Siapa? 🫥
Senyuman di bibir Elena menghilang tatkala melihat ada orang lain di ruangan yang telah dipersiapkan William. Jason merangkul pinggang Elena dengan protektif. “Elena, cepat duduk sini.” William tersenyum canggung. “Paman Andrew, apa kabar?” sapa Elena, seolah-olah mereka lama tak berjumpa. Andrew mungkin ingin merahasiakan pertemuan mereka waktu itu, pikir Elena. “Kita bertemu kemarin. Aku sudah bicara dengan William.” Tak seperti dugaan Elena, Andrew justru jujur pada semua orang. Hal tersebut menghilangkan sedikit keraguan kepada sang paman. “Kau seharusnya mampir dulu ke sini. Kenapa mengganggu Elena?” keluh William, menyembunyikan rasa gelisah. “Aku ingin menyapa Elena sekaligus Jason karena ada bisnis di dekat kantormu.” “Sudah, sudah ... lihat, William sudah menyiapkan hidangan besar-besaran untuk kita. Kau pasti tahu kita akan datang ke sini, Kakak Ipar,” tebak Whitney, istri Andrew. Tebakan Whitney salah. Hidangan itu dikhususkan untuk merayakan berita membahagiakan Ele
Ruby memutar sebuah botol kecil di tangannya. Cairan bening di dalamnya beraroma wangi cukup tajam meski tertutup rapat. Wanita itu mengernyit dan menjauhkan botol dari hidungnya. Aroma tersebut membuatnya mual karena terlalu pekat. “Apa maksudmu berkata seperti itu? Selamat dari apa? Dan untuk apa aku harus memercayai orang asing yang bahkan tidak menyebutkan namanya?” cecar Ruby. Setelah tahu bahwa Elena mengandung anak Jason, Ruby yakin jika Elena mencintai pria itu. Tak mungkin dia akan melakukan sesuatu yang akan mencelakakan pria yang merupakan sumber kebahagiaan dan ayah dari anak pertama Elena. Orang itu tersenyum misterius. “Berikan dan katakan saja kepada Jason. Kau bisa bertanya padanya jika penasaran. Jika kau tidak memberikan itu dan terjadi sesuatu dengan mereka suatu saat nanti, semua karena salahmu.” “Sudah dulu, ya. Aku sudah berbaik hati menolong majikanmu sampai repot-repot datang ke sini. Katakan kepada Jason supaya tidak perlu mencariku lagi.” Sebelum Ruby me
Jason menyambar botol itu dari tangan Elena. Hampir saja Elena menyia-nyiakan cairan yang mungkin benar-benar penawar untuk dijadikan parfum. “Jason! Kenapa teriak-teriak!? Bagaimana kalau aku dan bayi kita kena serangan jantung!?” sergah Elena kaget. “Memangnya apa ini? Apa kau berniat membelikan parfum untuk wanita lain?” tuduhnya. “Maaf ... ini ... aku mendapatkan sampel ramuan untuk kutukan atau penyakit ini. Aku akan memeriksakan kandungannya lebih dulu.” Wajah Elena mengernyit curiga. “Sungguh? Kenapa aromanya sangat wangi? Siapa yang memberikan padamu? Mungkin dia salah mengambil parfum.” “Salah satu pengawal kita mendapatkan informasi dan segera membeli ramuan ini. Aku tidak tahu dia membeli di mana.” “Coba lihat ....” Elena kembali merebut botol kaca itu untuk mengamati dengan memicingkan mata. Seakan-akan dia sedang mencari sesuatu selain cairan bening di dalamnya. “Aku akan menyimpannya dulu, Elena. Ramuan ini hanya ada satu ....” Elena memberikan ramuan itu kepada Ja
“Apa!?” pekik Elena begitu mendengar permintaan Luna. ‘Wanita ini benar-benar menggelikan,’ batinnya. “Kau tidak mau?” Luna berkacak pinggang, seolah-olah ingin mengadukan Elena. Elena mencebik, kemudian meraih ponselnya. “Aku akan bilang Jason dulu.” “Yes!” Luna berseru senang. Jason masih di ruang rapat dan tak mengangkat telepon. Elena meninggalkan pesan singkat dan catatan kecil di meja kerja Jason supaya tak mencemaskan dirinya. “Wah, Nyonya Besar juga takut membuat Tuan Jason marah ternyata ....” Luna tersenyum remeh selagi mengintip tulisan Elena. “Siapa yang takut?! Aku menghargai suamiku! Tahu apa kau tentang hubungan rumah tangga?! Cepat berangkat!” sergah Elena. Luna terkekeh kecil sambil membuntuti Elena dengan sikap sopan. Saat ada orang lain di sekitar, wanita itu berubah wujud seperti karyawan teladan. Elena gegas memintakan izin kepada kepala divisi Luna, kemudian mereka meninggalkan kantor. Mobil yang dikendarai mereka sampai tempat tujuan hanya kurang dari lim
