuk kita," kata Ana. "Ini mirip bakcang ya?" Kata Adit. "Ya beda dong. Lo mai gai ini memang mirip bakcang, tapi kan ini dibawa dari Hongkong langsung. Ya emang sudah aku simpan dulu di freezer, tapi ini enak b
“Ghea, kamu nginep di sini?” tanya Rani.“Iya, soalnya semalam Ayah ngelarang aku untuk pulang karena udah malam banget. Dan Adit juga nggak mungkin nganterin aku, lagian nanti kalau ada nganterin aku kamu jadinya cemburu,” kata Ghea.Rani hanya terdiam, kemudian ia pun mendekati Ibu mertuanya. “Ada yang bisa Rani bantu, Bu?” tanyanya.“Kamu bantu ibu ulek bumbu aja. Oh ya, Ran lain kali jangan seperti semalam ya. Masa lagi makan terus tiba-tiba kamu pergi begitu aja ... nggak sopan. Mungkin ucapan ayahmu itu menyinggung, tapi sebagai seorang menantu yang baik dan juga orang yang memiliki attitude, sebaiknya hal itu jangan diulangi. Kamu kan bisa menahan-nahan diri. Kamu dan Adit itu sudah melakukan kesalahan. Jadi, wajar kalau ayahnya Adit masih merasa emosi kepada kalian berdua. Jangankan ayahnya, saya sendiri sebenarnya masih merasa kesal kepada kalian. Hanya saja saya masih memikirkan cucu saya dalam kandungan kamu itu,” kata Bu Ana dengan kesal.Sebenarnya, Bu Ana yang sudah mera
Rani terpaksa duduk bersama Ghea dan kedua mertuanya di meja makan. Ia tidak banyak bicara, tepatnya tidak berbicara sama sekali. Pembicaraan didominasi oleh Gea Adit dan Pak Tomi.Tampak jelas di mata Rani jika Pak Tomi sangat menyayangi Ghea, bahkan lelaki itu selalu memuji-muji Ghea."Jadi rencananya kamu akan bekerja di mana Ghe?" tanya Pak Tomi kepada Ghea."Sudah ada beberapa perusahaan yang menawari pekerjaan salah satunya sebagai kepala accounting. Tetapi gajinya belum ada yang sesuai. Meskipun fresh graduate, tapi aku kan lulusan luar negeri jadi patut dipertimbangkan. Kalau seandainya gaji di bawah lima juta, mungkin Ghea tidak akan menerimanya, Ayah," kata Ghea."Enak ya kalau lulusan luar negeri bisa tawar-menawar gaji," kata Adit dengan penuh kekaguman."Ya kamu waktu itu mau Ayah sekolahin ke luar negeri kamunya nggak mau. Coba kalau waktu itu kamu mau sekolah di luar negeri bersama Gea, mungkin saat ini juga kamu sudah mendapat pekerjaan yang bagus," kata Pak Tomi."Me
“Aku nggak nyangka kalo kamu bakalan nikah sama gadis polos kayak Rani. Jauh banget dari selera kamu sebelumnya,” kata Ghea. Gadis itu memang sengaja mampir ke toko milik Pak Tomi ketika jam makan siang. “Ya, tadinya aku hanya main-main aja sama dia. Nggak taunya malah kepincut beneran,” jawab Adit.“Kamu nggak curiga kalo dia nikah sama kamu hanya untuk dapetin harta aja? Secara keluarganya itu kan miskin, dan bapaknya dirawat di RSJ,” kata Ghea lagi. Adit menghela napas panjang, ia sama sekali tidak berpikir hal itu. Di matanya Rani adalah gadis yang sangat polos. Jika ia memperlakukan Rani seperti tadi pagi tidak lain karena ia merasa Rani sudah bersikap tidak sopan semalam, apa lagi mereka baru tinggal di rumah lagi. Adit tidak mau jika gara-gara masalah sepele mereka diusir untuk kedua kalinya. Selama beberapa bulan ini, Adit sudah merasakan tidak enaknya mencari pekerjaan di luar.“Rani gadis polos, waktu kami diusir pun dia bisa hidup susah bersamaku,” bela Adit. Ghea tert
