Rena menunduk dan duduk dengan tegang. Jari-jarinya yang saling bertautan tampak bergerak gelisah. Sedangkan Luke ada di sebelah kirinya. Ia tengah menyetir dengan pandangan terpaku pada jalanan yang tidak begitu ramai.
“Aku akan pergi setelah mengantarmu. Jika kamu merasa perlu untuk segera beristirahat, aku bisa mengantarmu ke hotel terdekat atau kamu ingin langsung ke rumah?” Luke bertanya dengan mata melirik Rena dan menemukan orang itu terdiam dengan fokus yang terbelah. Matanya tampak menatap pangkuannya dengan dengan gamang. Apapun yang sedang dia pikirkan, Luke tidak suka diabaikan.
Alis Luke tiba-tiba menukik tanda tidak suka. Tangannya mencengkram kemudi dan rahangnya mengeras. Luke tiba-tiba menukikkan mobilnya ke tepi jalan dengan brutal hingga Rena tersentak dan membelalakkan matanya.
“Sialan, Rena Martin!” Luke berteriak marah sambil menarik dagu Rena agar menatapnya. Wajahnya yang mengeras tampak mengerut marah.
“Sepertinya ada satu hal yang harus kamu tahu.” Luke mendesis tajam. Dilihatnya Rena meringis secara menyebalkan.
“Kalau aku tidak suka berbicara dengan diriku sendiri.” Luke melepaskan dagu Rena dengan sentakan keras. Sekali lagi merasa muak melihat Rena yang meringis.
“Sekarang jawab pertanyaanku!” Suaranya kini terdengar sangat menggelegar. Suara itu mengisi mobil mereka dengan sangat pekak hingga terdengar seperti bunyi guntur yang besar.
“A-aku baik-baik s-saja dengan ap-apapun p-pilihanmu.” Suara Rena yang serak dan bergetar membuat Luke segera menurunkan kaca jendelanya. Perempuan itu takut, takut sekali.
“Jeff, aku akan ke rumah pribadiku. Aku minta siapkan beberapa pengawal.” Luke berbicara sesaat setelah pemuda tampan mendekati mobil mereka. Lalu Luke bersiap untuk kembali mengendarai mobilnya setelah orang tadi membungkuk hormat dan memasuki salah satu mobil SUV yang berada di belakang mobil mereka.
“Rena, kuharap kamu bisa menjadi lebih baik.” Rena hanya bisa kembali menunduk karena suara Luke terdengar penuh ancaman yang mengerikan. Tubuhnya yang gemetar tidak dapat dia sembunyikan. Rasanya seperti ingin menghilang saja.
.
.
.
Rena membuka matanya sesaat setelah mendengar sedikit bebunyian. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya lemas, tapi masih terasa lebih baik dari terakhir kali ia membuka matanya. Rena terbangun di sofa sebuah ruang keluarga yang mewah dan bagus. Tadi ia tertidur di ruangan itu sesaat setelah Jeffrey mengantarkan kopernya. Jeffrey yang membiarkannya tertidur dengan izin Luke karena dirinya yang tampak menyedihkan.
“Aku membangunkanmu?” Luke berdiri di dekatnya. Ia tampak melepaskan jasnya, terlihat cukup kelelahan oleh pekerjaan yang mungkin sangat merepotkan.
“Tidak.” Rena menjawab lirih. Ia kemudian bangun untuk mendekati Luke dan membantu pria itu melepaskan dasinya setelah mengambil jas Luke dan menyampirkan di lengannya.
“Kamu sebaiknya kembali beristirahat.” Luke memegang pinggang Rena saat melihat tubuh kurus itu sedikit limbung. Tanpa dia sadari wajahnya mengerut dan matanya menyampaikan kekagetan serta kekhawatiran.
“Aku baik-baik saja.” Wajah Rena tampak berkerut saat harus mendongak. Tapi ia tetap melepaskan simpul dasi Luke dengan tangan kanannya yang terasa nyeri.
“Tapi kamu hampir jatuh tadi.” Luke meremas sedikit pinggang Rena karena rasa khawatir. Rena benar-benar hampir jatuh dan dia terlihat cukup lemas sekarang.
“Aku baik-baik saja, sungguh.” Rena mencoba meyakinkan Luke dengan memegang tangan Luke lembut. Dilepasnya remasan Luke pada pinggangnya dengan hati-hati. Itu tidak menyakitkan, tapi Rena hanya tidak suka melihat orang lain khawatir padanya.
“Aku akan memasak makan malam. Apa kamu perlu air hangat untuk mandi?” Rena juga menyampirkan dasi Luke di lengannya, ia akan mencucinya nanti.
