Bab 20 Suara Gaduh Di Kamar Mandi
***
Hari menjelang sore aku pulang sekaligus sambil menjemput anak-anakku dari rumah mbok Jum. Dalam perjalanan pulang, aku membeli makanan kesukaan kami buat makan malam nanti. Jadi tidak perlu repot buat memasak.
Sesampainya dirumah, syukur Mbak Zorah maupun Arza belum ada di rumah. Kemana dua orang itu menghilang. Aku tahu, pasti mereka sedang berduaan.
Sebuah pikiran nakal terbersit di benakku buat mengerjai mereka malam nanti.
"Nak ibu keluar sebentar ya. Pengen minum ke dapur."
Aku meninggalkan anak-anak yang sedang sibuk di dalam ruang bermain mereka. Tujuan langkah ku kali ini adalah dapur. Mengambil ekstrak cabai yang masih tersisa. Lalu menaruhnya ke
Bab 21 Bencana Di Ujung Aktivitas Ranjang "Pa, saya ingin masuk kamar mandi sekarang. Minggir....!" Aku berdiri berkacak pinggang di depannya dengan menatap kedua mata Arza dengan serius. "Jangan, Ma...." Sergah Arza. "Kenapa jangan....?" Aku masih berusaha masuk. "Jangan sekarang, Ma. Tolong... Please dong... Mama kok emosi banget. Tolong jangan marah-marah gini Ma. Nggak kasihan nih sama Papa?" Mata Arza nampak penuh permohonan. Sambil tangannya masih gelisah mengipasi bagian vitalnya. Sedangkan aku ingin tertawa melihat ulahnya. Itu saja masih kurang buat mengerjai b*rung nakalmu itu Arza. Untung saja tidak ku potong tuh barang.
Bab 22 Misi Pertama Berhasil Ponsel dalam kantong lelaki berdasi itu bergetar. "Halooo...!" "Ya halo, selamat pagi " suara luwes seorang wanita dari seberang telepon. "Pagi juga, sama siapa ini,?" "Ini saya karyawan baru di kantor perusahaan, bapak Manajernya kan?" Suara lembut seorang wanita mbuat pria tadi tersanjung dengan sebutan kata "manajer". "Ya benar, saya adalah manajernya." "Begini, Pak. Saya punya beberapa berkas kantor yang harus bapak tandatangani." "Oh ya... Tapi nanti saya bakalan tidak masuk nih. Soalnya masih ada urusan keluarga yang harus saya urusi."
Bab 23 Usaha Yang Memuaskan Aku masih tertidur bersama anak-anak tatkala hari telah menjelang pagi. Sudah beberapa hari, Arza dan Ibu maupun Mbak Zorah tidak pulang kerumah. Bergegas aku membangunkan anak-anak menyuruh mereka bersiap-siap. Drrrrt... Drrtt... Panggilan masuk di layar ponsel. Perasaan mulai tidak menentu ini pasti dari Arza atau Ibu. Ku cek ternyata bukan. Tertera nama di sana. Pak Ricardo. "Halo selamat pagi Mbak Nadine. Bisa saya bicara sekarang?" "Ya silakan saya sendiri." "Dengan ini saya mengabarkan bahwa Semua proses pengalihan nama rumah Mbak sudah selesai. Bisa kita bertemu sebentar nanti."
Bab 24 Keputusan Bulat Nadine Sebelum memulai berkata-kata ke inti masalah berikutnya, Nadine kembali berpikir, bawa apa yang akan dia lakukan ini adalah sebuah keputusan yang kuat dan tidak bisa lagi untuk diganggu gugat. "Pak, saya ingin kembali meminta pertolongan dari Bapak." Ucap Nadine. "Ya, mudah-mudahan saya bisa membantu, pertolongan seperti apa yang mbak Nadine butuhkan?" Nadine berpikir untuk beberapa saat. Kepalanya sedikit merunduk dengan jari-jemari yang saling menggenggam, ia menghembuskan helaan nafas kasar. "Pak Richardo, saya mohon Bapak bersedia untuk mengurus perceraian saya dan Arza." Kata-kata tersebut terucap lantang tanpa adanya keraguan. Walaupun di hati perempuan itu terbersit rasa nyeri karena telah mengambil keputusan itu.
