Pak Su'eb tidak mau menunggu besok. Setelah Bang Amir pulang, dia melanjutkan menukangi mobil bekas hitamnya malam itu juga. Dalam kondisi temaram, dia membawa modul baterai hasil tukar pasang dan sebagian peralatan bengkel ke lokasi mobil di belakang gudang. Tak banyak yang dibongkar sebab kursi jok di dalam kabinnya telah dilepas. Dia yakin belum ada yang mengusik mobil bekas itu. Dari luar, interiornya terlihat kosong. Ditambah sampah yang bertebaran di atas kap, mobil hitam itu tidak akan menarik perhatian para tukang yang bertugas memereteli komponen untuk dijual. Masih banyak mobil di sekitarnya yang tampak lebih normal dan menjanjikan untuk digarap. Kepeduliannya mengondisikan mobil-mobil itu adalah bagian dari strategi untuk mengalihkan perhatian. Dia setuju dengan perkataan Bang Amir, semakin cepat semakin baik. Menunda-nunda hanya akan memperbesar risiko rahasia mobil itu diketahui orang lain. Jika malam ini status kapasitas dayanya mencapai 90 persen, itu sud
Persiapan pindah ke kota lain bagi mereka sangat sederhana. Tidak banyak barang yang harus dibawa. Seluruhnya ada tiga kotak kardus. Dua berukuran sedang dan satu yang agak besar berisi barang ibu dan adiknya. Selain itu, tidak ada sesuatu yang membuatnya berat untuk pergi. Teman-teman Ningsih adalah ayah, ibu, dan adiknya. Sebenarnya dia pernah punya teman pada masa kecil yang dia dapatkan saat ikut ibunya membantu di rumah warga, tetapi tentu saja tidak bertahan lama. Mereka mempunyai kehidupan yang berbeda. Demikian pula dengan anak-anak di rumah singgah yang sering dia temui. Mereka mempunyai lingkaran pertemanan sendiri, sementara, Babah kurang suka dia bergaul dengan para anak jalanan. Mungkin karena banyak dari mereka melarikan diri dari keluarga sehingga Babah takut dia ikut terpengaruh. Ningsih sempat memikirkan Bang Amir serta guru-gurunya yang sering berganti-ganti, termasuk Kak Evi. Namun, mereka tetap terasa asing dan berjarak. Dia tidak punya keber
Rapat umum antar departemen telah dimulai. Pejabat eksekutif dari Badan Otoritas Kota hingga pimpinan divisi menghadiri rapat itu dengan berkumpul di ruang rapat masing-masing departemen. Sementara, seluruh staf dan karyawan diminta ikut menyaksikan di meja kerja mereka hingga nanti rapat berakhir pada jam makan siang. Andy pun telah bergabung secara daring di ruang studionya. Dia bahkan dimasukkan ke dalam room peserta rapat atas permintaan khusus dari Profesor Munir. Ini pengalaman pertamanya mengikuti rapat umum. Antusiasmenya bertambah karena kemungkinan besar isu yang akan dibahas adalah soal virus Z. "Pak William Wonk, Kami persilakan!" ucap Vivian yang menjadi moderator. William Wonk, Kepala Badan Otoritas Kota Betaverse, yang berusia 47 tahun, adalah penerus keluarga biliuner Wonk. Lima tahun lalu dia menjabat sebagai CEO Wonk Industries, perusahaan multinasional yang menjadi salah satu penyokong utama proyek Kota Betaverse. Setelah ayahnya meninggal dun
Virus tersebut melumpuhkan kesadaran orang-orang yang berdiam mematung di pinggir jalan. Kemampuan kognisi mereka berhenti. Demikian pula yang terjadi pada ibu Andy di dalam rumahnya. Tapi, apakah mereka benar-benar tidak merasa mengalami apa pun? "Bandingkan dengan robot di mal ketika sedang dinonaktifkan, mereka juga tidak merespons orang lain! Tapi, pengidap virus Z tidak sama dengan robot-robot humanoid itu," ujar Profesor Munir ke hadirin. Dia lalu kembali mengirim pesan singkat kepada Andy untuk melanjutkan videonya. "Dila, kaburkan wajah Mom and Dad di dalam video!" kata Andy di ruang studionya. Serta-merta Dila memasukkan perintah ke dalam aplikasi untuk mengaburkan wajah cantik Mom. Profesor Munir mengomentari setiap video dari Andy yang memenuhi layar di depan ruang rapat. Sang profesor harus menahan kecewanya ketika mendapati bagian wajah suspek pengidap virus Z—dalam hal ini ibu Andy—, dibuat kabur. Bagaimanapun, dia tahu bahwa Undang-Undang Informasi
