Bab 9
Penarikan Pertama.
Sepulangnya dari kantor. Kususun sebuah strategi. Bagaimana caranya agar bisa menguasai kartu debit yang ada di dalam dompet Arza.
Arza pulang ketika anak-anak sedang tidur siang. Wajah itu menatap jutek.
"Ma, kau belum mengirim jatah buat Debbie dan ibunya."
Baru saja pulang, sudah menanyakan uang buat Zorah.
"Pa, uangku dikit. Seperti kau bilang, aku kan karyawan biasa. Mana ada punya cukup banyak uang." Aku berkata santai.
"Jadi kamu menolak untuk memberinya uang bulanan buat mereka?" Dia memajukan wajahnya sedikit.
"Bukannya saya menolak, Pa. Tapi memang seperti katamu, kalau gaji seorang karyawan biasa cuma cukup buat jajan anak-anak saja."
"Biasanya juga kamu memberinya. Jangan pelit kamu, Nadine. Sama keponakan sendiri."
"Bukannya pelit, Pa. Daripada ngasih mbak Zorah uang buat memuluskan wajahnya. Lebih baik uangnya kupakai buat beli skincareku sendiri."
Setelah aku berbicara, Arza bangkit dengan berkacak pinggang.
"Kamu mulai hitung-hitungan sekarang. Debbie itu keponakanmu sendiri. Dan Zorah itu kakak ipar."
Dalam hati aku menertawakan argumennya yang terkesan hanya untuk di buat sebagai alasan saja.
"Iya Pa. Aku tahu dia keponakanku sendiri. Tapi aku tidak bisa terus-terusan untuk memberinya uang. Karena kebutuhan Davin dan Divan lebih penting."
Aku menjawab dengan santai berselonjoran di sofa sambil memainkan handphone baru yang baru saja ku beli.
"Alasanmu saja Nadine. Tuh kamu dapet handphone baru dari mana coba. Mampu beli handphone baru tapi tidak mau memberi Uang belanja buat mbak Zorah."
"Apa salahnya Mama beli handphone baru? kayaknya Mbak Zorah tidak perlu aku kirimin uang setiap bulan deh Pa. soalnya saya lihat keadaannya malah lebih baik daripada saya."
Arza menghela nafas panjang sambil memegang dada. Lebay.
"Kamu tidak kasihan sama dia. Dia itu masih mbakmu, Ma. Debbie juga masih keponakanmu. Apalagi biaya kuliah Debbie tidak bisa dibilang sedikit. Kamu tidak mau membantu?"
"Sudah kubilang bukan tidak mau membantu. Karena kurasa tak kubantu pun keadaan mereka baik-baik saja."
Aku masih tetap tak berselera walaupun untuk sekedar menatap wajah lelaki penghianat yang sekarang tengah berdiri di depanku. Apalagi bawa-bawa kata-kata kasihan. dulu sebelum aku mengetahui penghianatan mereka, kepedulian begitu besar kutaruh untuk Mbak Zorah dan Debbie. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Manusia seperti mereka tidak perlu dipedulikan. Dikasih hati malah minta jantung. Itulah mereka.
"Jadi sekarang kamu sungguh-sungguh tidak mau membantu Zorah dan Debbie?"
"Untuk saat ini Sepertinya aku tidak bisa untuk membantu mereka. kulihat mereka tidak seperti orang-orang yang kekurangan uang. Mereka baik-baik saja. Pasti Mbak Zorah sudah mendapatkan pekerjaan. Baguslah berarti aku tidak perlu repot-repot setiap bulan memberi jatah uang padanya."
"Kamu berani menentang ku kali ini Nadine?"
"Maafkan aku kalau Papa merasa di tentang. Tapi seharusnya Papa bisa mengerti. Apalagi untuk istri yang hanya punya jabatan karyawan biasa seperti aku. Mengapa tidak kamu saja yang mengirimkan mereka uang. Iya kan? Gaji Papa gede. Tidak harus susah-susah minta padaku."
"Perempuan macam apa kamu ini Nadine. Dengan kakak ipar sendiri saja kamu pelit. Hitung-hitungan. Sama suami juga melawan. Membosankan sekali."
"Maafkan Mama kalau begitu yang Papa rasakan."
ujarku sekenanya dengan mata dan jari-jemari yang tidak luput dari ponsel baru.
"kamu bicara, sedangkan mata dan tanganmu masih ke ponsel. Tidak menghargai suami sama sekali."
