Sarita keluar dari mansion aneh milik Madam Anne, kakinya berjalan tanpa arah. Dua hari dua malam wanita muda itu terus menyusuri trotoar tanpa tujuan. Hingga di hari ketiga perutnya berbunyi cukup nyaring.
"Akhirnya rasa lapar itu datang juga!" gumam Sarita.Pandangannya menyapu alam sekitar, rupanya kaki jenjang itu sudah membawa raganya pada sebuah taman yang terdapat air mancur. Gegas Sarita berjalan menuju kolam berhias air mancur. Ditengadahkan kedua tapak tangannya pada kucuran air mancur, lalu direguknya dengan puas.Setelah beberapa teguk, ditengadahkan lagi kedua tapak tangannya. Kali ini tidak untuk di teguk, melainkan untuk membasuh mukanya yang terasa tebal oleh debu dan asap kendaraan."Ough, segar. Rasanya aku ingin makan buah yang segar. Nah, di sana ada yang jual buah irisan." Sarita pun melangkah menuju ke penjual buah tersebut.Dia membeli beberapa buah iris dari uang mahar nikahnya yang sejumlah lima ratus ribu. Berbekal uang itu, Sarita meninggalkan mansion. Setelah mendapat beberapa buah, wanita itu pun mencari bangku kosong. Senyumnya mengembang kala dilihatnya ada bangku yang kosong, kakinya bergerak menuju ke bangku tersebut. Namun, baru saja duduk nyaman ..."Mbak, bisa berbagi buahnya? Adik saya sedang lapar," keluh seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun sambil menggandeng bocah pria usia lima tahun.Sarita tertegun dalam keterkejutan, sungguh miris hidupnya yang terusir dari rumah mertua dan suaminya sendiri. Ini lebih parah lagi, dua anak tanpa orang tua."Dimana rumah dan orang tua kalian?" tanya Sarita."Rumahku di kampung melawai, kedua orang tuaku sedang sakit, Mbak. Aku kerja juga belum dapat uang," papar bocah perempuan."Ini makanlah kamu dan adikmu, dan ada sedikit uang untuk kalian. Bawa ibumu berobat!" Sarita menyodorkan kantong buahnya pada anak tersebut setelah dia mengambil dua buah jeruk. Juga selembar uang kertas berwarna merah."Terima kasih, Mbak."Sarita mengangguk, lalu kedua bocah itu tertawa riang dan mengayunkan kakinya dengan ringan. Sementara Sarita yang melihat sikap dua bocah tersebut seketika tersenyum. Segera dihabiskan dua buah jeruk itu, setelahnya dia melanjutkan perjalanan menuju ke kampus. Rencana Sarita, dia ingin mencari kamar kost untuk dia istirahat.Saat berjalan dalam keramaian orang, tiba-tiba dirasanya seseorang berjalan menempel pada tubuhnya. Sarita menghindar, tetapi terlambat. Orang yang menempel itu telah mengambil dompetnya yang masih ada uang senilai empat ratus ribu. Dengan lantang Sarita berteriak."Copet!!"Semua orang seketika menyeruak, tetapi bukan untuk menangkap copet tersebut. Mereka justru memberi jalan pada pelaku pencopetan. Sarita terdiam, berdiri mematung menatap kepergian copet. Napasnya menderu, hidungnya kembang kempis menahan emosi.Semua harta dan kartu penting miliknya ada di dalam dompet. Bahkan ponsel jadulnya pun juga di sana. Wanita muda itu melangkah gontai tanpa arah. Jiwanya memdadak kosong."Aku harus kemana?" gumam Sarita.Dia terus melangkah lurus tanpa tujuan yang pasti berharap akan bertemu dengan sahabatnya. Namun, bukan sahabat yang menemuinya melainkan hujan deras menguyur bumi. Rintik hujan yang jatuh dari langit terus membasahi tubuhnya, Sarita masih terus berjalan menyusuri trotoar sepi.Hujan masih turun dengan derasnya, bahkan sekarang disertai petir dan guruh. Tubuh yang mengigil, gigi gemelutuk akibat dinginnya air membuat Sarita menghentikan langkahnya dan duduk di bawah