Ingatanku kembali terdampar. Aku ingat betul, dulu saat awal kehamilan Mas Yoga sama sekali tidak memberiku uang sebagai pegangan. Alasannya karena Mas Yoga sendiri yang bisa memenuhi semua keperluan kami. Dia berkata akan mengatur keuangan sebagai kepala keluarga. Aku jelas tersinggung karena merasa tidak dipercaya untuk mengelola rumah tangga kami. Namun aku hanya bisa mengalah. Sejak saat itu kami selalu memiliki alasan untuk bertengkar. Aku merasa tertekan karena tidak berhak membeli kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan Zidan. Semuanya harus meminta izin dan persetujuan dari Mas Yoga.
Sebagai seorang istri, aku tetap berusaha untuk patuh. Sebisa mungkin aku tidak mengeluarkan uang terlalu banyak untuk diriku sendiri. Aku jarang berdandan dan makan seadanya. Bagiku yang terpenting adalah mengedepankan kesehatan Zidan. Anakku tidak bersalah. Seburuk apapun kondisiku, aku tidak menyesal telah mengandung dan melahirkannya ke dunia. Namun saat melihat keperluan Zidan sangat memprihatinkan, aku menyalahkan diri dan merutuki nasib yang sedang kujalani. Dan lagi-lagi, aku hanya bisa memasrahkan segalanya pada Tuhan.
Mas Yoga jarang sekali mengantarku untuk memeriksakan kandungan. Kehamilanku selama sembilan bulan hanya diisi dengan rasa miris. Terkadang aku menatap iri para wanita hamil lain yang diperlakukan begitu baik oleh suami mereka. Aku melihat bagaimana mereka ditenangkan saat hendak melakukan pemeriksaan. Aku sangat menginginkan itu, tetapi Mas Yoga beralasan dia harus lembur di kantor karena pekerjaan yang menggunung. Di dalam hati, aku meragukannya. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi selama ini aku selalu berusaha untuk mengendalikan pikiranku dari prasangka buruk.
Malam hari, setelah aku memastikan Zidan terlelap dengan nyaman, aku memilih bangkit dari tempat tidur. Perutku berbunyi. Lapar, itu yang sedang aku rasakan.
Kedua langkah kakiku beranjak, keluar dari kamar dengan suara sepelan mungkin agar Zidan tidak terganggu. Dia sangat sensitif terhadap suara sekecil apapun. Jika Zidan sampai terbangun, akan sangat sulit untuk membuatnya tertidur kembali.
Pandanganku menangkap televisi yang menyala tanpa keberadaan Mas Yoga. Kedua alisku terangkat, dimana dia? Mengurungkan niatku untuk pergi ke dapur, aku memilih berjalan keluar dari rumah untuk memeriksa keberadaan Mas Yoga. Rasanya tidak mungkin jika suamiku pergi dari rumah, besok dia harus berangkat bekerja pagi-pagi sekali.
Aku tertegun sebentar, terpaku di ambang pintu dengan pandangan fokus pada Mas Yoga. Aku menatapnya tanpa ekspresi. Perasaanku campur aduk begitu saja. Ini bukan kali pertamanya aku mendapati Mas Yoga menelepon seseorang tanpa memikirkan keadaan sekitar. Dia tidak mempedulikan bahwa ini sudah larut malam. Pria itu seolah melupakan waktu, bahkan sesekali aku melihat tawa bahagia yang jarang ia berikan untuk sekedar menghiburku.
Kulihat ia menyadari keberadaanku, lantas berdeham satu kali. Aku masih berdiri di ambang pintu, berharap dia menghampiriku lebih dulu. Mas Yoga bersuara pada seseorang dalam telepon lagi, mengatakan jika akan menghubungi lagi nanti. Setelahnya memasukkan ponsel ke dalam saku celana, dan berjalan mendekat dengan wajah netralnya.
“Telepon dari siapa, Mas?” tanyaku sembari mengerutkan dahi.
