Emosi yang sedari tadi kutahan, kini sudah berada di puncak ubun-ubun dan siap untuk diledakkan. Cepat, aku melangkah mendekat ke arah suamiku. Dan begitu sudah dekat, aroma keringat khas setelah melakukan olahraga ranjang pun menguar di indra penciumanku.
10 tahun kami berumah tangga, sudah cukup membuatku hapal dengan hal kecil seperti ini."Mas?!" pekikku dengan kedua tangan yang terkepal. Napasku begitu memburu seiring emosi yang semakin menguasai diriku."Bekas apa di lehermu itu, Mas?!" Aku menatap lekat ke arah Mas Narendra tanpa menyentuh bekas yang kurasa begitu menjijikkan. Masih aku berusaha menekan kuat-kuat rasa emosiMendengar ucapanku, Mas Narendra mendekatkan wajah ke cermin. Dan dengan ekspresi yang tak bisa kutebak, lelaki itu kembali menoleh ke arahku."Ini bekas lipstik, tadi ada tragedi. Temen kantor mau jatuh, aku tangkap. Terus mungkin tidak sengaja bibirnya menyentuh leherku.""Oh ya? Bekas lipstik?""Ya. Memangnya apa lagi?"Gegas aku mengambil tisu yang ada di atas meja rias, kutuangkan cairan pembersih lalu kuusap-usapkan pada bekas menjijikkan itu."Hey, apa-apaan kamu, Fi!""Bekas? Apa ini yang kamu maksud bekas lipstik?!" Semakin kutekankan usapanku, tak kepedulian Mas Narendra yang berusaha menepis tanganku."Ini yang kau bilang bekas lipstik, ha?! Mudah sekali nempel tapi sulit dihilangkan?!" Aku terus mengusap dengan menekannya. Hingga tiba-tiba ....Brugh!Lelaki itu mendorong tubuhku hingga terkapar di lantai. Rasa nyeri yang kurasa tak sebanding dengan rasa sakit dan rasa kecewa."Apa-apaan kamu ini?! Dasar gila!" Mas Narendra mengusap lehernya yang semakin memerah, mungkin karena usapanku terlalu kuat, hingga menimbulkan jejak-jejak di sana."Panas, Fi! Sakit! Sudah gila memang kamu!" hardik Mas Narendra dengan nada penuh penekanan.Perlahan aku bangkit lalu kembali mendekat ke arah suamiku. Sorot mataku tak lepas dari wajah lelaki itu."Sakit kamu bilang?! Sakit mana dengan perasaanku, Mas?!" Aku menepuk-nepuk dadaku yang terasa sesak.Ingin rasanya aku menangis, namun entah kenapa air mata enggan keluar."Bagaimana perasaanmu ketika melihat pasangan kamu berkhianat? Apa kau pikir aku anak kecil yang mudah sekali dibohongin? Kau pikir aku tidak bisa membedakan antara bekas merah karena noda atau kenikmatan?!"Plak!Satu tamparan keras mendarat sempurna di pipi kananku, hingga rasa panas menjalar di area kulit pipiku.Untung saja aku langsung berpegang pada meja rias. Andai tidak, mungkin tubuhku sudah kembali terkapar karena tamparan Mas Narendra yang begitu kuat.Aku menatap suamiku, tangan kanan yang ia gunakan menyakitiku masih mengambang di udara. Deru napasnya yang memburu dengan rahang wajah yang mengeras sebagai tanda kalau lelaki itu masih dikendalikan oleh emosi."Kamu berkhianat, Mas?! Kamu benar-benar mengkhianatiku? Coba katakan, seberapa hebat pelacurmu itu memuaskan hasratmu! Coba katakan berapa lama kau habiskan waktumu bersama jalangmu! Coba katakan!""Dasar gila!" hardik lelaki itu, sedetik kemudian diraihnya baju yang tadi sempat ditanggalkan lalu ia melangkah pergi begitu saja.Brak!Suara dentuman pintu dengan dinding kamar benar-benar memekakkan gendang telinga.Setelah kepergian lelaki itu, tiba-tiba saja tubuhku melemas. Bahkan aku langsung mendudukkan tubuhku di kursi karena kurasa otot-otot di kedua tungkai kakiku terasa melemah dan seakan-akan tak bisa menahan lagi bobot tubuhku."Ternyata kamu benar-benar tega, Mas!" desisku.Pandanganku mulai berkaca-kaca, lalu tak berselang lama air mata mulai mengalir dari kedua sudut mataku dan menyisakan jejak-jejak di kedua belah pipiku.