Arza menyindir tubuhnya ke sofa. Aku sih masa bodoh saja. Merasa tidak dihargai, monggo. Tidak masalah. Dia saja tidak menghargaiku sebagai istri.
"Papa mau aku menghargai dengan cara bagaimana?"
Aku bangkit dari selonjoran dan meletakkan handphone yang sejak tadi ku otak-atik.
"Tidak bisakah kamu menyisihkan sedikit uang untuk Mbak Zorah dan Debbie. Mereka butuh makan Nadine. Debbie butuh biaya kuliah. Listrik mereka butuh dibayar. Apa kamu tidak memikirkan?"
dalam hati aku ingin tertawa mendengar ocehan-ocehan munafik dari Arza. Padahal sesungguhnya dia hanya ingin menuruti permintaan Zorah untuk membujukku agar memberi uang padanya seperti biasa.
"Berulang kali Mama bilang tidak bisa ya tidak bisa. Anak-anakku juga butuh uang belanja."
"Keras kepala kau Nadine. Punya istri tidak bisa menyenangkan hati. Niat baik saja tidak mau dituruti. coba kau pikir, pikir dimana ada suaminya yang begini peduli dengan sanak saudara istrinya, melainkan aku."
Yah pedulimu padanya karena dia adalah pacarmu. Emosi di dada ini serasa membuatku ingin mengungkap semua penghianatan mereka sekarang.
tapi sabar, sabar dulu. Ini belum waktunya masih banyak pekerjaan yang lain yang harus kamu selesaikan terlebih dahulu sebelum kamu membuang pria ini Nadine. Aku mengingatkan diri sendiri.
"Ya kamu memang baik karena kamu baik silakan kamu mencukupi kebutuhan mereka dengan uang mu sendiri. Maaf, Pa kalau kata-kataku tidak berkenan."
"kamu wanita yang tega menyaksikan saudarimu sendiri dalam kesusahan."
"Sudalah, Pa. Jangan terlalu banyak bicara. Lagian kenapa juga Papa sangat peduli dengan mbak Zorah. Dari tadi kelihatannya kebutuhan Mbak Zorah terus yang Papa pikirin. Sedangkan kebutuhan anak-anak saja tidak sempat Papa tanyain. Malah repot memikirkan kebutuhan Mbak Zahra dan Debbie."
Arza terlihat memperbaiki tempat duduknya. Ada mimik canggung tergambar di wajah pria pengkhianat ini. Salah tingkah aku bilangnya begitu.
"Eeh... Mmmh bukan begitu maksudku. Aku hanya berniat untuk menolongnya saja tidak ada maksud lain."
Lelaki ini berkilah dari kenyataan yang sesungguhnya. Sandiwaramu jelek Arza. Sekuat apapun kamu menyembunyikan sesuatu, Kebohongan nampak jelas di wajahmu. Karena aku sudah mengetahuinya melalui pesan-pesan kalian.
"Lihat susunya anak-anak sudah hampir habis. Bahkan uang bulanan ku saja belum Papa kasih. Boro-boro Aku mau memberi uang sama sama Zorah dan Debbie." Aku berkata dengan tenang.
"Aku malas terlalu banyak mengeluarkan uang untukmu, sudah dinafkahi mati-matian malah tidak tahu diri."
Setelah itu kulihat Arza menahan kekesalan. Mukanya masam dan lebih jutek daripada tadi.
Pemilik wajah sinis itu melangkah ke kamar mandi yang berada di kamar kami.
Aku tahu, Arza orangnya banyak minum air putih. Kena lagi kau kali ini.
Dugaanku ternyata benar, keluar dari kamar mandi pria itu langsung minum. Hiih sebentar lagi kamu akan tertidur pulas kembali.
Tidak lama kemudian dia kembali menemuiku di ruang keluarga.
"Kamu sungguh tidak memahami keadaan suami, Nadine. Kamu egois. Niat suamimu baik. Menyuruhmu untuk menolong Kakak ipar dan keponakanmu sendiri. Malah menolak."
Arza berkata pelan. Kulihat matanya mulai mengantuk. Mungkin sebentar lagi dia akan tertidur.
"Sudahlah tidak usah bicara soal uang untuk Mbak Zohrah lagi deh."
"Cintamu semakin menguatkan Nadine."
"Terserah sama mau bilang apa. Aku juga capek."
