Ingatan Salwa berputar pada Elvis, saat di dalam mobil menuju apartment. Pria itu memintanya menjelaskan semua masalah yang menimpanya, hingga gadis itu memilih kabur. "Tepati janjimu, kamu bilang akan memberikan apa pun. Jika tidak aku akan melaporkan pada pihak pesantren."'Pandai sekali laki-laki ini mencari kelemahan orang lain!' Salwa merutuk dalam hati. Meski kesal dengan ancaman itu, akhirnya Salwa bicara panjang lebar. "Wah, mengerikan sekali. Kupikir hanya mafia yang berebut kekuasaan, rupanya dalam pesantren juga ada yang seperti itu." Elvis merespon cerita Salwa. "Hem, betul. Ini bukan hanya soal keluarga kami. Tapi juga nama pesantren dan ribuan santri yang ada di dalamnya.""Kalau, begitu aku yakin. Paklekmu bukan hanya bergerak sendiri. Pasti ada orang luar yang berpengaruh seperti pejabat atau pengusaha kaya yang mendukung.""Entah, aku tidak yakin. Yang jelas, sekarang aku tidak bisa ada di dekat paklek tanpa Abi dan Bang Rofik." Salwa mengucap lesu. "Kalau begitu
Salwa masih tak percaya ia akan bermalam dengan pria di apartemen itu. Elvis berjalan begitu saja melewatinya dan merebahkan diri dengan nyaman di atas sofa. "Lakukan apa pun yang kamu suka, anggap aku tidak ada. Oke?!" Pria itu bicara sambil memejamkan mata menyilangkan tangan di dada. Dengan perasaan tak enak, kaki Salwa melangkah ke lemari es dan menuang minuman dari sana. Selesai dengan itu, ia segera kembali ke kamar dengan buru-buru. Memastikan pintunya terkunci rapat. Di atas ranjang, gadis itu menutupi seluruh tubuh seperti sedang ketakutan. "Dia itu preman, bagaimana jika nanti dia mabuk dan mendobrak pintu dan ... Oh Ya Allah selamatkan hamba." Salwa berpikir macam-macam. "Aku harus siap siaga." Ia pun bangkit mengambil benda kejut listrik di dalam tasnya. Pagi hari, selesai sholat subuh dan wirid. Salwa ke luar kamar. Ia menghentikan langkah, melihat Elvis yang terpejam di pangkuan seorang wanita. Wajah pria itu terlihat sangat lelah. "Stt. Pergilah ke dapur. Kakaknya
Ayash yang membawa ransel besar di punggungnya ketika akan meminta maaf dan berpamitan pada abine menghentikan langkah, saat pria sepuh itu menyebut sebuah nama dengan seseorang di ujung telepon. "Jadi Salwa ada di pusat perbelanjaan. Yah, lakukan apa pun. Tak peduli jika ia melawan dan kalian terpaksa menyakitinya, aku hanya butuh sidik jari, karena tanda tangannya bisa kupalsukan."Ketika ponsel Salwa menyala, dengan cepat kelompok mafia itu menemukan lokasinya. Mendengar itu Ayash urung melanjutkan masuk ke dalam. Ia meletakkan ransel dan berlari ke tempat yang dimaksud abine. Ayash sampai di sana tepat waktu, beberapa orang yang berjalan beriringan dengan pakaian berbeda dengan yang lain, membuat Ayash yakin bahwa mereka adalah orang-orang suruhan abine. Ia tak menyangka abine sangat jahat pada ponakannya sendiri. Pemuda itu berlari, mendekati mereka. Keributan terjadi saat salah seorang anak buah Baroon memukul Ayash. Suasana yang ramai, mengalihkan perhatian Salwa dan membua
"Ada apa, El?" Hanya dengan melihat raut wajah putranya ketika menerima telepon, wanita berdarah Inggris itu bisa menangkap kegusaran di sana."Em. Tidak apa-apa, Mi. Ini soal biasa." Elvis memaksa bibirnya untuk tersenyum. Sang ibu manggut-manggut karena itu. Ia lalu berlalu dari tiga pemuda yang kini ada di tempat tinggalnya. Wanita itu selalu punya pekerjaan di rumah yang seolah tak pernah habis. Berbeda dengan Salwa dan Ayash. Ini kali pertama mereka terlibat dengan mafia yang tadinya mereka pikir hanya preman pasar. "Apa ini ada sangkut pautnya denganku?" Salwa melebarkan mata pada Elvis. "Hem. Bisa jadi." Pria yang baru mendapat panggilan itu menjawab cepat. Tangan kekar pria itu kembali mengangkat ponsel menelepon seseorang. "Hem. Ya. Aku akan ke sana membawa gadis itu. Persiapkan diri kalian." Selesai dengan itu, ponsel kembali disimpan ke kantong celananya. "Maksudnya?" Ayash ingin tahu lebih jelas maksud Elvis. "Kamu!" Tangan anak mafia itu menunjuk pada Salwa. "Ikut d