Mas Yoga membasahi bibir berulang kali, kebiasaannya saat hendak berbohong. Kami sudah menikah cukup lama, aku tahu kapan ia berbohong dan kapan dia mengatakan yang sebenarnya. Dan geliatnya sekarang cukup membuktikan, Mas Yoga hendak menutupi sesuatu.
"Arya, dia menawariku untuk membeli motor tarikan dari customer yang gagal bayar," jawabnya santai. Mas Yoga berusaha tenang, tapi aku merasa ada yang janggal.
"Selarut ini?" tanyaku lagi.
Aku tidak terlalu bodoh untuk bisa memahami. Mas Yoga terlalu meremehkan kepekaanku terhadap gelagat mencurigakannya selama ini. Lagipula jika ini urusan kantor, mengapa dia harus pergi ke luar rumah untuk menjawab telepon? Bahkan sampai meninggalkan siaran bola favoritnya begitu saja.
"Kenapa menjawabnya di luar? Mengapa tidak di dalam rumah saja? Ini sudah malam, Mas, bagaimana jika tetangga kita merasa terganggu" tanyaku beruntun.
Aku berusaha untuk tidak meninggikan nada bicara marena tidak ingin didengar oleh tetangga. Jarak antar rumah petakan memang sangat dekat, hanya terpisah oleh setengah dinding. Aku yakin mereka bisa mendengar setiap kali kami berseteru.
Mas Yoga memutar bola mata malas, lalu menatapku dengan kedua alis menyatu.
"Kamu ingin membuat Zidan terbangun tengah malam?" tanya Mas Yoga balik. Aku tertawa sumbang, Zidan selalu menjadi alasan. Aku tidak akan percaya, karena sudah kesekian kalinya ia memaparkan alibi yang sama.
Karena enggan berdebat di malam hari, aku memilih untuk meninggalkannya di ambang pintu. Daripada kesal sendiri, aku masuk ke dalam kamar. Bahkan rasa lapar yang tadi begitu menyiksa mendadak lenyap begitu saja. Napsu makanku sudah terkalahkan oleh amarah terpendam yang siap meledak kapan saja. Aku lelah menghadapi Mas Yoga.
Di dalam kamar, aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Bulir air mataku mulai turun. Bibir bawahku kugigit dengan kencang, berusaha untuk tidak mengeluarkan sedikit pun suara agar Zidan tidak terjaga.
***
Tangisan kencang Zidan berhasil membuatku mengerjapkan pandang. Di subuh yang dingin ini, aku terbangun dengan mata sembap karena menangis terlalu lama. Pandanganku beralih pada Zidan sembari mengumpulkan kesadaran yang tersisa.
Terkejut, aku terkejut bukan main saat sprei bagian tengah basah. Namun itu bukan ompol, aku bisa melihat cairan pekat kemerahan mengenai paha Zidan. Bahkan selimut kecil yang sebelumnya aku selubungkan ke tubuh mungil putraku telah merosot karena kedua kakinya bergerak tak nyaman.
Aku bergegas membuka popok dengan pandangan khawatir. Darimana asal darah itu? Sejenak, aku terpaku. Tanganku bergetar saat mendapati Zidan buang air besar bercampur darah dengan jumlah banyak.
"Ya Tuhan. Kamu kenapa, Nak?” tanyaku dengan bibir gemetaran. Aku panik bukan main hingga kembali menangis. Isakanku padam karena tangisan Zidan jelas lebih kencang dariku.
Pikiranku langsung tertuju pada Mas Yoga. Aku harus memberitahukan kondisi Zidan pada suamiku. Zidan harus segera dilarikan ke rumah sakit. Kedua kakiku beranjak turun dari tempat tidur, mencari keberadaan Mas Yoga yang rupanya berbaring di dalam kamar. Kulihat ia malah memejamkan mata di atas kursi dengan televisi yang masih menyala. Aku bergegas menggoyang-goyangkan tubuh Mas Yoga sementara air mataku masih berlinang. Khawatir dan takut akan kondisi Zidan membuat pikiranku kacau.