pohon besar pinggir jalan."Jalan Batanghari, sedikit lagi aku sampai di rumah Sisilia," gumam Sarita.Hujan masih deras menguyur Kota Lamere. Pandangan Sarita lambat laun mulai mengabur, hingga akhirnya wanita muda itu tumbang. Cukup lama tubuh basah Sarita bersandar pada batang pohon besar itu hingga hujan berhenti pun dia tidak ada tanda hendak bangun.Satu jam, dua jam, jalanan sepi dan licin akibat air hujan. Namun, tubuh itu masih berada di posisi yang sama hingga sorot lampu mobil menerpa wajahnya. Seorang pemuda dengan jas hitam dan kaki panjangnga keluar dari mobil hitam."Kasian sekali kamu, Kak!" batinnya.Kedua lengan yang kekar dan kuat meraih tubuh Sarita dan digendongnya masuk ke dalam mobil Roll Royce terbaru. Mobil berkelas dengan harga fantastis membawa tubuh lemah Sarita.Tidak butuh waktu lama, mobil itupun memasuki sebuah jalan sepi. Sepertinya hanya jalan itu yang ada. Samping kiri dan kanan tidak ada rumah penduduk, bahkan dalam jarak dua ratus meter pun juga tidak terlihat. Rupannya jalan setapak itu hanya milik pemuda itu.Mobil Hitam langsung parkir di depan pintu utama, ada seorang wanita paruh baya yang sederhana dan tampak bersih juga ramah."Ada apa ini Den Saga? Siapa perempuan cantik ini?" tanya wanita itu."Kemarin lusa, aku ada perintah buat siapkan kamar ya, Mbok. Sudah siapkah?""Sudah, Den. Bersih dan wangi, sesuai request Aden!""Bagus, tolong cuci semua pakaian yang ada di dalam tas punggung. Jangan lupa bawakan baju ganti yang aku simpan di paper bag meja ruang kerjaku!"Pemuda yang tinggi tegap dan gagah ternyata bernama Sagara Waluyo, salah satu pewaris tunggal keluarga besar Waluyo dari putra kedua sang pembisnis handal. Sagara segera membawa tubuh Sarita masuk ke dalam kamar yang telah disiapkan oleh pria itu."Maafkan aku baru bisa menemukanmu, Kak. Setelah ini semua akan berubah!" batin Sagara."Ini pakaian bersih yang Aden pinta!" kata Simbok sambil menyodorkan paper bag cokelat."Terima kasih, sekarang keluarlah! Biar aku sendiri yang mengganti bajunya!"Tanpa bersuara, simbok pun berjalan mundur lalu setelah beberapa langkah dia berbalik badan dan keluar dari kamar itu. Sagara menatap wajah Sarita, lalu sekilas terlihat kilatan cahaya di dada wanita tersebut. Tangan yang kekar menyibak sedikit baju atas Sarita agar kilatan itu tampak jelas. Kedua mata Sagara membulat sempurna."Ini, liontin khas keluarga Waluyo. Jadi semua sudah jelas buktinya!"Cukup lama Sarita pingsan, jam sepuluh pagi saat sinar mentari masuk dalam kamar melalui jendela yang terbuka tirainya. Perlahan tubuh Sarita menggeliat, kedua matanya membuka. Pandangannya menyapu ruangan yang berwarna biru laut. Warna yang sudah lama dia dambakan sejak masih kecil. Tapak tangannya meraba hamparan sprei biru langit berhias gemerlap bintang, kemudian pandangannya beralih pada selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Seketika dibuka selimut tersebut, lalu Sarita bangkit dari tidurnya. "Ini ... Kamar siapa? Nuansanya sangat indah," gumam Sarita.Kemudian kakinya mulai bergerak memutari keseluruhan isi kamar tersebut. Bibirnya sesekali berdecak kagum akan semua yang ada di kamar itu. Bagai bulan yang jatuh di pangkuan, semua yang pernah muncul di mimpinya kini nyata ada di depan mata. "Selamat pagi, Nona. Sudah lamakah Anda bangun?" tanya wanita muta dengan name tag Aulia."Pagi, saya ada di mana?" "Ini mansion Tulip milik keluarga Waluyo," jawab Aulia, "Saya yang a
