Korban Perceraian
Part8"Nak Ganesa, Ibu tahu kamu anak yang kuat dan hebat. Ibu, para Guru dan semua murid di Sekolah ini, bangga sama kamu sayang."
Retno berkata sambil terisak, hatinya perih, kala memeluk tubuh gadis tomboy ini yang bergetar hebat. Namun tidak ada terdengar isakan tangis darinya.
Retno mengurai pelukan, semua mata tertuju pada Ganesa.
"Dalam hidup ini, seperih apapun keadaannya, berjanjilah, bahwa Ganesa akan terus semangat dan sukses kedepannya nanti."
Ganesa tersenyum getir.
"Ibu jangan khawatir." Hanya itu yang dia katakan."Berjanjilah, Nak!" pinta Retno penuh harap.
"Insya Allah! Apapun yang terjadi, Ganesa berpasrah pada Si Pemilik Kehidupan."
Naura memandangi Ganesa tanpa iba, api dendam masih membara dihatinya. Meskipun tidak sebesar dulu lagi.
Namun begitu dalam tertanam di hatinya, bahwa Ganesa dan seluruh keluarganya, adalah orang yang bersalah di retaknya r
Korban PerceraianPart9 "Hamil," gumam Andin. Wanita itu menatap lekat alat test kehamilan di tangannya. Garis merah dua itu, berhasil membuat Andin gusar. "Bagaimana hasilnya?" tanya Rasid, lelaki yang masih berstatus suami wanita lain itu bertanya dengan penasaran. Andin berdiri di muara pintu kamar mandi. Kemudian dia menyodorkan hasil testpack itu, kepada Rasid. "Apa? Hamil," pekik Rasid. "Kenapa kamu begitu terlihat syok? Apa ada yang salah?" tanya Andin, wanita itu mulai merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Hanya menatap lekat wajah sang kekasih saja, dia sudah merasakan sesuatu yang tidak beres. "Gugurkan saja! Aku tidak menginginkan anak ini," kata Rasid, sembari melempar asal, benda pipih itu. "Mas, apa maksud kamu?" teriak Andin. "Ini darah daging kamu, Mas. Aku nggak mungkin menggugurkannya, kamu harus tanggung jawab." Rasid menatap Andin dengan tatapan remeh."Tanggung jawab bagaimana? Bukankah k
Korban PerceraianBab10 Andin merasa telah menjadi Ibu yang gagal. Bahkan, kini buah hatinya tidak tahu ada dimana. Sejauh kaki melangkah, Andin tetap tidak menemukan jejak Ganesa sama sekali. Bahkan menghubungi nomor Zaki pun, sudah tidak bisa lagi. Entah bagaimana, sepertinya nomor Andin, masuk dalam daftar tolak otomatis di ponsel Zaki. Andin terpaku dengan kegagalannya sebagai seorang Ibu. Sedangkan di rumahnya, Rasid begitu bahagia. Bagaimana tidak, dengan leluasa, dia meneguk madu muda, yang ditinggalkan Ibunya begitu saja. Bagi Rasid, Gaby cantik dan mempesona, juga menggairahkan. Bodoh, jika dia memberinya makan, namun tidak bisa meneguk madu manisnya. Apalagi, Rasid bukan Ayah kandungnya. Hanya pacar Ibunya, yang diberi kesempatan, untuk menikmati anaknya juga. Rasid sangat terbuai, dan ketagihan, dengan rasa manis yang dia isap dari gadis muda, yang kini tanpa sadar, sudah kehilangan kehormatannya.
Bab11 Ganesa menempati sebuah barak kayu yang terbilang sempit. Namun demi bertahan hidup seorang diri, Ganesa harus kuat melewatinya. Pagi itu, Ganesa sedikit terburu-buru, untuk berangkat kerja. Meskipun harus berjalan kaki selama 30 menit. Ganesa tetap berusaha kuat menjalani hidupnya. "Kamu terlambat 1 menit." Supervisornya yang bernama Alice menatap tajam wajah Ganesa. "Maaf, Bu. Aku, aku kesiangan," sahut Ganesa menunduk. "Hhmmm, baiklah kumaafkan. Lain kali, kamu harus bisa mengatur waktumu dengan disiplin. Sebab saya tidak suka, karyawan yang terlambat datang bekerja." "Baik." Ganesa memasuki minimarket itu, tempat kini dia bekerja. Dia berjalan menuju ruang karyawan, untuk meletakkan barangnya. "Nesa, kamu nampak terlihat pucat," tegur Asri, teman satu profesinya. Ganesa menghela napas. "Aku hanya kurang tidur dan istirahat sepertinya," jawab Ganesa. "Apakah kamu mencuci lagi m