"Mas, bangun! Antar aku dan Zidan ke rumah sakit sekarang!" seruku. Aku berusaha sekeras mungkin untuk membangunkan Mas Yoga, tetapi dia tidak kunjung terjaga.
“Mas!” Aku kembali berseru. Setengah terkejut Mas Yoga langsung menyentak kedua tanganku dengan gerakan kasar. Aku hampir terjatuh ke atas lantai karena tidak bisa menjaga keseimbangan.
"Arista! Kenapa mengagetkan, hah? Aku baru saja tidur! Kamu mau membuatku kena serangan jantung!" serunya mengomel.
Aku menatap Mas Yoga dengan pandangan kecewa. Bahkan saat anak kami sedang tidak baik-baik saja, Mas Yoga lebih memilih melanjutkan tidurnya.
“Mas, tolong bangun. Zidan harus segera dibawa ke rumah sakit,” lirihku kembali. Menepis segala kekecewaan dan ketakutan yang ada agar Zidan ditangani secepatnya. Mas Yoga mengerang marah sebentar, lalu bangkit dari posisi berbaringnya. Dia bangun setelah mendengar suaraku yang lemah dan tidak berdaya.
"Ayo, cepat!” serunya tidak sabar. Dia menyambar jaket hitamnya yang tersampir di kursi. Aku bergegas menghapus air mataku dengan gerakan kasar, lalu berlari kecil menuju kamar untuk menggendong Zidan.
***
Sudah sekitar satu jam Zidan ditangani, namun dokter tidak kunjung menampakkan diri. Mas Yoga melanjutkan tidurnya di kursi tunggu, sementara aku menatap was-was di depan pintu IGD.
Pintu terbuka, seorang dokter dan suster di belakangnya keluar. Aku langsung mendekat dengan wajah khawatir. Dokter itu sempat melihat Mas Yoga yang terpejam nyaman dalam tidurnya, lantas beralih menatapku dengan senyuman singkat."Ibunda Zidan?” tanya dokter. Aku mengangguk cepat sebagai jawaban.
“Zidan menderita diare akut, untung saja dibawa kemari tepat waktu. Zidan harus segera diopname karena menunjukkan gejala dehidrasi, Bu. Darah di fesesnya juga sangat pekat dan membutuhkan penanganan lebih serius. Kami sudah memanggil dokter spesialis anak agar segera memeriksa Zidan," terang dokter jaga tersebut.
"Mas, kamu tidak boleh egois seperti ini, kita harus menuruti saran dari dokter!" Aku berseru tidak terima, tidak peduli hari mulai beranjak pagi. Banyak orang-orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit.Mas Yoga bersikeras supaya Zidan tidak diopname. Ia ingin Zidan menjalani rawat jalan saja. Aku tidak mengerti mengapa Mas Yoga menjadi kepala batu seperti ini. Padahal yang paling penting saat ini adalah keselamatan putra kami.Aku tidak kuat melihat Zidan terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Ia sudah buang air lebih dari lima kali. Aku lihat Zidan tidak mampu lagi meneteskan air mata. Menurut dokter ini adalah salah satu tanda dehidrasi. Andai saja kemampuan bicaranya sudah sebaik orang dewasa, ia pasti akan berkeluh kesah.Sorot mata Zidan yang sendu serasa mengoyak habis hatiku. Aku tidak akan tega bila putraku satu-satunya tidak ditangani dengan baik. Namun Mas Yoga terus meninggikan ego, berkata jika Zidan tidak perlu ditangani seserius itu. Padahal dokter yang leb