"Aku sendiri tidak tahu cerita mengenai liontin itu. Yang pasti benda itu sudah melingkar di leherku sejak aku bayi. Itu keterangan yang kudapatkan dari simbok," jawab Sarita." Aku Sagara Arnold Waluyo, tunggu satu minggu hasil tes dna. Sementara satu minggu ini kamu bisa lakukan apa saja sesuka hatimu," papar Sagara."Apa yang harus aku lakukan, pertama bagaimana caraku memanggilmu, Tuan?" tanya Sarita dengan nada bingung."Cukup panggil aku Saga. Jika hasil dna itu cocok baru kita bahas selanjutnya."Setelah berucap, ujung jari Sagara pun menekan lagi tombol merah. Pintu terbuka dan menampilkan wajah Aulia. Gadis itu berjalan mendekat pada Sarita dan mengajak perempuan itu untuk keluar. "Permisi Tuan Muda!" pamit Aulia sambil membungkukkan badannya.Sarita yang tidak mengerti tata cara keluarga tersebut hanya diam. Dia langsung berjalan keluar dari ruang kerja dan menunggu Aulia di luar, berdiri di samping pintu. Aulia pun keluar sambil menutup pintu dengan gerak pelan."Mari ikut
Sarita terdiam, matanya menatap deretan huruf yang menyatakan kecocokan 100%. Wanita itu menatap pada pria di depannya, lalu mengangguk."Bagaimana langkah kamu selanjutnya, Sarita?" tanya Sagara."Aku ingin lahiran lebih dulu, kemudian perbaiki sikapku untuk membalas semua ini!" "Bagus. Apa perlu kamu pegang salah satu perusahaan milik Bibi Alinsky? Kebetulan ada butik juga, mungkin pas buat lancarkan rencana kamu," ungkap Sagara.Sarita terdiam. Dia belum berfikir ke sana. Yang jelas wanita itu inginkan lahiran dengan selamat, untuk pertama itu yang terlintas di otaknya. Mengenai kuliahnya hanya nunggu proses wisuda."Boleh aku bertanya, bukan, lebih tepatnya meminta bantuanmu, Saga!""Hemm!""Dua minggu lagi aku wisuda, di sana ada pria itu sebagai pendamping dekan. Aku ingin tidak datang, tolong ambilkan ijazahku. Bisakah?" tanya Sarita dengan nada rendah."Jika soal itu tidak masalah bagiku. Jangan khawatir, semua pasti akan beres.""Baiklah, aku lelah dengan kabar mendadak ini.
Sarita menuriti langkah putranya meninggalkan wanita bersama putrinya yang cantik itu. Tanpa Sarita tahu, Sagara telah melihat dan mendengar semua kalimat perempuan itu. Dahinya mengernyit, seakan dia pernah melihat wajah perempuan tersebut."Paman!" teriak Alifian saat dilihatnya Sagara berdiri dengan bersedekap dan bersandar pada badan mobil. Alifian pun berjalan cepat cenderung berlari menuju ke Sagara, dia segera memeluk kaki panjang pria tersebut. Sagara membungkuk dan meraih tubuh mungil ponakannya itu."Hai jagoan om, apa kabar?" tanya Sagara sambil berjalan menujubke sisi mobil yang lain untuk membukakan pintu Sarita. "Silakan masuk, Mama!" kata Alifian."Hehe, terima kasih, Sayang!" balas Sarita. Kemudian Sagara membukakan pintu lainnya untuk Alifian. "Masuk dan duduk yang baik!""Siap, Paman!"Sagara tersenyum, lalu berjalan memutar menuju ke kursi kemudi. Ekor matanya sempat melihat wajah kaget wanita yang menghina Sarita tadi. Senyum tipis bahkan hampir tidak terlihat t
"Maaf, Anda salah orang!" Sarita langsung melangkah pergi meninggalkan kedua orang masa lalunya.Aulia pun mengikuti langkah Sarita dari belakang sebelumnya memastikan pada salah satu karyawan untuk memerhatikan dua pembeli itu."Bunda, Bagas tidak salah lihat 'kan. Tadi itu benar Saritaku?" tanya Bagaskara."Jangan ngaco kamu, Bagas. Jangan rusak malam indah Ni Luh Ayu!" bisik Madam Anne.Wanita yang dimaksud oleh Madam Anne adalah salah satu putri pejabat penting yang meminang Bagaskara dengan alasan bisnis. Saat ini bisnis Bagaskara sedang naik dan termasuk pembisnis muda berbakat. Namun, akhir-akhir ini muncul pembisnis wanita muda yang cukup kompeten.Bagaskata masih tertarik akan sosok wanita yang menurutnya adalah mantan istrinya itu. Segera dikejarnya wanita itu, saat sampai di depan butik terlihat sosok itu masuk mobil sedan mewah berkelas dan berharga langit. Bagaskara berdecak lirih."Andai dia benar Sarita, lalu bagaimana bisa secepat itu hidupnya bisa berubah?" gumam Bag
