Share

6. Sagara Waluyo

Sarita keluar dari mansion aneh milik Madam Anne, kakinya berjalan tanpa arah. Dua hari dua malam wanita muda itu terus menyusuri trotoar tanpa tujuan. Hingga di hari ketiga perutnya berbunyi cukup nyaring.

"Akhirnya rasa lapar itu datang juga!" gumam Sarita.

Pandangannya menyapu alam sekitar, rupanya kaki jenjang itu sudah membawa raganya pada sebuah taman yang terdapat air mancur. Gegas Sarita berjalan menuju kolam berhias air mancur. Ditengadahkan kedua tapak tangannya pada kucuran air mancur, lalu direguknya dengan puas.

Setelah beberapa teguk, ditengadahkan lagi kedua tapak tangannya. Kali ini tidak untuk di teguk, melainkan untuk membasuh mukanya yang terasa tebal oleh debu dan asap kendaraan.

"Ough, segar. Rasanya aku ingin makan buah yang segar. Nah, di sana ada yang jual buah irisan." Sarita pun melangkah menuju ke penjual buah tersebut.

Dia membeli beberapa buah iris dari uang mahar nikahnya yang sejumlah lima ratus ribu. Berbekal uang itu, Sarita meninggalkan mansion. Setelah mendapat beberapa buah, wanita itu pun mencari bangku kosong. Senyumnya mengembang kala dilihatnya ada bangku yang kosong, kakinya bergerak menuju ke bangku tersebut. Namun, baru saja duduk nyaman ...

"Mbak, bisa berbagi buahnya? Adik saya sedang lapar," keluh seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun sambil menggandeng bocah pria usia lima tahun.

Sarita tertegun dalam keterkejutan, sungguh miris hidupnya yang terusir dari rumah mertua dan suaminya sendiri. Ini lebih parah lagi, dua anak tanpa orang tua.

"Dimana rumah dan orang tua kalian?" tanya Sarita.

"Rumahku di kampung melawai, kedua orang tuaku sedang sakit, Mbak. Aku kerja juga belum dapat uang," papar bocah perempuan.

"Ini makanlah kamu dan adikmu, dan ada sedikit uang untuk kalian. Bawa ibumu berobat!" Sarita menyodorkan kantong buahnya pada anak tersebut setelah dia mengambil dua buah jeruk. Juga selembar uang kertas berwarna merah.

"Terima kasih, Mbak."

Sarita mengangguk, lalu kedua bocah itu tertawa riang dan mengayunkan kakinya dengan ringan. Sementara Sarita yang melihat sikap dua bocah tersebut seketika tersenyum. Segera dihabiskan dua buah jeruk itu, setelahnya dia melanjutkan perjalanan menuju ke kampus. Rencana Sarita, dia ingin mencari kamar kost untuk dia istirahat.

Saat berjalan dalam keramaian orang, tiba-tiba dirasanya seseorang berjalan menempel pada tubuhnya. Sarita menghindar, tetapi terlambat. Orang yang menempel itu telah mengambil dompetnya yang masih ada uang senilai empat ratus ribu. Dengan lantang Sarita berteriak.

"Copet!!"

Semua orang seketika menyeruak, tetapi bukan untuk menangkap copet tersebut. Mereka justru memberi jalan pada pelaku pencopetan. Sarita terdiam, berdiri mematung menatap kepergian copet. Napasnya menderu, hidungnya kembang kempis menahan emosi.

Semua harta dan kartu penting miliknya ada di dalam dompet. Bahkan ponsel jadulnya pun juga di sana. Wanita muda itu melangkah gontai tanpa arah. Jiwanya memdadak kosong.

"Aku harus kemana?" gumam Sarita.

Dia terus melangkah lurus tanpa tujuan yang pasti berharap akan bertemu dengan sahabatnya. Namun, bukan sahabat yang menemuinya melainkan hujan deras menguyur bumi. Rintik hujan yang jatuh dari langit terus membasahi tubuhnya, Sarita masih terus berjalan menyusuri trotoar sepi.

Hujan masih turun dengan derasnya, bahkan sekarang disertai petir dan guruh. Tubuh yang mengigil, gigi gemelutuk akibat dinginnya air membuat Sarita menghentikan langkahnya dan duduk di bawah pohon besar pinggir jalan.

"Jalan Batanghari, sedikit lagi aku sampai di rumah Sisilia," gumam Sarita.

Hujan masih deras menguyur Kota Lamere. Pandangan Sarita lambat laun mulai mengabur, hingga akhirnya wanita muda itu tumbang. Cukup lama tubuh basah Sarita bersandar pada batang pohon besar itu hingga hujan berhenti pun dia tidak ada tanda hendak bangun.

Satu jam, dua jam, jalanan sepi dan licin akibat air hujan. Namun, tubuh itu masih berada di posisi yang sama hingga sorot lampu mobil menerpa wajahnya. Seorang pemuda dengan jas hitam dan kaki panjangnga keluar dari mobil hitam.

"Kasian sekali kamu, Kak!" batinnya.

Kedua lengan yang kekar dan kuat meraih tubuh Sarita dan digendongnya masuk ke dalam mobil Roll Royce terbaru. Mobil berkelas dengan harga fantastis membawa tubuh lemah Sarita.

Tidak butuh waktu lama, mobil itupun memasuki sebuah jalan sepi. Sepertinya hanya jalan itu yang ada. Samping kiri dan kanan tidak ada rumah penduduk, bahkan dalam jarak dua ratus meter pun juga tidak terlihat. Rupannya jalan setapak itu hanya milik pemuda itu.

Mobil Hitam langsung parkir di depan pintu utama, ada seorang wanita paruh baya yang sederhana dan tampak bersih juga ramah.

"Ada apa ini Den Saga? Siapa perempuan cantik ini?" tanya wanita itu.

"Kemarin lusa, aku ada perintah buat siapkan kamar ya, Mbok. Sudah siapkah?"

"Sudah, Den. Bersih dan wangi, sesuai request Aden!"

"Bagus, tolong cuci semua pakaian yang ada di dalam tas punggung. Jangan lupa bawakan baju ganti yang aku simpan di paper bag meja ruang kerjaku!"

Pemuda yang tinggi tegap dan gagah ternyata bernama Sagara Waluyo, salah satu pewaris tunggal keluarga besar Waluyo dari putra kedua sang pembisnis handal. Sagara segera membawa tubuh Sarita masuk ke dalam kamar yang telah disiapkan oleh pria itu.

"Maafkan aku baru bisa menemukanmu, Kak. Setelah ini semua akan berubah!" batin Sagara.

"Ini pakaian bersih yang Aden pinta!" kata Simbok sambil menyodorkan paper bag cokelat.

"Terima kasih, sekarang keluarlah! Biar aku sendiri yang mengganti bajunya!"

Tanpa bersuara, simbok pun berjalan mundur lalu setelah beberapa langkah dia berbalik badan dan keluar dari kamar itu. Sagara menatap wajah Sarita, lalu sekilas terlihat kilatan cahaya di dada wanita tersebut. Tangan yang kekar menyibak sedikit baju atas Sarita agar kilatan itu tampak jelas. Kedua mata Sagara membulat sempurna.

"Ini, liontin khas keluarga Waluyo. Jadi semua sudah jelas buktinya!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rohati Iyoh
ceritanya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status