“Ya, tolong.” Luke lalu mendudukkan tubuhnya di sofa yang tadi Rena gunakan. Ia menggerakkan lehernya yang terasa kaku sambil memperhatikan Rena yang berjalan menuju kamarnya dengan tubuh yang masih membungkuk menyedihkan.
.
.
.
Rena berjalan dengan sedikit meringis karena rasa nyeri pada perutnya dan rasa pening di kepalanya. Sakit, sangat menyakitkan. Hingga membuat Rena kembali ingat dengan apa yang kakak dan ibunya lakukan padanya. Mereka menyakitinya, fisik dan mentalnya.
Rena menggigil, kejadian malam itu tiba-tiba muncul di kepalanya. Kejadian malam perjodohannya dengan Luke. Rena belum siap, benar-benar belum siap. Mereka sudah merebut kehidupannya dan sekali lagi mereka membuat Rena hanya diam di bawah kendali. Rena sangat ingat apa yang Bella katakan. Kalau ia harus tinggal bersama Luke, kata Bella ibunya yang mengatakannya. Tapi dia tidak bisa menolak karena meskipun dia menolak, jawaban tidak ditentukan oleh tangannya.
Rena tiba-tiba menggeram dengan tangan kiri yang bertengger pada dinding dan tangan kanan yang terluka memegang kepalanya. Rasa frustasi, gugup, sedih dan ketakutan seakan berkumpul di ubun-ubunnya. Sekarang kepalanya tidak lagi terasa pening, tapi terasa penuh dan sesak.
“Rena?” Seseorang datang dan memapahnya, sangat membantu untuk menopang tubuhnya.
“J-Jeffrey? Ugh...” Ternyata Jeffrey sudah kembali. Rena baru mengenal pria ini, tapi Jeffrey benar-benar orang yang ramah dan banyak tersenyum padanya.
“Astaga! Kamu sakit? Bagian mana yang sakit? Apa kamu baik-baik saja?” Rena terlihat pucat dan menggigil. Ia terlihat rapuh dan mudah terluka hingga membuat Jeffrey takut kalau tangannya yang besar dan kuat dapat menghancurkannya dengan sangat mudah.
Tapi Rena tersenyum sebuah senyum penuh keterpaksaan. Rena hanya berusaha meyakinkan Jeffrey kalau dirinya bak-baik saja. Namun, Jeffrey tahu semuanya, Rena tidak baik-baik saja. Jeffrey tahu dari bagaimana manik kecokelatan Rena bergetar, menyampaikan rasa frustasi dan kesakitannya.
“Rena, kamu...” Jeffrey tidak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya. Ia hanya menarik tubuh Rena dan memerangkap tubuh kurus itu dalam pelukannya.
Rena sangat lemah karena dengan terlalu mudah menumbuk dadanya. Jeffrey memeluk erat Rena yang terasa sangat kecil di dalam pelukannya. Jeffrey sudah tidak lagi ingin melihat orang lain yang menderita di bawah kuasa mereka, Jeffrey sudah tidak bisa.
“Jeffrey, aku baik-baik saja.” Rena menepuk-nepuk punggung Jeffrey lembut, seakan menenangkan pria itu dari seluruh rasa bersalahnya.
“Tapi, Rena-“
“Tidak, Jeffrey. Dengar! Dengarkan aku, ya? Aku baik-baik saja. Tapi kamu tahu aku sedang terluka, kan? Aku hanya sedang terluka. Itu yang membuatku jadi tampak tidak baik-baik saja.” Rena menarik paksa tubuhnya dari pelukan pria itu, mencengkram kedua bahu tegap dan tinggi Jeffrey untuk sekedar meyakinkan kalau dirinya baik-baik saja.
“Tunggulah di meja makan. Aku akan mengajak Luke turun, kita makan malam bersama.” Rena mengusap-usap lengan atas Jeffrey yang berotot. Wajah manisnya tampak tersenyum lembut, membuat sesuatu yang hangat terasa mengalir di dada Jeffrey.
Itu bukan rasa yang spesial, dia tahu kalau rasa itu terbentuk dari rasa kagum. Jeffrey baru mengenal Rena, tapi Rena benar-benar baik dan lembut. Entah kenapa Jeffrey jadi sedikit sedih karena Rena harus terjebak dalam dunia mereka yang mengerikan.
Warning! Terdapat kata-kata kasar. Hanya untuk keperluan cerita, tidak untuk ditiru!