"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?!" seru Rani kaget. Bagaimana tidak kaget jika melihat suami tercinta sedang disuapi oleh wanita lain yang notabene adalah mantan kekasihnya. Sementara Gea dan Adit terkejut saat melihat Rani yang masuk melalui pintu sambil membawa rantang berisi makanan.Tetapi, keterkejutan Gea hanya beberapa saat. Gadis itu sangat pintar menguasai keadaan. Dengan gayanya yang sangat elegan Ia pun tersenyum dan menghampiri Rani."Eh kamu, Ran ... ayo masuk. Aku kebetulan masak banyak dan ibuku menyuruhku membawakan ini untuk Adit. Kebetulan ini masakan kesukaan Adit, kamu mau cicip?" kata Gea sambil menggandeng tangan Rani untuk masuk.Sebenarnya Rani sangat muak sekali kepada wanita di hadapannya itu. Rasanya ingin sekali ia mencakar dan mencabik-cabik wajah cantik Gea yang tersenyum penuh kepalsuan di hadapannya."Aku masak susah-susah ternyata kamu sudah makan. Hmm ... ya udah makanan ini untuk karyawan kamu aja, Mas," kata Rani sambil menaruh rantang ber
“Loh, kenapa isi rantangnya masih penuh?Bukannya tadi kamu membawakan Adit makan siang. Lalu kenapa ini isinya masih utuh?” tanya Bu Ana kepada Rani.Rani hanya tersenyum kepada mertuanya itu. Kemudian Ia pun mengeluarkan isi rantang dan menaruh ke sebuah piring.“Tadi, sewaktu saya ke sana Mas Adit sedang ada tamu, dan dia sedang makan bersama tamunya. Mas Adit mengatakan supaya saya membawa makanan ini kembali. Katanya, nanti pulang kerja dia bisa makan lagi,” jawab Rani.Mendengar suara Rani menahan tangis membuat Bu Ana mengerutkan dahinya. Ia menatap menantunya itu dan melihat sisa-sisa air mata di pipi sang menantu. “Apa tamunya Gea?” tanya Bu Ana kepada Rani.Rani tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya.“Iya Bu, tamunya Mbak Gea,” jawab Rani.Bu Ana menghela nafas panjang kemudian menghembuskann
“Kamu mau mandi atau makan dulu?” tanya Rani saat Adit baru saja pulang. Seperti kata mertuanya. Ia mencoba untuk bersikap tenang dan elegan menghadapi Adit. Ia tidak mau Adit makin menjauh darinya. “Kamu nggak mandi? Perasaan, kamu sekarang jadi kucel. Padahal dulu aku suka sama kamu karena kamu itu cantik dan bersih. Meski nggak perawatan mahal tapi kamu menarik untuk dilihat,” kata Adit alih-alih menjawab pertanyaan Rani. Rani menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Sakit sekali mendengar kalimat itu keluar dari mulut sang suami.“Mas, aku kan sedang hamil. Jadi-““Jangan kamu jadikan alasan. Banyak wanita hamil di luar sana yang masih tampak sangat cantik dan menarik. Coba kamu lihat ini jerawat dan Flex hitam di wajahmu,” kata Adit sambil memegang pipi Rani. Rani hanya bisa menundukkan kepalanya menahan supaya air matanya tidak jatuh menetes. Bagaimana mungkin seorang suami yang sangat ia cintai begitu tega mengatakan hal seperti itu padahal saat ini ia sedang men
“Mas, hari ini sudah sebulan kan kita tinggal di rumah ini. Apa aku boleh minta uang? Kamu pasti sudah gajian, kan?” kata Rani kepada Adit malam hari itu. Adit menatap istrinya kemudian mengerutkan dahi.“Iya, aku sudah gajian, sih. Biasanya setiap bulan aku menyetorkan uang penjualan kepada ayah. Kemudian ayah akan memotongnya dan memberikan kepadaku sebagian dari keuntungan. Karena, aku yang sudah mengelola toko itu, memangnya kenapa?” kata Adit.“Ya, aku minta uang ... wajar kalau aku minta uang. Aku kan istrimu. Aku perlu membeli kebutuhan untuk kita,” kata Rani.Mendengar perkataan istrinya, Adit sedikit meradang.“Kamu nggak usah macam-macam deh, kita ini tinggal di rumah Ayah dan Ibuku. Mau makan apa saja tinggal ambil. Ibu selalu berbelanja untuk kita semua, kamu tinggal makan, tinggal mengolah. Lalu minta uang untuk apa lagi? Kita juga tidak perlu membayar listrik, tidak perlu membayar biaya sewa rumah. Jadi untuk apa aku memberimu uang?” kata Adit.Rani terbelalak kaget, ia