Jawabku ringan. Setelah itu kutinggalkan dia sendiri di ruang keluarga sedangkan aku menuju ke kamar anak-anak.
dua wajah yang selalu menjadi penyemangat agar terus semangat dan tetap berjuang. Semoga kalian tidak menurunkan sifat penghianat Papa Kalian, nak.
Setelah merasa agak lama. Aku Kembali menuju di mana Arza berada. Lelaki itu sudah mendengkur di sofa.
Yes dia sudah tertidur. Segera kucari keberadaan dimana dompet Arza. Akhirnya kutemukan di saku celananya tadi. Setelah memeriksa isi dompetnya, segera kuambil kartu debit yang ku cari-cari. Ku pastikan inilah kartu debit yang ingin dia kasih buat Zorah. Baiklah akan ku coba nanti.
Aku berniat untuk langsung ke Atm. Tapi nanti dulu.
Otakku memikirkan sesuatu. Mataku mengawasi kesana kemari. Yup aku menemukannya di dalam kantong celananya.
Handphone.. dengan cepat aku menghampiri Arza yang sedang terlelap. Meraih tangan kirinya dan menyentuhkan jari tengahnya ke layar handphone.
Handphone itu terbuka. Dengan cepat ku akses aplikasi m-banking. Ku cek.
Dugaanku benar kartu debit ini memiliki saldo yang cukup banyak. Mungkin Zorah berpikir dia beruntung bisa mendapatkan pria seroyal Arza. Tapi kali ini aku yang terlebih dahulu akan menikmati uangnya.
Kutransfer sejumlah uang dengan jumlah maksimum ke rekeningku. Huuh kali ini bisa juga menikmati uang Arza. Jumlah ini sebenarnya tidak begitu besar bila di bandingkan dengan pendapatannya.
Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak boleh gegabah. Biarlah sedikit demi sedikit, mereka akan menikmati kehancuran.
Setelah selesai, segera ku hapus history transfer di m-bankingnya. Beres.
Besok aku akan memindahkan uang-uang itu ke rekening baru.
Bersambung...
Bab 10Santai Saja Arza bangun dari tidurnya ketika matahari hampir terbenam di ufuk barat. Aku masih sibuk menemani anak-anak membereskan mainan-mainan mereka yang berserakan di depan televisi. setelah agak lama duduk di sofa, tanpa sedikitpun berbicara kepada kami. Anak-anak pun seperti luput dari perhatiannya. Arza bangkit lalu berjalan gontai menuju dapur. Tidak lama kemudian dia datang lagi dengan wajah penuh kemarahan. Ada apa dengannya? "Nadine kamu nggak pake masak? Lihat tudung nasi sampai kosong begitu. Apa kerajaanmu dari tadi? I cuma nyantai doang? Istri pemalas. Tidak kau pikir apakah suami sedang lapar? Suami capek-capek membiayai hidup kalian, pulang kerumah makanan tidak di sediakan....!" Untuk sejenak, sengaja kudiamkan Arza yang sedang marah tersebut meluapka
Bab 11Kedatangan Ibu Mertua Sejak pergi sehari yang lalu, Arza belum juga kembali pulang. Mungkin saja dia sungguh-sungguh mengajak Zorah kerumah mertuaku. Pertama aku harus menyiasati bagaimana caranya bisa memiliki rumah ini seutuhnya. Bukan jahat, tapi untuk memberi pelajaran untuk pengkhianat itu. Terlebih dahulu aku mesti berpikir bagaimana cara untuk mengalih namakan rumah ini atas namaku. Dalam masalah ini aku membutuhkan seorang pengacara yang handal. "Ma, apaan melamun terus yuk main bareng kita" Suara Davin membuyarkan lamunan. "Eh iya... Mari!" Kuikuti langkah kaki kedua si kembar.
Bab 12 Berkas Penting Aku menuju sebuah berkas yang sengaja kami gunakan buat menyimpan berkas-berkas penting. Ku pencet tombol-tombol angka. Sial brankas itu tidak bisa terbuka. Apa aku salah mengingat? Tidak mungkin. Ku coba lagi menekan kode angka numerik yang seingatku di pakai buat membuka brankas ini, tidak berhasil. Ini pasti ulah Arza. Aku berinisiatif melakukan sesuatu, agar bisa membuka brankas itu. Arza telah berlaku curang, menggantikan kode numerik brankas ini tanpa seizinku. "Nadine, ibu mau kepasar sebentar, tolong jangan suruh anak-anak bermain lalu membuat berantakan." Aku menoleh ke arah pintu. Terlihat kepala ibu mertua nongol di sana.