"Mas Yoga," seruku berusaha memanggilnya. Mas Yoga tidak menoleh sama sekali. Justru ia mempercepat langkahnya meninggalkanku. Aku terpaksa berhenti mengejarnya karena harus mengurus Zidan. Terlebih aku melihat dua orang perawat sudah mendorong kasur roda tempat Zidan berbaring. Pertanda bahwa putra kecilku akan segera dipindahkan ke ruang rawat."Sus, dimana kamar anak saya?" tanyaku bergegas mengikuti perawat itu."Di kamar 304, Bu, ruang Pelangi lantai tiga."Aku bergegas mengikuti perawat itu ke dalam lift. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali mengusap lengan Zidan untuk membuatnya lebih tenang. Aku berusaha keras untuk menahan air mata supaya Zidan tidak semakin gelisah. Karena meskipun dia masih bayi, dia bisa membaca ekspresi wajahku dengan baik.Salah satu perawat membukakan pintu kamar, lalu perawat yang lain mendorong masuk kasur roda tempat Zidan berbaring. Setelah itu, mereka memindahkan Zidan ke tempat tidur yang ada di kamar tersebut berikut dengan selang infusnya."Say
Ibu menemaniku menjaga Zidan hingga petang hari. Kulirik jam di ponsel yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibu pasti sudah lelah, namun ia masih setia mengajak bermain cucu kesayanyannya."Bu, pulang saja, ini sudah jam lima sore. Ibu harus istirahat,” ucapku pada Ibu yang tengah duduk di atas kursi.Ibu menoleh ke arahku kemudian menatap langit kejinggaan dari balik kaca jendela. Beliau lalu kembali menatapku dengan tatapan khawatir."Kamu bisa jaga Zidan sendirian? Yoga belum datang sampai sekarang," tanya Ibu sembari bangkit dari kursi.Aku mengangguk, "Iya, Bu. Aku akan menelpon Mas Yoga supaya cepat datang," bujukku berharap Ibu mau pulang ke rumah petakanku yang kecil. Sebenarnya aku malu karena tidak dapat memberikan tempat singgah yang layak untuk ibuku. Padahal Ibu terbiasa tinggal di rumah warisan kakekku yang besar dan nyaman.Ibu menghela nafas lalu tersenyum."Baiklah, tapi jangan lupa makan malam, Arista."Ibu mengelus sayang kepala Zidan lalu mencium pipinya."Zidan
Aku pulang dengan ojek sesuai perintah Mas Yoga. Dalam perjalanan sempat terpikir olehku kenapa aku jadi sebodoh ini. Aku diperlakukan seenaknya oleh Mas Yoga tapi tetap saja aku menurut padanya.Kerap kali aku mendengar nasehat bahwa seorang istri harus tunduk dan berbakti kepada suami. Tapi bila membiarkan diri terus ditindas bukankah ini merupakan bentuk kebodohan? Mungkinkah aku terlalu lemah atau sebenarnya aku takut diceraikan oleh Mas Yoga? Jujur, aku tidak ingin mengalami nasib yang sama seperti ibuku. Ditinggalkan suami dan harus membesarkan anak seorang diri sangatlah berat. Aku tidak akan sekuat ibuku untuk menghadapinya.Tenggelam dalam pikiranku sendiri, aku sampai tidak sadar kalau sudah tiba di depan rumah petak."Bu, betul ini rumahnya?" tanya driver ojek dengan suara cukup keras. Aku sampai melonjak kaget karenanya. Barangkali driver ojek ini sengaja meninggikan suara supaya aku tersadar dari lamunan."Eh, iya, Pak, betul. Terima kasih," ucapku seraya mengembalikan he
"Makasih, Rif, sudah mengantarku," ucapku menyerahkan ganti uang bensin kepada pemuda baik hati ini. Aku merasa beruntung karena memiliki tetangga sebaik Arif dan ibunya. Mereka kerap kali menolongku layaknya saudara sendiri."Sama-sama, Mbak. Saya langsung pulang ya. Nanti sore saya akan menjenguk Zidan bersama Ibu," jawab Arif dari balik helmnya.Aku ingin mengatakan pada Arif kalau kemungkinan Zidan akan pulang hari ini, tapi pemuda itu sudah berlalu pergi dengan motornya. Aku pun memutuskan untuk memberitahunya nanti lewat pesan singkat. Dengan tergesa-gesa, aku berjalan menuju ke lift. Hatiku berdebar menunggu pintu lift itu terbuka. Apalagi saat kulirik jam sudah menunjukkan pukul enam lewat. Aku yakin Mas Yoga akan memarahiku kali ini.Suara dentingan lift memaksaku melangkahkan kaki keluar. Setengah berlari, aku menyusuri koridor menuju ke kamar Zidan. Karena sudah hafal letaknya, aku pun sampai dengan cepat. Kuketuk pintu dua kali sebelum masuk agar tidak mengejutkan Mas Yoga