Pagi-pagi sekali, Luna menyapa dompet berjalannya dengan riang. Dia hanya mengangguk sekilas kepada Jason, lalu berbincang dengan Elena.Mereka berdua berjalan semakin cepat mendahului Jason. Seakan-akan pria itu tak ada di sana.Elena mulai terhanyut oleh pembicaraannya dengan Luna. Pada dasarnya, Elena pun suka bicara. Ditambah lagi, banyak kegemaran mereka yang ternyata sama.Luna juga ternyata sangat menyenangkan diajak bicara walaupun mata duitan. Namun, Elena tak bosan membicarakan apa pun dengannya, apalagi jika mereka mulai tak sependapat dan mendebatkan sesuatu.Luna seperti Jenna yang selalu menemani Elena di masa lalu. Bedanya, Jenna selalu menggunakan topeng tebal, menutupi kebusukannya, sedangkan Luna sedikit tak tahu malu kepadanya.“Akhir pekan ini, aku akan menginap di villa temanku. Kau mau ikut? Pasti akan menyenangkan jika kau ikut bersama kami. Lokasinya ada di pinggiran kota, dekat danau, dan hutan belantara,” ajak Luna.Tentunya, niat utama Luna supaya Elen
Elena seharusnya tak bertanya. Sekarang, dia jadi tak tenang hingga tak bisa memejamkan mata, biarpun Jason terus memeluknya sepanjang malam. ‘Besok aku akan mampir ke kampung Lucy. Siapa tahu, ada tetua lain yang bisa membantuku,’ batin Elena, tak mau kehilangan semangat. “Kau belum tidur?” tanya Jason. Elena dapat merasakan pipinya yang menyentuh dada Jason bergetar ketika pria itu bicara. “Aku gugup. Bagaimana jika mereka tidak menyukaiku? Aku tidak suka diabaikan,” dustanya. “Jangan khawatir. Jika mereka mengganggumu, aku akan memastikan mereka mendapat ganjaran yang setimpal.” “Jason ....” Elena mendongak, menatap mata Jason yang terpejam. Dia mengusap kelopak mata Jason yang tertutup menggunakan ibu jari. “Apa kau lelah?” Jason membuka mata. Sedetik kemudian, Elena menyentuh bibirnya dengan pagutan mesra. Jason tahu jika Elena sedang menginginkannya. Dia bergerak mundur menjauh, melepaskan bibir Elena. “Kemarin malam kita sudah melakukannya. Jangan setiap hari,” tolak Jaso
“Kau pasti Elena.” Vera mengulurkan tangan untuk berkenalan kepada Elena. Elena terbangun dari lamunan tentang Brenda. “Ya, senang bertemu denganmu.” Setelah kedatangan Vera, Elena sedikit canggung bicara santai dengan teman-teman yang lain. Setiap Vera bicara, Elena akan teringat Brenda. ‘Apa aku salah? Dulu juga aku sempat salah mengira perawat yang punya perawakan seperti mama.’ Lagi pula, sudah lama Elena tak mendengar suara Brenda. Di kediaman Forbes, banyak rekaman video yang menunjukkan kebersamaan Elena dan keluarga lengkapnya. Namun, baik Elena dan William tak pernah menyentuh barang itu sekali pun. Mereka tak ingin berduka terus-menerus. Sosok Brenda akan selalu menghadirkan kenangan indah bagi Elena dan William. Alhasil, mereka memilih untuk tidak melihat wajah Brenda lagi dan hanya mengingatnya dalam hati. Sebab, mereka masih merasakan rasa sakit kehilangan wanita itu setiap kali melihat wajahnya. Malam semakin larut. Elena lama-lama bisa kembali berbaur menikmati su
Mereka berpandangan tanpa kata cukup lama. Hingga Vera tiba-tiba tersenyum, lalu menautkan tangan di lengan Elena. “Kau seharusnya menunggu teman-teman yang lain. Mereka tidak akan bangun jika kita berdua pergi sendiri.” Elena menoleh ke belakang selagi Vera menarik dirinya ke arah villa. “Kau sedang apa di danau sendirian?” Dia tak bisa menahan rasa penasarannya. “Menghanyutkan kapal. Kalian semua masih tidur dan aku bosan sendirian di villa.” Benarkah hanya itu? Kenapa Elena meragukan kata-kata Vera? Vera kemudian membicarakan tentang semua tempat yang mereka lewati, serta kenangan bersama teman-teman lainnya. Sehingga Elena tak sempat bertanya, benda apa yang ada di atas kapal kecil itu? Di villa, para wanita lain sudah ada di depan. Mereka terlihat sedang menggoda sisa para pengawal Elena yang menjaga area tersebut. Saat melihat Elena dan Vera, mereka segera bergabung dan melanjutkan rencana semula. Ke danau, lalu berbasah-basahan di bawah air terjun. Elena senang sekali bi