Bab12"Sudah, maafkan aku," ucap SPV Ganesa, sembari memberikan pelukan hangat, kepada gadis itu.Ganesa kian terisak, kepedihan dalam hatinya, membungkus dirinya bagaikan selimut yang tebal.Dalam hati dia terus bertanya, apa yang salah dalam hidupnya? Sehingga dia harus menjalani nasib sepelik ini.Terkadang, bayangan keluarganya saja, mampu memporak-porandakan hatinya. Namun sebagai manusia yang tidak memiliki kekuatan selain bertahan, dia tidak begitu banyak keberanian untuk memaksakan kehendak.Meskipun dihati kecilnya, dia ingin sekali bertemu Gaby dan Mamanya.Sepulang dari Minimarket, Ganesa melangkah dengan gontai, menyusuri jalanan komplek, menuju kontrakannya."Nona ...." terdengar suara parau seorang wanita memanggil.Ganesa menoleh, seorang wanita paru baya, tersenyum ke arahnya.Gaya yang nyentrik dan masih cantik, sangat memancar di wajah wanita itu."Saya?" tanya Ganesa memastikan
Bab13"Maaf," ucap Ganesa, dan lekas berjalan dengan cepat, melewati lelaki itu."Ganesa," panggil Tante itu. Dan sedikit berlari, mengejar langkah Ganesa.Begitu juga dengan Andin dan Gaby. Serta si lelaki tadi, yang ternyata adalah Rasyid."Mas yakin itu Ganesa?" tanya Andin, dengan wajah nampak panik."Yakin, yakin banget. Wajahnya sangat mirip dengan Gaby, meskipun dia sangat kurus," sahut Rasyid."Ayo kejar," seru Gaby.Mereka pun menyusul, berlarian mengejar Ganesa yang semakin berlari dengan cepat.Bahkan, wanita yang membawa Ganesa tadi, juga kebingungan, dengan tingkah Ganesa."Mbak ...." Andin memanggil wanita di depannya, yang tidak lagi berlari. Sedangkan Gaby dan Rasyid, masih berlari mengejar langkah Ganesa."Ya." Wanita itu menoleh ke arah Andin, dan menghentikan langkahnya."Mbak kenal Ganesa?""Mbak siapa ya?""Saya Ibunya.""Oh." Wanita itu memindai A
Bab14Andin tidak menghiraukan seruan Gaby. Dia tetap menatap dalam wajah Ganesa yang menunduk."Ganesa, Mama minta maaf, Nak. Mama salah selaam ini, maaf."Ganesa tidak merespon apapun, seperti dulu, dia hanya terdiam, tanpa bisa bersuara apapun. Ganesa berusaha kuat, dan menahan tangisnya dalam hati."Ganesa, Mama paham, jika kamu membenci Mama. Tapi sayang, tolong berikan Mama kesempatan, untuk menebus semua kesalahan ini. Mama mohon, Nak."Andin kembali berusaha menyentuh Ganesa, namun lagi-lagi Ganesa menghindar dan menolak untuk disentuh. Hal itu kembali membuat Gaby kesal, dan menarik napas dalam.Mencoba menahan amarahnya kali ini, melihat sikap Ganesa, yang dia anggap berlebihan.Semua terdiam membeku untuk beberapa saat."Ganesa, ayo Tante antar pulang," ucap wanita, yang sedari tadi diam, menyaksikan keributan mereka.Wanita yang tadinya berniat berbincang-bincang banyak dengan Ganesa, malah menyak
Bab15"Iya Mas ngerti. Mungkin Ganesa perlu waktu, untuk memaafkan kamu.""Tapi Mas, sampai kapan? Aku nggak bisa tenang memikirkan keadaannya yang seperti itu.""Sudahlah, Ma. Yang penting dia hidup," ucap Gaby menimpali."Gaby. Kenapa kamu seperti ini? Dia itu Kakak kamu. Tapi sedari tadi, kamu bersikap seperti ini.""Ma, aku itu nggak suka Kakak Ganesa seperti tadi sama Mama. Mama sudah tulus mencari dan memohon maaf sama Kakak. Tapi apa balasannya? Mama diabaikan seperti tadi.""Gaby. Kamu apakah tidak sadar? Penampilan kamu dan Ganesa itu berbeda. Jadi sudah sangat jelas, kehidupan kalian pun berbeda. Tadi itu, adalah bentuk rasa kecewa dan sakit hatinya pada Mama. Apakah kamu tidak peka sedikitpun pada Kakak kamu sendiri."Gaby terdiam, melihat dan mendengar ucapan Mama nya. Dia tahu, ini bukan saatnya untuk berdebat. Biar bagaimana pun juga, Gaby sangat sayang pada Andin."Sudahlah, kita tidak perlu ribut di sini. Ayo ki
Bab16Sesampainya di depan kontrakkan Ganesa, mereka pun keluar."Ya Allah," gumam Andin dalam hati, ketika melihat lingkungan, tempat tinggal Ganesa.Gaby pun merasa jijik, melihat sekeliling, yang terbilang kumuh dan banyak sampah berserakan."Kakak tinggal di sini? Ih ngeri banget. Aku nggak akan sanggup Ma."Andin hanya terdiam membeku, menyisir sekelilingnya."Ayo," ajak Rasyid.Mereka kembali berjalan, menuju ke kontrakkan tersebut."Mbak, benar nggak di sini alamat Ganesa?" tanya Andin, kepada wanita tua, yang sedang jemur pakaian."Benar. Tapi kemarin sudah pindah, bersama Tante nya katanya.""Pindah. Bersama Tante nya?""Iya. Katanya sih Tante Ganesa. Orangnya cantik dan punya mobil juga. Sepertinya dia orang kaya. Tapi ngomong-ngomong, kalian ini siapa?""Apa rambutnya kriting dan menggunakan mobil putih?" tanya Andin, tanpa menjawab pertanyaan orang tua itu."Betul