Pembawa acara segera memulai acaranya. Satu per satu barang dilelang dengan cara bertahap. Ni Luh terlihat begitu antusias kala sebuah kalung permata bertahtakan belian rubi merah."Kak, tawar kalung itu untukku!" pinta Ni Luh Ayu."Baik, persiapkan saja uangnya!" "Iih, iya uang Kakak lah. Itu masih standart kok harganya!"Bagaaskara berdecak, dia datang karena ingin tahu sejauh mana perhelatan kaum atas. Namun, justru terjebak dengan permintaan dari Ni Luh yang sejak tadi merengek meminta barang. Padahal sejak mula wanita itu berjanji tidak akan hijau mata, tetapi nyatanya 39 juta dana Bagaskara sudah melayang untuk amal."Aku sudah gelontorkan uang sebanyak 30 juta. Apa belum cukup?" "Satu lagi, Sayang. Ya, ya!" pinta Ni Luh Ayu sambil membelai dada Bagaskara.Lelaki itu mendesah lirih, apalagi jemari Ni Luh sudah mulai berjalan menuju ke pangkal pahanya. Bagaskara melirik tajam. Ni Luh hanya tersenyum nakal."Huft huu, baiklah. Mulai lah!"Begitu mendengar apa yang dikatakan oleh
"Mama!" Seorang anak laki-laki naik ke panggung menghampiri Sarita dan Sagara. Pria kecil yang tampan berjalan tegap."Hai, Tampan. Siapa nama kamu?" tanya pembawa acara."Alifian Waluyo!""Wow, apakah ini mama dan papa kamu?" "Iya, ini keluargaku."Sagara tersenyum, lalu diraihnya tubuh mungil ponakannya dan digendong pada tangan kiri. Kemudian tangan kanannya meraih jemari Sarita dan menariknya lembut menuruni tangga. Sepasang mata menatap sosok pria kecil itu, sorot matanya mulai sendu."Mungkinkah itu benihku dulu? Tampan," gumam Bagaskara."Kau sempat tanam benihmu, Kak? Pada wanita itu, aku tidak percaya," kata Ni Luh.Bagaskara tidak memedulikan apa yang ditanyakan oleh Ni Luh, pria itu menatap terus pada tiga orang yang berjalan menuju ke sudut ruang mencari bangku yang nyaman. Pembawa acara sudah memberi kode bahwa waktunya ramah tamah."Mama, Alif haus!" ujar Alifian"Tunggu di sini, biar paman yang ambilkan. Jaga mama kamu, Jagoan!"Tanpa menunggu jawaban, Saraga segera b
"Berhenti, Kak. Apa yang Kakak lakukan, lihat semua orang menatapmu!" desis Ni Luh.Bagaskara menyentak tangan Ni Luh, dia tidak peduli. Langkahnya terus mengejar Sarita. Namun, wanita itu sudah menghilang di tengah kerumunan para tamu dan pengunjung malam amal. Bagaskara pun melangkah menuju meja yang tadi dilihatnya ada pria kecil."Kosong, kemana mereka pergi," gumam Bagas, lalu saat ada pelayan yang melewatinya pria itu pun bertanya, "Maaf, tahukan kamu dimana Tuan Sagara dan keluarga?""Ough, Tuan Sagara baru saja meninggalkan acara ini bersama Nona Sarita, Tuan.""Terima kasih!"Bagaskara pun melangkah meninggalkan lokasi malam amal tanpa mengajak Ni Luh. Wanita itu ditinggal tanpa kabar hingga membuat Ni Luh mencari sosok Bagaskara "Shit, dasar pria tidak tau diuntung. Enak saja tinggalkan aku begitu saja. Awas saja kamu, Sarita. Semua ini gara-gara kamu!"Ni Luh pun menghubungi sopir pribadinya agar segera menjemputnya. Malam semakin merangkak menuju pagi, tetapi mata Sarita