Selesai membereskan dapur, aku melihat Mas Yoga sedang sibuk dengan laptop dan gawainya di ruang tamu. Sesekali kudengar dia berdecap seperti kesal akan sesuatu. Tak ingin menambah masalah, kuputuskan untuk berlalu ke kamar.Ibu sudah tertidur pulas di samping Zidan. Aku yakin Ibu sedang memendam kemarahan karena aku tidak berhasil membuat Mas Yoga mengakui perbuatannya. Karena itu ia lebih memilih tidur daripada melihat wajahku.Aku beringsut naik ke atas tempat tidur dengan hati-hati. Jangan sampai aku menimbulkan suara berisik yang bisa mengganggu kenyamanan tidur Zidan dan Ibu. Kuambil satu bantal yang tersisa lalu kutepuk perlahan supaya terasa lebih nyaman. Setelah merebahkan diri, aku menghadap ke dinding seraya memejamkan mata. Tubuhku ingin sekali beristirahat namun pikiranku terus berkelana. Nampaknya fisik dan mentalku saling bertentangan satu sama lain.Kuubah posisi tidurku dengan menghadap pada putra kecilku. Cukup lama aku bertahan dalam posisi itu, tapi tetap saja aku
Karena gelisah memikirkan apa yang akan terjadi, aku bangun pagi-pagi sekali. Melihat Ibu dan Zidan masih terlelap, aku turun dengan gerakan sangat pelan dari tempat tidur. Aku harus memasak makanan dulu untuk mereka. Ini adalah persiapan yang wajib kulakukan sebelum pergi. Apalagi aku tidak bisa memprediksi berapa lama aku akan meninggalkan rumah. Bisa satu jam, dua jam atau bahkan lebih. Semua itu tergantung pada fakta apa yang nanti akan terkuak. Aku hanya berharap semoga rahasia yang disembunyikan Mas Yoga tidak akan terlalu menyakitkan hatiku.Tatkala hendak menuju dapur, Mas Yoga masih mendengkur pelan di sofa. Bisa-bisanya kamu tertidur tanpa merasa berdosa sama sekali, Mas, batinku pedih. Apa sedikitpun kamu tidak bisa merasakan penderitaanku?Ah, sudahlah, percuma saja aku berharap dia akan menjadi suami yang pengertian. Aku pun meneruskan langkahku menuju dapur. Segera aku mencuci beras, mengambil sayuran dan daging ayam yang ada di kulkas. Tanganku bergerak lincah mencuci s
Dengan perasaan yang tak menentu, aku menunggu petugas customer service menyelesaikan permasalahan Mas Yoga. Usai Mas Yoga mengisi semua formulir, ia pun membuat pin ATM yang baru. Aku memperhatikan gerak-geriknya dengan seksama. Sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. Barangkali aku yang terlalu berprasangka buruk padanya hingga berpikiran macam-macam. "Ini Pak, buku tabungan dan KTPnya." "Terima kasih, Mbak," jawab Mas Yoga. Kemudian sang petugas customer service menjelaskan soal pendaftaran internet banking kepada Mas Yoga. Sambil menyimak, aku mengambil buku tabungan dari genggaman Mas Yoga. Ia nampak terkejut melihatku merampas bukunya begitu saja. Namun Mas Yoga tidak bisa melarangku karena masih berbicara dengan petugas di depannya. Dengan tangan yang gemetar, aku membuka lembaran buku tabungan Mas Yoga mulai dari halaman paling akhir. Fokus utamaku adalah melihat transferan gaji dari kantor. Benarkah transfer gaji selalu terlambat dan hanya dibayarkan setengahnya seperti ka