Halo Kak, udah tap lope belum? 🙏😍_______Elvis menelengkan kepala memberi isyarat pada Ayash agar mendekat pada gadis-gadis itu. "Ana?" Ayash meletakkan dua tangan di dada. Ia tak yakin Elvis memintanya mendekat, sedang sedari tadi mata bingung hendak diarahkan ke mana, semua wanita itu sangat vulgar dengan aurat terbuka. "Oh tidak!" Ia menggeleng cepat. Pikirnya anak mafia itu memang tak waras. Apa yang ia inginkan dengan menyuruh Ayash mendekat? Tidak ingin membuang waktunya yang berharga, kaki Elvis menendang bokong Ayash hingga pria itu hampir jatuh terjungkang. Ayash mendengkus kesal, pria penuh tatto itu sangat tak sopan. Bagaimana bisa pria sepertinya dengan percaya diri menyatakan sebagai calon suami Ning Salwa. "Apa?!" Ayash berdiri sambil berteriak ke arah Elvis. Apa anak mafia itu ingin semua gadis-gadis dengan pandangan genit itu mengeroyoknya? Licik sekali.Elvis tersenyum sinis. "Gunakan otakmu!""Tuan El, tolong jelaskan dengan benar! Kami tidak mengerti rencana
Elvis melihat penampilan Salwa dengan heran. Gadis itu memasang sehelai kain menutup wajahnya ketika ke luar dari kamar. Mungkin dengan cara ini ia bisa menutupi identitasnya dari paman atau pun preman anak buah papinya Elvis. "Kamu? Kenapa berpenampilan seperti itu? Apa tidak sesak karena sulit bernafas?" Elvis menunjuk wajahnya. Ia menarik dan mengeluarkan napas cepat. Sesak rasanya melihat Salwa yang hanya terlihat matanya. Salwa menggeleng, dia menikmati itu. Mungkin ini jalan yang harus ditempuh hingga gadis berkulit putih cerah itu bisa menggunakan niqab. "Seperti orang Arab, sih. Arab nangdi, heh!Heheheh." Pria dengan kemeja dan celana jeans bolong-bolong itu tertawa mengejek. Salwa menaikkan satu sudut bibirnya di balik cadar. Dengan tangan menyilang ia bicara menatap pada Elvis. "Anda tau? Yang sekarang Tuan tertawakan ini adalah apa yang ummul mu'minin kenakan?""Ummul mu'minin?" Pria itu tampak berpikir. "Iya, ibunya orang-orang beriman. Istri-istrinya Nabi.""Termasuk
Tubuh Elvis yang terdorong menabrak jendela, penyangganya lepas dan menyebabkan suara keras hingga terdengar dari kamar Kyai Rozak. Beberapa perawat yang berjaga pun ikut ke luar melihat apa yang terjadi."Why?" Elvis menggedikkan bahu dan membuka dua tangannya. Tak mengerti kenapa Ayash memukulnya dengan sangat keras. Dengan wajah yang masih merah padam Ayash kembali memukul tanpa menjawab pertanyaan pria bertato itu. Salwa tersentak beberapa kali, seolah pukulan itu adalah sengatan listrik yang mengenainya. Terasa nyeri dan ngilu. "Tolong hentikan!" seru Salwa yang masih menangis. Namun, Ayash seperti orang kalap. "Dasar cowok bejat! Jangan kamu samakan Ning Salwa dengan pelacur di barmu!" Semburat darah terlihat di sudut bibir dan pelipis Elvis, ia kini merasa tertantang, dengan dada membusung ia berteriak. "Why?! Apa masalahmu, hah?!"Ayash menarik kaos Elvis bagian dada. Ketika akan mengayunkan pukulan lagi, suara berat Kyai Rozak membuatnya urung. "Ada apa ini?" Kyai Rozak
Sekitar sepuluh menit, Ayash datang setengah berlari dari dalam."Huft, akhirnya sampe juga." Ia meniup berat. "Kamu beruntung aku tidak jadi membunuhmu." Kali ini wajah Ayash sudah terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Elvis hanya tersenyum sinis melihatnya. Ia malas melanjutkan apa yang terjadi di dalam tadi. "Ning, sebaiknya Ning cari tempat tinggal sendiri. Jangan serumah sama dia, lagian dengan memakai cadar itu sudah cukup menutupi identitas Ning." Ayash melihat pada Salwa yang menatapnya dari kaca jendela terbuka. "Kamu gila! Kamu pikir kita sedang bermain drama, jadi dnegan mudah memanipulasi keadaan. Papiku bahkan bisa mengendus bangkai dalam lubang semut." Elvis tidak setuju dengan usul Ayash."Di tempat umum saja kamu bisa memeluknya, bagaiamana jika Ning Salwa lengah saat ada di rumahmu?!" "Kang, tenanglah. Di rumah itu aku tinggal dengan ibu dan kakaknya, dia sendiri hanya sesekali mampir ke sana. Lagian aku jago silat, akan dengan mudah mematahkan seluruh tulang-tul