"Em … jalan yuk, aku sambil cerita," ucapku yang dibalas anggukan oleh Dimas, perlahan ia mulai menjalankan mobil.
"Sebenarnya, aku baru aja bercerai sekitar 3 minggu yang lalu," ucapku mulai menceritakan tentang keluarga kecilku, Dimas yang mendengar penuturan singkatku itu langsung menepikan mobil membuatku langsung bingung.
"Kenapa? Bannya kempes 'kah?" tanyaku, tapi tidak di hiraukan oleh Dimas.
"Katakan kenapa suamimu menceraikanmu, apa kesalahan mu?" cecarnya membuatku langsung tersenyum, ia sama sekali tidak berubah dari zaman kuliah sampe sekarang, masih suka kepo berlebihan kepadaku.
"Aku minta cerai karena dia selingkuh terang-terangan di depanku," jawabku santai sambil mengusap-usap kepala Dani. Aku menoleh ke belakang mendapati Hana juga sudah tertidur sambil memeluk barbienya.
"Ada yang bisa ku bantu," tawaranya membuatku langsung menyergit, perasaan aku tidak meminta pertolongan apapun.
"Maksudnya?" tanyaku memperjelas tawarannya tersebut. Kulihat Dimas menari nafas dalam-dalam.
"Kalo aku nggak bisa jadi suamimu setidaknya izinkan aku membantumu untuk membalas dendam pada suamimu itu, aku masih ingat jelas kok kalo kamu pernah bilang suamimu itu anak dari orang yang sudah membantumu selama di panti asuhan dan kamu juga menikahinya sekalian balas budi, bukan?" terangnya membuat memoriku kembali berputar-putar lalu aku mengangguk pelan.
"Iya kamu benar," ucapku singkat.
"Gimana aku bisa membantumu?" tanyanya kembali, bibirku terasa kelu saat ingin mengatakan iya, aku butuh bantuannya untuk membalas dendam Mas Arga.
"Em … bisa aku berpikir dulu, nanti aku kabari, berikan nomormu," jawabku sambil menyodorkan ponselku, kulihat ia mengangguk lalu menulis nomor teleponnya di ponselku.
Kemudian ia kembali menjalankan mobil hingga sampai ke rumahku, setalah sampai aku langsung turun membawa Dani terlebih dahulu masuk ke rumah dan merebahkannya di ranjang. Saat aku hendak keluar dari makar, kulihat Dimas sudah menggendong Hana lalu merebahkan Hana di samping Dani.
Kemudian kami berdua kembali ke mobil untuk mengambil semua barang-barangku. Begitu semuanya selesai, aku langsung mendekati Dimas yang sedang menutup pintu mobil belakang.
"Mampir dulu," tawarku membuat Dimas langsung berbalik lalu melihatku.
"Nggak usah Nin, lain kali aja. Nggak enak juga, takut tetangga ngomongin kamu yang aneh-aneh," tolaknya membuatku langsung mengangguk.
Betapa besarnya hati Dimas, walaupun aku sudah menolaknya dulu, tapi ia tidak benci sama sekali padaku, bahkan sama anak-anakku. Dimas malah seolah-olah tidak tidak ada yang terjadi antara kami.
"Hey," ia menjentikkan jarinya tepat di depan wajahku, membuatku langsung tersadar.
"Jangan ngelamun terus, kamu harus pikirin masa depan anak-anakmu, kalo suamimu itu nggak usah pikirin 'lah, nambah beban itu, intinya kalo kamu mau balas dendam, libatin aku di dalamnya," terangnya membuatku langsung tersenyum.
"Kamu nggak usah ragu, kalo soal akting aku jagonya, mau peran apa? Pangeran, suami, pehlawan bahkan penjahat sekalipun aku bisa," lanjutnya sambil bergaya-gaya membuat tawaku langsung pecah melihat tingkah konyolnya.
"Malah ketawa, aktor beneran ini," ucapnya percaya diri membuatku langsung mengacungkan jempol.
"Ya udah, aku pamit ya, assalamualaikum," pamitnya lalu ia masuk ke mobilnya, aku masih senyum-senyum mengingat tingkahnya.
Saat aku hendak berbalik, aku langsung kaget dan kakiku langsung berhenti seketika melihat Mas Arga berdiri di dekat pintu, sejak kapan dia si situ? Ngapain dia kerumahku?
"Ngapain kamu ke sini?" tanyaku jutek, bukannya menjawab ia malah menarik paksaku masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu.
"Kamu ngapain sih? Lepasin!" bentakku lalu kuhempas 'kan tangannya sekuat tenagaku, dadaku naik turun menahan emosi.
"Keluar kamu!" usirku dengan nada tinggi, tapi ia malah tersenyum miring seolah-olah mengejekku.
"Aku tahu sekarang alasan kamu meminta cerai, gara-gara cowok tadi 'kan? Sampe-sampe Dani juga harus di gendong oleh bajingan itu," ucapnya membuat darahku kembali mendidih melihatnya.
"Kamu yang bajingan Mas, sekarang keluar dari rumahku!" bentakku sambil menunjuk tegas ke arah pintu.
"Pinter juga kamu ya Hanin, meminta cerai dengan alasan aku selingkuh, padahal kamu juga selingkuh bukan, berapa kali kamu tidur dengannya?" tanyanya dengan nada remeh, air mataku langsung lolos begitu saja mendengar tuduhan ini.
