Suasana pada senin malam di kafe 'Kopi dan Lemon' cukup ramai. Hampir semua pelanggan yang pergi kesana adalah orang lama.
Lana, pegawai baru di kafe itu cukup cekatan meski sudah tiga gelas pecah sepanjang pagi. Alya memakluminya karena Lana masih baru, dari cerita yang ia dapat Lana sebelumnya bekerja sebagai intern sambil mengambil kuliah untuk karyawan pada akhir pekan atau malam. Ia adalah perempuan pekerja keras, Alya menyesal ia tidak memberinya kesempatan saat pertama kali Mario membawanya ke kafe beberapa hari lalu.
"Lana, kamu istirahat aja dulu, kamu belum makan, 'kan? Ayo sana makan dulu, minta Reno atau Mario," ucap Alya ketika ia menghampiri Lana yang sedang merapikan meja, sepasang pelanggan baru saja meninggalkan kafe dengan tumpukan piring dan gelas kotor di meja.
"Iya, kak, sebantar saya bereskan ini dulu," Lana menyahut sambil mengelap meja.
Alya tersenyum, puas dengan kerajinan pegawai barunya. "Malam ini kamu brati bis
Dari luar, pada Senin malam, kafe kopi dan lemon tampak sepi bila dibandingkan dengan kafe lain yang menjamur di kota Jakarta. Alya memang tak terlalu mementingkan income dari kafe, baginya yang terpenting adalah ia bisa makan apapun yang ia inginkan dengan mudah juga memberi lapangan pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan. Bila hitung-hitungan untung rugi, jelas Alya rugi. Ia bahkan sering mengucurkan dana darurat dari kantong pribadinya dan ia tak keberatan. Leo mengawasi kafe dari dalam mobilnya yang terparkir tepat di depan kafe. Dari dalam mobilnya, ia bisa melihat jelas Alya yang tengah mengobrol dengan seorang perempuan yang memunggunginya. Ia melihat jam tangannya sekali lagi, sudah hampir jam sembilan malam. Mendorong handle pintu mobil dengan gaya yang pas, pintu itu terbuka dalam sekejap. Ia menurunkan kaki kanannya lebih dulu disusul oleh kaki kirinya. Lalu keduanya melangkah mantap bergantian saling memimpin, masuk ke dalam kafe
Selama sepuluh menit penuh, Alya menatap langit-langit kamarnya lalu mendesah. Argh! Beraninya laki-laki licik itu memintanya untuk menjadi kekasihnya! Apakah aku terlihat sangat membutuhkan seorang laki-laki? Pikirnya sebal. Memalingkan wajah dari atap polos, ia beralih menatap cermin di meja riasnya saat ia memiringkan badan, memeluk guling dengan erat. Ia kembali mendesis. Jika saja ia memiliki kekuatan supranatural, ia akan membunuh Leo tadi malam. Sialan! Laki-laki pecundang itu membuatnya tak bisa tidur sepanjang malam dan kini ia sangat mengantuk, padahal ia harus pergi ke rumah sepupunya, Omar, karena ia telah berjanji akan menjaga Jeje dan Saif, selama Laila pergi ke rumah sakit untuk mengunjugi seorang temannya yang melahirkan. Alya melirik jam dinding yang mengantung di atas pintu kamar mandi. Jam tujuh pagi. Argh! Alya melempar selimut dan bantalnya dengan kesal. Ia memiliki waktu satu jam untuk bersiap
"Al.""Yes, baby?"Mereka sedang menunggu adonan pizza itu untuk mengembang. Sambil menunggu, Reno memotong beberapa sayuran seperti permintaan Jeje dan Saif."I'm not baby! Daddy said I am big boy!" Jeje membantah dengan tegas. Reno dan Lana juga siska yang mengawasi dari kejauahan hanya bisa menahan tertawa.Alya hanya bisa menggelengkan kepalanya, "Okay, big boy, what do you want?" jawabnya lalu mendesah. Semoga permintaannya lebih masuk akal."Can you play me some song?" Jeje melihat Alya dengan tatapan memohon."What song?""Daddy's song!" Jeje berseru. "Yey!""What's daddy's song?" Alya menatap Jeje bingung. Tidak mungkin anak sekecil Jeje menyukai musik rapper, 'kan? Entahlah, siapa yang tahu?"Its daddy's!" Jeje berkata dengan tegas.Alya menatap Reno, mungkin Reno memiliki koleksi daddy's yang dimaksud
Sh*t. Maki Leo dalam hati. Umpatan itu keluar begitu ia melihat Alya dan Reno berduaan di dalam dapur. Ingin sekali rasanya ia menyeret Alya keluar dari sana atau lebih baik lagi jika ia menyingkirkan Reno dari hidup Alya. Selamanya. Hal itu akan lebih masuk akal. Menahan emosi yang baru saja ia kenali sebagai kecemburuan, Leo menaiki anak tangga dengan langkah panjang. Dua anak tangga dalam sekali langkah. Dengan empat kali langkah ia sudah berada di tengah-tengah tangga. "Leo?" Menyadari hanya dirinya yang kemungkinan besar bernama Leo di kafe itu, Leo menghentikan langkah panjang kakinya, ia memutar kepalanya sedikit untuk melihat wajah si pemilik suara yang asing. "Ya Allah, kamu beneran ternyata?" Perempuan berhijab yang mengenakan terusan berwarna abu-abu dan sedikit warna hijau dan putih pada motif yang tersebar merata di gaun panjang itu tampak terkejut. Tentu, melihat Leo di hari kerja pada jam-jam kantor adalah hal yang luar b