****Suara dering ponsel yang sedari tadi kuletakkan di atas meja menyita perhatianku. Kututup novel yang sejak tadi kubaca, kuletakkan di atas pangkuanku lalu kuambil benda pipih yang layarnya tengah berpendar.Ada panggilan masuk, dan begitu kulihat ternyata nomor ibu mertua terpampang sebagai pemanggilnya.Gegas aku mengusap layar itu ke atas setelah meraup udara dalam-dalam, mempersiapkan diri jika mendapatkan hinaan yang begitu menyakitkan."Assalamualaikum, Bu." Aku bersuara begitu panggilan terhubung dan kedekatkan ponsel di telinga."Narendra mana? Ada yang ingin ibu bicarakan. Kenapa ponselnya mati? Kalau dia masih tertidur, coba bangunkan. Penting." Tanpa menjawab salamku, ibu langsung menodong dengan beberapa pertanyaan."Loh, bukannya semalam Mas Narendra pulang ke rumah ibu?" tanyaku penasaran. Kupikir setelah pertengkaran itu Mas Narendra pulang ke rumah ibunya–mengingat rumah kami yang jaraknya tak begitu jauh. 20 menit sudah sampai ditempuh menggunakan motor."Mana ada dia ke sini. Kalau Narendra di rumah ibu, ngapain ibu telepon dan tanya ke kamu," seru Ibu."Bentar, bentar, Fi. Maksud kamu apa bilang kalau Narendra kesini? Apa kalian bertengkar?"Seketika aku bingung, jawaban apa yang harus aku katakan."Fi!""Eng–enggak, Bu. Kata Mas Narendra, sepulang acara makan malam dengan rekan kantornya, dia mau ke rumah ibu. Iya, Bu. Begitu.""Oh, kirain bertengkar.""Enggak kok, Bu. Kami baik-baik saja.""Hm."Panggilan tiba-tiba terputus begitu saja. Tentu ibulah yang mematikannya.Kuletakkan kembali ponsel ke tempat semula, dan kusandarkan tubuhku di kepala sofa. Berkali-kali kuhela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan.****Satu minggu telah berlalu, dan selama itu Mas Narendra sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.Ya, sejak malam pertengkaran itu dirinya tak pulang. Entah kemana perginya, aku tak tau. Saat aku mencoba menghubunginya, dengan sengaja dia menolak panggilan dariku.Entah apa yang harus kulakukan. Berdiam diri atau mencoba mencari dimana keberadaan lelaki itu."Mungkinkah dia pulang ke rumah wanita yang kemarin itu mengantarkan Mas Narendra pulang?" Aku menerka-nerka."Atau ... di rumah Citra?"Saat pikiranku sedang menerka-nerka, tiba-tiba ponsel berdering. Ada panggilan masuk. Dan nomor Mita– teman dekatku yang semenjak dia menikah dan menetap di Bali–terpampang sebagai pemanggilnya.Aku tersenyum, berikutnya kuangkat panggilan itu. ."Halo, Mita. Ada angin apa ini tumben sekali menelponku." Aku membuka obrolan, dan suara tawa khas sahabatku itu menyambut ucapanku."Ah, bisa saja. Btw gimana ini liburannya? Asyik?"Aku mengernyit. Tak tau apa maksud dari ucapan Mita."Liburan? Liburan apa maksudnya?""Halah, jangan berlagak lupa deh. Kamu habis liburan ke Bali kan? Dih, mentang-mentang niatnya bulan madu, terus disuruh mampir gak mau!""Apa sih maksudnya? Aku nggak paham loh." Kali ini nada suaraku serius."Memang suamimu kemarin nggak bilang ke kamu soal dia yang ketemu aku?""Enggak.""Aduh, gimana sih. Kemarin tuh ceritanya aku lagi makan di restoran sama suami dan anak-anakku, ketemu deh sama Narendra. Dia bilang katanya lagi liburan sama kamu, aku tanya dimana kamu. Katanya Fiona lagi di