Bab 13 Mertua Cerewet "Halo..." Aku angkat telepon dari bik Jum. Aku heran mengapa dia menelepon di jam kerja, padahal sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. "Halo nduuk, mungkin saya tidak bekerja lagi di rumahmu nduuk." Suara bik Jum terdengar sedih. Ada apa dengannya? Kok mengatakan tidak bekerja di rumahku lagi? "Kenapa mbok? Kok ngomongnya begitu?" "Bu Meri sudah memecat saya tadi. Dia mengusirku pulang Terpaksa aku menurutinya." aku terkejut mengapa ibu memberhentikan bik Jum tanpa konfirmasi dulu padaku. Padahal dia sudah bekerja dengan ku sejak lama. Beberapa hari yang lalu dia juga mengusir Bik Yah. Yang ku mintai pertolongan untuk mencabut rumput rumput yang tumbuh didalam pot bunga di halaman yang jumlahnya tidak bisa dikatakan
Bab 14 Menemui Pengacara Hampir setengah jam, baru mobil memasuki kawasan kompleks perumahan elit milik Aleena. Memang jarak rumahnya dari rumahku lumayan agak jauh. Tiin... Tiin... Kubunyikan klakson. Tidak perlu lama menunggu, dari dalam rumah seorang wanita muda, seumuran denganku keluar menghampiri. Dia memberi isyarat kepada satpamnya untuk segera membukakan gerbang untukku. "Hai Nadine. Kamu udah sampai rupanya. Yuk masuk dulu. Nih di rumah saya sendiri anak-anak di rumah neneknya." Sambut Aleena. Aleena adalah teman akrabku sejak masa sekolah hingga sekarang. Bersama kami sering berbagi cerita. "Jadi kamu ingin menemui Pak Richardo pengacara langgan
Bab 15 Rumah Tangga Tak Lagi Bermakna "Ya pak." Jawab ku terbata karena merasa takut. "Ini ya klien yang ingin menemuimu Ricardo?" Pak George menoleh kearah Pak Ricardo. Tapi Pak Ricardo malah melirik ke Aleena, mungkin meminta jawaban dari Aleena. Karena aku minta tolong padanya melalui temanku itu. "Ya benar Pak dia yang ingin meminta bantuan bapak untuk menyelesaikan masalahnya." Aleena memberi penjelasan. Kedua pria itu mengangguk. "Wanita ini tidak asing. Dia adalah Nadine manajer di perusahaan ku." Suara pak George malah melemah dan terdengar ra
Bab 16 Datangnya Pembantu Baru Ku lihat Arza sedang terlelap, rupanya jebakanku berhasil. Pengaruh obat tidur itu ampuh juga. Sementara Arza sedang terlelap, aku mengambil ponselnya. Dengan cepat kutempelkan jari tengahnya untuk membuka kunci layar ponsel tersebut. Setelah itu aku mengakses m-banking nya. Mengirimkan sejumlah uang yang lumayan banyak ke rekeningku, lalu menghapus histori transfernya. Beres. Dengan tersenyum puas, kuletakkan kembali ponsel itu ke tematnya semula. "Kamu tidak mau memberiku uang Arza. Jadi terpaksa uangmu kurampas. Hehee" aku membatin Seorang pria yang berlaku curang, harus ku balas dengan cara licik pula.
Bab 17 Senangnya di Kelilingi Dua Babu Pagi hari ini, Aku sengaja bangun tidak secepat biasanya, tuh Aku kan sudah punya pembantu baru. Setelah bangun aku segera mandi dan berdandan cantik. Setelah semua beres aku keluar dari kamar, ingin menuju ke kamar Davin dan Divan. tidak lupa sebelumnya aku membuang semua air yang sudah ku bubuhi obat tidur di kamar tadi. "Enak bener hidupmu ini Nadine, bangun kesiangan. Habis itu tidak membantu kami di dapur sedikitpun. Keluar keluar dari kamar udah dandan habis." Ibu mertua menghadangku di ruang keluarga. "Maaf Bu Nadine kecapean sekali, tidak sengaja deh bangun kesiangan. Lagi pula kan ada mbak Zorah yang membantu ibu." Jawab ku santai.