"Ehem!" Reno berdehem, "Mbak, mbak pacaran sama orang itu?" Tanya Reno yang begitu penasaran. Perasaannya campur aduk. Saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Alya duduk di pangkuan Leo tanpa membuat keributan, ia mulai menyadari, mungkin Alya memang tak terjangkau olehnya. Alya tersentak dengan pertanyaan Reno, "Kenapa, Ren?" Tanya Alya tertawa canggung. Ia sangat berharap Reno tuli dan buta beberapa saat yang lalu atau pegawai kesayangannya itu akan menjadi saksi kunci atas runtuhnya tembok harga diri dan pertahanannya. Reno tahu benar, sikap salah tingkah itu bisa menjadi bukti yang kuat atas pelbagai hipotesa yang ada di dalam benaknya saat ini. "Nggak papa, kalau udah minta tolong diberesin," Reno akhirnya tak berani mengungkapkan isi hatinya. Meski ia sangat ingin tahu. Mungkin karena ia sebenarnya takut, takut jika jawaban Alya sama seperti yang ia pikirkan. Alya menjalin hubungan romantis dengan laki-laki blasteran itu!
Leo tiba di gedung Omar Architect tepat sebelum azan Duhur berkumandang. Ia melangkah penuh semangat memasuki lobby gedung bergaya modern yang di doninasi warna putih dan hitam. Orang-orang tampak sibuk, mondar-mandir, ada yang dengan tangan kosong ada pula yang membawa sesuatu di salah satu tangannya, entah itu sebuah map, tumpukan dokumen, tas, ponsel, atau bahkan laptop. Pandangan lurus ke depan, berjalan layaknya seorang mode profesional. Ia bahkan mengabaikan salam sapa dari salah seorang satpam yang berjaga di pintu masuk juga resepsionis genit yang berusaha mencuri perhatiannya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di gedung itu setahun yang lalu. Meski wajahnya tidak menyampaikan apapun namun jauh di lubuk hatinya ia sangat senang. Kejadian di kafe 'Kopi dan Lemon' pagi ini adalah sebuah kemajuan yang luar biasa. Ia tak keberatan pergi kesana setiap hari asal ia bisa makan bersama dengan Alya, tidak, bukan sekadar bersama lagi, tetapi berbagi makanan.
Sore itu Hamza pulang lebih awal. Ia ingin menemui Alya di kafenya. Langit Jakarta mulai gelap ketika ia tiba di parkiran kafe Kopi dan Lemon. Azan Maghrib mulai berkumandang. Hamza tersenyum cerah saat memasuki pintu kafe yang sedang tutup istirahat salat. Alya menutup kafenya dari jam lima sore hingga jam tujuh malam untuk istirahat salat dan makan setiap harinya. Perfect timing!pikirnya senang. Mereka bisa mengobrol lebih banyak karena kemungkinan besar Alya akan menganggur meski sebenarnya Alya selalu menganggur. Suasana kafe sepi, karena memang sedang tutup sementara. Ia melangkah masuk ke dalam, menghampiri pantry, dimana beberapa karyawan tampak sedang mengobrol. "Hai!" Sapanya. "Alya ada?" tanyanya kepada mereka. Siapa saja yang bersedia menjawab. Lana membeku di tepat ia duduk. Suara itu sangat familiar. Tentu saja, setahun bersama laki-laki itu membuatnya tahu benar bagaimana suara laki-laki yang kadang mendengkur halus dalam ti
Alya baru saja menyelesaikan smoothies yang ia buat dari campuran yogurt dan buah blueberry ketika ia melihat Lana menuruni tangga dari lantai dua. Kafe baru saja buka kembali."Lan, kamu kemana aja?" Tanya Alya.Lana berjalan mendekat, perasaan gelisah kembali menyerangnya, Alya sedang duduk mengobrol dengan sepupunya, Hamza yang tak lain adalah mantan kekasih Lana. Lana merasa jantungnya kembali berpacu setelah hampir satu jam ia mencoba menenangkannya. Keberadaan Hamzalah penyebabnya. Apa yang dilakukan laki-laki itu? Mengapa ia masih disana? Lana ingin menghilang secepat mungkin. Jika saja ia bisa menguap!"Maaf, kak tadi ketiduran," dalih Lana. Sebenarnya ia enggan turun karena tahu Hamza masih disana. Ia tidak ingin melihat laki-laki itu lagi."Oh, ya udah. Kamu jadi pulang sekarang?" Tanya Alya lagi, beberapa menit sebelumnya Lana meminta ijin pulang lebih awal karena ia harus mengerjakan tugas kuliah melalui pesan yang diba