toilet. Mau nungguin kamu, tapi kami buru-buru, soalnya mau menghadiri acara pesta pernikahan. Alhasil aku nitip pesan ke suamimu, kalau ada waktu luang, mau kuajak ketemuan. Pantas saja kamu sama sekali tidak menghubungiku, ternyata suamimu nggak kasih tau," jelas Mita.Kini aku bisa menarik kesimpulan. Ternyata di saat aku terpuruk karena pertengkaran itu, Mas Narendra malah liburan. Dan parahnya, tanpa mengajakku! Jangankan mengajakku, berpamitan pun tidak. Benar-benar keterlaluan!Begitu panggilan terputus, kuletakkan ponsel di tempatnya semula. Setelahnya kusandarkan tubuhku lalu kuhela napas dalam-dalam dan kukeluarkan secara perlahan, berharap mampu meredamkan gejolak di dalam dada dan bisa berpikir secara tenang. "Apa aku harus ke rumah ibu ya?" lirihku. "Ya, daripada penasaran Mas Narendra pergi liburan dengan siapa. Lebih baik aku memastikannya saja."Gegas aku bangkit dari tempat dudukku, lalu melangkah menuju kamar setelah kuambil ponsel yang ada di meja. Dan begitu sampai di kamar, cepat aku mengganti baju. Duduk di depan cermin sembari memoleskan make up tipis ke wajahku. Pandangan yang semula tertuju pada cermin beralih ke sebuah ponsel yang berdering. Aku pun segera mengangkat panggilan itu. "Halo, selamat siang, Mbak Fiona. Saya sudah sampai di depan rumah sesuai alamat yang tertera pada pesanan di aplikasi." Suara seorang lelaki terdengar saat panggilan itu terhubung. "Baik, Pak. Saya segera keluar."Panggilan ku
[Padahal besok pagi jam 9 mau berangkat ke Bandara, menjemput kakak perempuan tersayang. Tapi apalah daya, tiba-tiba dapat kelas di kampus.]Aku memicingkan kedua netraku saat membaca serangkaian kalimat status what'sapp milik Mona–adik iparku. "Siapa yang dimaksud kakak perempuan tersayang? Mereka kan hanya 2 bersaudara. Mas Narendra anak pertama, dan Mona anak kedua. "Yaudah, seneng-seneng saja di sana. Besok kalau pulang hati-hati ya. Besok ibu nggak bisa jemput, soalnya jam 9 ada acara arisan sama ibu-ibu kompleks."Seketika ucapan Ibu Mertua kemarin kembali terngiang-ngiang di telingaku.Dan begitu aku mengusap layar datar itu–bertujuan untuk mengomentari status what'sapp Mona– tiba tiba saja status tersebut menghilang, yang artinya sang pemilik menghapus status tersebut. ****Semalaman aku memikirkan apa yang harus aku lakukan. Bertindak atau diam, dan aku memutuskan akan menemui Mas Narendra bersama temannya itu di Bandara. Ya, aku melakukan itu bertujuan agar Mas Narendra
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 8Fiona membeku, menatap punggung Narendra dan Aruni yang semakin mengecil dengan ekspresi wajah yang begitu menyedihkan.Wanita berusia 33 tahun itu pun lantas menghembuskan napas berat, dan ia melangkah dengan gontai. Seolah-olah seperti tak ada lagi semangat dalam hidupnya. Fiona terus mengayunkan kedua kakinya dengan pandangan kosong, hingga tiba-tiba ....Bugh!Tubuh kurus itu terjerembab karena seseorang menabrak pundak Fiona. "Astaga ... maaf, Mbak. Maaf." Seorang lelaki yang menabrak tubuh Fiona ingin membantunya berdiri, namun Fiona enggan menerima. Wanita itu lantas bangkit sendiri, pandangan yang menunduk, kini terangkat. Hingga sepasang mata Fiona pun membelalak. "Fahri?" "Fiona?" Berbeda dengan Fiona, lelaki yang bernama Fahri menatap heran ke arah Fiona. Bahkan pandangan lelaki itu menyorot tubuh Fiona mulai ujung kaki hingga ke atas kepala. "Hey, gitu amat lihatnya."