Lamat-lamat terdengar bunyi pintu apartemen dibuka seseorang. Mungkin itu Martina. Terjaga dari tidurnya, Bob melihat jam di atas meja nakas, pukul satu lebih. Sinar terik matahari mengintip di sela sambungan gorden yang tertutup. Biasanya, apabila tidur pagi sehabis shift malam, Bob akan bangun pukul tiga sore, kemudian makan siang, lalu bersantai di ruang duduk dan menonton TV hingga waktu joging sebelum pukul lima. Sekarang dia punya waktu lebih untuk melakukan hal lain. Bob bangkit dari ranjang, merasa sudah tidak dapat tidur lagi meski badannya belum segar benar. "Dari mana kamu, Malyshka?" tanya Bob sambil memeluk Martina yang berdiri di depan bak cuci dapur. Diciumnya rambut keemasan wanita asli Rusia itu. "Kau sudah bangun. Tidurmu kurang lelap, ya?" balas Martina dengan aksen asing yang masih cukup kental. Alih-alih menoleh dan membalas kecupannya, Martina sibuk mencuci brokoli di bawah keran. Istrinya tampak tidak bersemangat dan enggan membicarakan kegiatann
Terakhir kali Bob datang ke kantor Departemen Kepolisian enam bulan lalu. Saat itu dia menemani Martina yang menjadi saksi untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di sebelah apartemennya. Yang menarik dalam kasus itu, Bob curiga dengan pengakuan si istri yang menjadi korban, bahwa semua yang diceritakan wanita itu kepada Martina tidak berdasar. Sistem pengawasan sosial di kota ini terlalu rapi sehingga semua orang melaporkan kondisi diri mereka setiap hari, sekalipun itu dilakukan secara tidak sadar. Dari teknologi face hingga voice recognition, tidak ada orang yang dapat menghindar dari pendataan mesin. Semua itu digunakan untuk keamanan mereka sendiri. Akibatnya, sebagai contoh, petugas kepolisian akan segera mendatangi alamat rumah seorang warga ketika satu hari saja keberadaannya hilang dari sistem. Selain itu, jika benar terjadi kekerasan, korban dapat dengan mudah mengaktifkan SOS dengan banyak cara sehingga sistem yang menggunakan artificial intelligence se
Berdiri di pinggir koridor depan pintu lift, Andy tertegun menatap tabletnya. Dia membuktikan kata-kata Dila. Tiket kereta untuk malam ini hingga besok, bahkan setelahnya, kosong. Tidak ada jadwal perjalanan Tegal-Jakarta, tidak ke mana pun. Hanya ada keterangan “pelayanan rute luar kota dihentikan sementara”. Meskipun telah mendapatkan izin cuti, Andy masih belum tahu kapan dia akan berangkat ke Jakarta. Pilihan lain adalah dengan memesan travel mobdron yang berangkat dari Betaverse atau naik pesawat terbang dari bandara Cirebon. Namun, Andy lebih memilih transportasi darat lain seperti bus daripada melayang di atmosfer. Dia akui dirinya mengidap aerophobia. Dia takut naik pesawat terbang, melebihi ketakutannya duduk di dalam mobdron yang hanya terbang di bawah ketinggian seribu meter. "Benar rupanya," gumam Andy. "Kamu meragukan jawabanku, Andy?" balas Dila di airphone-nya. "Apakah sudah diputuskan? Lockdown?" "Belum ada beritanya. Tapi, bukan
Sekitar pukul enam Andy telah mengayuh sepeda dari tempat parkir apartemennya menuju jembatan penyeberangan. Dia berkemas rapi dengan ransel yang terlihat penuh. Jaket kulit domba bertekstur halus yang dia kenakan cukup mampu menahan embusan angin dari daratan Jawa. Namun, dia melambat setelah melihat sekelompok polisi berjaga di mulut jembatan. Ketika akhirnya sepeda itu berhenti, seorang polisi muda datang mendekat. Dengan senter gelang tangan, polisi itu menyoroti sepeda gunung berdesain klasik itu. Andy mencoba tidak ambil pusing. Polisi mengetatkan pengawasan di situasi seperti sekarang adalah hal wajar. Andy hanya berharap jembatan masih dapat dilintasi. Seorang polisi lain datang menghampiri. “Pak Andy Shao?” Andy tidak mengenal petugas berusia sekitar 30 tahun itu. Sistem pengawasan inteligen digital pasti telah memindai muka Andy melalui kamera pengawas di sekitar tempat itu. Dengan cara itu petugas tersebut dapat memperoleh identitasnya dengan mudah. “Selamat malam, Pak