Rena mendesah lega saat kedua kakinya berhasil menapak di lantai datar dengan sempurna setelah berjuang dan kesakitan untuk menaiki tangga. Ia berjalan perlahan ke sebuah pintu besar yang indah. Segera membukanya saat sudah meraihnya untuk melihat sosok pria yang tengah tertidur dengan posisi tubuh duduk. Punggung tegap laki-laki itu terlihat bersandar dengan cukup nyaman di kepala ranjang. Rena tiba-tiba merasa sedikit takut karena harus membangunkan pria berwajah tampan yang terlihat kelelahan itu. Tapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, Luke adalah calon suaminya dan Rena harus peduli padanya. Luke bisa saja sakit kalau tidak memiliki makanannya dan sebagai calon pasangan yang baik, Rena harus memperhatikan asupan makanan dan kesehatan Luke. Rena harus membuat calon suaminya merasa senang dan puas dengan pelayanannya. “Luke.” Rena memanggil lirih dan sedikit menggoyangkan tubuh Luke, berharap dengan itu Luke akan segera terbangun. Kemudian Luke tampak terganggu dan Rena menarik
Setelah Rena selesai menyiapkan sarapan, ia segera menuju ke kamar calon suaminya. Saat membuka pintu, ia menemukan Luke yang masih terlihat sangat serius. Calon suaminya masih berkutat dengan pekerjaannya. Setelah menyiapkan diri, Rena mendekat dengan hati-hati, cukup untuk membuat orang itu menatapnya. “L-Luke, a-aku berpikir untuk menyiapkan a-ir untukmu m-mandi.” Rena sekali lagi membuat rasa tidak nyaman mulai memenuhi hati Luke. Karena Rena dan sikapnya sungguh menciptakan perasaan lain di hatinya. “Baiklah, kamu siapkan air dan aku akan menyiapkan berkasku sebentar.” Luke menyahut dengan setengah minat. Calon istrinya adalah orang yang penurut dan Luke menyukainya. Tapi bagaimana bisa orang yang akan menjadi pendamping hidupnya menjadi sangat takut padanya? Mereka akan tinggal di sisi satu sama lain sampai tidak tahu kapan dan dia tidak bisa membayangkan kalau mereka akan hidup seperti itu terus-menerus. Rena berbalik dan pergi ke kamar
Luke duduk dengan tenang di samping laki-laki yang tengah menyetir dengan rahang mengeras. Laki-laki itu Jeffrey dan Jeffrey sedang marah. Tapi Luke tahu kalau ia tidak perlu melakukan apapun untuk membuat amarah orang itu meledak padanya. “Aku yang keliru atau kamu memang semakin berengsek?” Suara Jeffrey terdengar rendah dan serak. Luke tahu orang itu terlalu menahan emosinya. “Kita sama-sama tahu kalau aku memang berengsek.” Luke tersenyum. Ia sedikit bangga pada dirinya yang sangat tahu tabiat temannya itu. “Tingkat keberengsekanmu naik ke tingkat yang lebih berbahaya.” Jeffrey menyahut dengan geraman di akhir kalimatnya. Tapi Luke malah tertawa pelan. “Semakin berbahaya, maka Phoenix akan semakin hidup.” Nada suara itu terisi dengan kekejaman. Kekeh kecil muncul dari sela-sela bibirnya. “Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa ada jiwa sialan dalam tubuh rupawan? Iblis seharusnya tidak hidup di dunia manusia.” Jeffrey membelo
Rena melangkah menuju perpustakaan dengan sangat pelan. Meski tubuhnya masih terasa sakit, ia bertekad untuk mengerjakan berkasnya. Tubuhnya memang kesakitan, tapi pendidikannya adalah yang utama. Selain itu ada yang mengganjal di hatinya, Rena memang tidak merasakan nyaman di hatinya. Rasa tidak nyaman karena pembicaraan tadi dan karena meninggalkan teman-temannya tanpa pamit. Dia tidak terbiasa untuk bersikap egois hingga bersikap sedikit egois seperti tadi berhasil sedikit mengganggunya. Kepala Rena sampai terasa penuh karena rasa bersalah. “Oh! Hai, Rena Martin!” Seorang perempuan memanggil nama Rena dan Rena menatapnya untuk menemukan perempuan itu melihat ke arah jam tangannya sebentar. Perempuan itu adalah seorang dosen sekaligus penjaga perpustakaan yang sudah cukup akrab dengannya. Rena memang sangat menyukai perpustakaan, oleh karena itulah penjaga perpustakaan jadi mengenalnya. “Selamat pagi.” Ini pukul 10.32 am, masih pagi. “Selamat