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 9Fiona tertegun mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Fahri."Kita duduk dulu di sana, ya. Tenangin diri kamu dulu," ajak Fahri dan Fiona mengangguk. Gegas Fahri melangkah dan diikuti Fiona di belakangnya. "Minumlah dulu." Fahri mengulurkan sebotol air mineral yang baru saja ia ambil di tas ransel miliknya. Fahri terus menatap wajah Fiona dengan perasaan penuh kasihan. Fiona menerima botol yang diulurkan oleh Fahri, lalu ia pun berujar, "Terima kasih." Setelahnya, Fiona membuka tutupnya lalu mulai menyesap air mineral itu hingga akhirnya tenggorokan yang semula kering, kini teraliri. "Sejak kapan, Fi? Kenapa kamu diam saja?" Fahri kembali menodongnya dengan pertanyaan saat melihat teman di masa lalunya sudah terlihat membaik. "Entahlah." Singkat Fiona menjawab, dan tentu saja membuat Fahri mengerutkan kening. "Apa kamu sedang buru-buru?" "Enggak. Jadwal putriku tiba masih 30 menit lagi," ucap Fahri dengan lemah setelah meli
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 10Mobil yang dikendarai oleh Narendra, dan Aruni yang ada di sampingnya masuk ke halaman rumah yang dihuni oleh Fiona. Kendaraan roda empat itu pun berhenti tepat di depan pintu utama. "Terima kasih ya sudah menuruti apa yang aku inginkan," ucap Aruni dengan begitu manja. Bahkan kali ini ia sedang memeluk mesra lengan Narendra. "Apapun yang kamu inginkan, selagi bisa, akan aku lakukan." Tangan Narendra mengusap lembut pucuk kepala Aruni. Mendengar ucapan dari sang kekasih, membuat Aruni melebarkan senyumannya. Setelahnya, ia mendaratkan kecupan mesra di pipi milik Narendra. "Ayo turun lalu masuk." "Semoga saja istrimu yang kata ibu seperti risoles itu menerima keputusanmu ya, Sayang." "Harus! Aku sudah siapkan senjatanya agar Fiona tidak bisa berkutik," ucap Narendra penuh dengan rasa percaya diri."Dan aku percaya sama kamu." Sepasang kekasih itu pun saling melempar senyum. Gegas mereka membuka pintu– bergerak keluar–lalu kemba
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 11Begitu Fiona memasuki ruang tamu, kedatangannya langsung disambut oleh Aruni yang tersenyum ke arahnya. Fiona mencebik, lalu dirinya mendudukkan bokong di sofa yang paling jauh jaraknya dengan sofa yang diduduki oleh Narendra bersanding dengan Aruni."Cepat katakan apa yang ingin kalian bicarakan, aku tak cukup banyak waktu." Fiona menyandarkan punggung. Pandangannya tertuju pada kuku-kuku yang dimainkannya, Fiona sama sekali tak tertarik menatap sepasang kekasih gelap itu. "Fi, karena kamu sudah mengetahui hubungan kami, jadi rasa-rasanya tidak perlu lagi kami bersembunyi- sembunyi. Kamu pasti tau dong apa sih tujuan dua orang dewasa dan berlawanan jenis jika sampai menjalin hubungan?" "Sudahlah, Mas, tak perlu muter-muter. Katakan saja langsung ke pokok permasalahannya." Fiona menjawab dengan kalimat menohok. "Katakan saja, Sayang. Sepertinya memang tidak perlu berbasa-basi." Kali ini Aruni bersuara. Membuat Narendra menoleh lal
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 12"Duduklah dulu, Fi. Pembicaraan kita belum usai." "Apa lagi? Keputusanku tidak bisa diganggu gugat, Mas. Sekalipun kalian bersujud di kaki-ku, aku tak akan memberikan izin. Aku masih berbaik hati memberikanmu solusi dengan menceraikan aku," ucap Fiona yang masih berdiri di tempatnya. "Oke jika itu maumu, Fi. Tapi, jika kamu memang menginginkan perpisahan, maka kamu tak mendapatkan sepeserpun harta." Ucapan Narendra sontak saja membuat kedua bola mata Fiona terbelalak. Aruni yang mendengar ucapan sang kekasih lantas tersenyum, kemudian ia menyandarkan punggungnya lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Itu konsekwensi yang harus kamu terima kalau kamu ngotot ingin bercerai, Fi." Belum sempat Fiona merespon, Narendra kembali berucap. "Kamu tinggal pilih. Berpisah tanpa mendapatkan harta, atau menerima Aruni sebagai adik madu," lanjut Narendra dengan begitu entengnya. Sedikit pun ia sama sekali tak memikirkan perasaan sang i
KETIKA SELINGKUHAN SUAMIKU DATANG KE RUMAHKUBAB 13Fiona berdiri di balik jendela, menatap kepergian mobil sang suami dengan emosi yang masih membuncah. Bahkan, ia harus mengepalkan kedua tangannya sebagai bentuk peluapan. "Harusnya aku tadi membunuh mereka berdua," desis Fiona setelah tak lagi terlihat kendaraan roda empat itu. Berikutnya, wanita itu memutar tubuh. Ia ingin berjalan menuju kamar. Namun, baru saja ia mengangkat kaki kanannya, kedua iris hitam itu mendapati sebuah ponsel tergeletak di lantai. "Ponsel siapa itu?" lirih Fiona dengan kening berkerut. Lalu wanita itu melangkah–berjongkok–dan mengambil ponsel yang tergeletak. Fiona membolak-balikkannya, ingin melihat lalu menebak siapakah pemiliknya. "Ya, ini ponsel rahasia Mas Narendra," lirih Fiona, sebab setelah ia menekan menu power seketika wajah sang suami terpampang dengan jelas di layar ponsel.Fiona cepat-cepat melangkah menuju kamar setelah kembali menutup pintu. Lalu, wanita itu mendudukkan tubuhnya di tepi r