Bab 25 Sebuah Rahasia "Halo, Pa. Apa kabar? Papa masih nginep ya?" Suara Debbie menyapa Arza dengan sebutan Papa. "Iya, sayang." "Mama mana ya?" Lanjutnya. "Mama lagi dandan sayang. Mama sama Papa hari ini pengen weekend. Debbie punya acara nggak? Kalau nggak , yuk ikut bareng kita mau nggak?" Tawar Arza. "Wah Debbie punya acara sama temen-temen." Jawab Gadis berambut pendek sebahu tersebut. "Kalau begitu Debbie butuh uang berapa?" "Mmm berapa ya." Debbie menekan-nekan telunjuk kanannya ke dagu dengan mata mengerling-ngerling ke atas, seperti sedang berpikir. "Ya sudah nih P
Bab 26 Cengkerama Dua Insan Biadab Malam harinya, Di kamar sebuah hotel, Arza duduk dengan tatapan mata menerawang jauh ke arah jendela. Lelaki itu sedang melamun Seorang wanita memperhatikan tindak-tanduknya. Wanita itu mendekati secara perlahan. Rupanya lamunan pria itu sedang serius sekali. Sehingga dia sama sekali tidak menyadari kehadiran seseorang yang mendekatinya. "Mas, ada apa? Mengapa melamun?" Zorah merangkul pundak Arza lembut. Arza kaget melihat Zorah telah berada di sampingnya. "Maaf, Mas Nggak apa-apa kok, Sayang. Cuma sedang memikirkan masalah pekerjaan saja." Arza memandang kekasihnya dengan tersenyum. "Mas mau minum?" Zorah menyodorkan sebotol minuman
Suara deru mobil Arza memasuki halaman rumah. Suara anak-anak bersorak kegirangan. Ya karena mereka mengenali suara mobil papa mereka dengan baik. Melihat itu, ada rasa nyeri menusuk di ulu hati. "Papa Pulang, horeeee...." Lihatlah Anak-anak amat mencintai Papa mereka. Namun memasuki rumah, Arza cuma diam membisu. Mulutnya seolah terbungkam. Padahal apa susahnya cuma sekedar membuat mereka senang dengan menanggapi ocehan konyol mereka. "Papa udah pulang, masuk yuk." Sambut Nadine. Namun suaminya tidak menjawab ajakan yang terdengar hangat tersebut Berada di ambang pintu, Arza sejenak berdiri memperhatikan Nadine dengan sedikit rasa heran. Entah dalam benaknya wanita itu terlihat berbeda dari biasanya. Namun ah sudahlah, lelaki tersebut berusa
Bab 28 Penarikan terakhir. "kamu masih belum berubah juga, Nadine. Tidak ada makanan apapun yang kau sajikan apa-apa dimeja makan. Apa kamu tidak tahu kalau aku sedang lapar?" Suara Arza menggema dari arah dapur menuju ruang keluarga dimana Nadine berada. Nadine memang sengaja untuk tidak meminta Mbok jum memasak pagi tadi. Toh buat apa memasakkan makanan untuk lelaki kikir seperti Arza. "Hey apakah kamu tidak dengar?" Sekarang pria itu sudah ada di depannya. "Ya, aku dengar." Jawab Nadine cuek. "Kalau begitu mengapa kamu diam saja?" Suaranya makin meninggi. Membuat Davin dan Divan terkejut. Melihat Papanya sedang menunjukkan kemarahan, keduanya diam dengan tangan memegang erat tangan Mamanya. Nadine tidak tega melihat anak-