“Bagaimana kabar James?” Irene mencoba mencairkan atmosfer beku sejak Rena pergi tadi. Tidak ada yang menyukai keadaan itu, jadi dia memutuskan mencoba untuk memecahkan suasana. “Baik. Anak itu baik-baik saja.” Ben tersenyum, mengingat betapa menggemaskannya kaki tangan paling diandalkannya itu. “Terkadang aku merasa kasihan padanya. Ia masih terlalu kecil untuk pekerjaan mengerikan itu.” Amora ikut menimpali. James sangat menggemaskan untuk mahasiswa yang memasuki semester awal. Jadi dia tidak bisa membayangkan kalau anak itu telah bekerja di bidang yang mengerikan. “Ben menyayangi anak itu, James tidak akan disakiti. Dia tidak akan membiarkan seseorang yang dia sayangi berada di dalam masalah.” Bella mengerti bagaimana Amora mencintai anak itu. James telah Amora anggap bagai putra sendiri. “Tapi bagaimana bisa anak sekecil itu menarik pelatuk dan melesakkan peluru di antara mata seseorang? Itu terlalu mengerikan untuk anak seusianya.” Amora berkata dengan rasa khawatir yang kenta
Luke benci rumah sakit karena di tempat itulah ia melihat orang yang pernah dicintainya meraung penuh kesedihan. Jadilah Luke membawa tubuh lunglai Rena ke rumah mereka yang besar dan memanggil Helena untuk segera datang. Luke sudah meminta Amora untuk mengganti baju Rena tadi, tepat setelah mereka tiba. Mencoba membuat tubuh kurus itu merasa nyaman meski ia sendiri merasa tidak nyaman mendengar ada banyaknya luka-luka yang pasti menyakitkan. “Bagaimana keadaan Rena? Apa ada sesuatu yang buruk?” Luke yang baru saja datang dari menerima beberapa panggilan segera bertanya, ia tampak khawatir. Ia mendapatkan panggilan dari pekerjaannya sementara Helena memeriksa keadaan Rena yang masih belum sadar. “Rena baik-baik saja. Luka karena pemukulan tidak banyak bertambah buruk dan hanya ada sedikit luka baru. Ia hanya perlu istirahat dan meminum obatnya dengan teratur agar bisa sembuh total.” Helena menyahut dengan tenang sambil mengemas peralatannya. Ia akan pergi setelah ini, karena pekerja
Saat Luke kembali, ia mendapatkan kekacauan. Tadi siang Luke memang kembali ke kantornya untuk menyelesaikan beberapa urusan. Setelahnya ia hanya ingin pulang ke rumah, melihat calon istrinya dan dilayani dengan sangat baik oleh perempuan bertubuh kurus itu. Meski Rena terluka, tapi Luke tidak bisa menyangkal tentang keluarbiasaan perempuan itu dalam melayaninya. Seperti apa yang terjadi tadi siang, setelah Rena memakan bubur dan meminum obatnya, ia malah segera membantu Luke untuk bersiap-siap. Tapi Luke benar-benar bingung sekarang. Hari sudah mulai gelap, namun semua lampu di rumah itu belum dinyalakan, kecuali lampu kamarnya. Ia juga tidak melihat Rena dan Jeffrey di manapun di lantai bawah. Mereka hanya tinggal bertiga, tapi ini cukup aneh untuk tidak melihat Jeffrey di ruang keluarga dan tidak menemukan Rena di dapur. Tiba-tiba sesuatu mengejutkannya, suara pekikan terdengar dari arah atas, dari kamarnya. Luke segera pergi ke tempat itu dengan langkah se
Luke menggeram dengan suara yang seperti berasal dari belakang tenggorokan. Luke terengah-engah, itu merupakan salah satu pencapaian paling tidak nikmat yang pernah dirasakannya. Karena Luke sedang merasa tidak baik, benar-benar tidak baik. Sedangkan Jane melenguh saat Luke menarik diri. Lalu Luke merebahkan tubuh di sebelah kanan tubuh mungil itu. _"Jangan pernah mencintai. Jangan pernah jatuh cinta. Cinta akan menghancurkanmu. Cinta bisa menjatuhkanmu.”_ Luke mendesis karena ingatan tadi sore saat ayahnya meneleponnya masih terasa segar dalam ingatan. Jujur ia tersakiti, hatinya tersakiti. Ia tahu ia tidak bisa mencintai, tapi sesuatu di hatinya terasa berbeda. Luke memejamkan mata saat merasakan sebuah tangan melingkari perutnya dan rambut halus dari kepala yang mungil menyentuh dadanya. Luke tidak menginginkan apapun, kecuali memandang bayangan Rena di pelupuk mata. Sedangkan Jane hanya terdiam saat keheningan menyelimuti mereka. Jane sungg