"Kurang ajar kamu ya, asal kamu tahu harga diriku jauh lebih mahal di banding kau dan semua warisanmu! Aku bukan sembarang perempuan yang suka rela melebarkan selangkangan untuk orang yang bukan muhrimku, kamu paham nggak!" bentakku berapi-api di depan mukanya, ia langsung mematung melihatku yang menangis, tapi bukan berarti lemah.
"Kamu adalah suami yang tidak punya etika, kau menuduhku tanpa bukti. Bagus! Tarik tuduhamu tadi dan jawab berapa kali kau meniduri wanita murahan itu?!" lanjutku sambil jari telunjukku menunjuk wajahnya tegas.
"Apa perlu ku katakan berapa kali?" ia malah balik bertanya membuatku langsung tersenyum puas.
"Dari pertanyaanmu itu sudah jelas bahwa kau sering melakukannya dengan jalang itu, dan kenapa kau menuduhku seperti itu. Jawabannya simple karena kau sudah mengalaminya terlebih dahulu, bukan begitu Arga Wijaya?" aku membalikkan tuduhan itu ke pemiliknya.
"Denger ya Hanin, dulu kamu itu tidak pernah kasar dan ngomong kasar dan sekarang lihat 'lah, siapa lagi yang menghasut kalau bukan pria brengsek itu!" terangnya dengan nada tinggi. Sok sekali dia sekarang malah ceramah, tidak sadarkah ia penyebab semua ini adalah dirinya sendiri.
"Siapapun istrinya kalo mereka di posisiku pasti melakukan hal yang sama atau bahkan bisa lebih sadis lagi. Contoh mudahnya memasukkan racun ke dalam makananmu, bagitu kau mati warisan menjadi milik kami, simple 'kan? Itulah yang dilakukan seorang istri untuk mendapatkan warisan, tapi aku tidak, aku bahkan membiarkanmu bermesraan di depanku," ujarku memberi gambaran padanya, kulihat bibirnya terkunci tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia pasti tidak menyangka perempuan lugu seperti Hanin bisa berpikiran sejauh itu.
"Keluar!" usirku, langsung ku buka kembali pintu dan ku dorong ia keluar, tapi sebelum keluar ia malah menahanku.
"Katakan siapa pria brengsek itu?!" tanyanya dengan emosi sok-sokan jadi pahlawan membuatku langsung melipat kedua tanganku, aku tau ia pasti tidak suka melihatku dengan laki-laki lain, dasar egois!
"Kenapa? Ada urusan samanya?" aku balik bertanya, kulihat sorot matanya sangat tajam seolah-olah ingin membunuh.
"Cukup jawab Hanin, aku akan memberinya pelajaran karena telah berani menyentuh anakku!" bentaknya, sekarang sok-sokan jadi pahlawan buat anak-anak, percuma! Tidak akan ada artinya lagi setelah semuanya seperti ini, apa dia buta atau seolah-olah tidak merasa terjadi apa-apa.
"Siapa yang brengsek sudah jelas jawabannya kau Arga Wijaya. Kau tidak suka anakmu di pegang orang, tapi kau sendiri tidak mau memberi kasih sayang seorang Ayah pada mereka, kalau hanya sekedar ucapan dan nasehat itu tidak cukup mereka butuh contoh dan didikan yang benar, percuma kamu sekolah setinggi langit cara mendidik anak aja tidak bisa lebih tepatnya pura-pura tidak bisa," jawabku santai tanpa mengubah posisiku.
"Jangan kamu berani-berani main gila dengan bajingan itu Hanin," ancamannya membuatku langsung tersenyum, dia pikir dia siapa sekarang.
"Kenapa kalo aku main gila dengannya, bukannya kamu yang sudah mengajariku bagaimana cara main gila. Ada contohnya lagi di ponselku, bagaimana cara main gila yang bagus," jawabku tidak mau kalah dan mulai memutar video menjijikkan dirinya dan Mita.
Melihat video tersebut, kulihat ekpresinya menjadi semakin marah, tangannya hendak mengambil ponselku, mungkin ia mau menghancurkannya. Aku langsung membuang ponselku ke sofa lalu menatap tajam ke arahnya.
"Jangan kau berani-berani menyentuhku dan barang-barangku, kamu paham! Kamu udah nggak ada hak sama sekali atas diriku," tegasku, aku yakin dia pasti tidak percaya seorang Hanin yang penurut berubah jadi singa kelaparan.
"Aku ada hak, kamu istriku Hanin!" bentaknya membuat tawaku langsung pecah, aku merasa sudah seperti orang gila sekarang. Tertawa nggak jelas di hadapannya.
"Belum sebulan loh, masa udah lupa sih dengan perceraian yang indah itu," ucapki remeh, kulihat ia tida suka mendengarnya, tapi aku tidak peduli.
"Sekarang pergi, aku muak denganmu, pergi!" bentakku, tapi ia tetap kekeh tidak mau keluar dari pintu.
"Permisi," ucap seorang laki-laki bermasker di depan pintu. Aku dan Mas Arga langsung menoleh.
"Oh, ternyata banyak laki-laki yang mengunjungimu ya," lagi-lagi tuduhan Mas Arga membuatku semakin marah, ia tidak memikirkan orang di sekitarnya.
"Maaf Pak, saya bukan selingkuhan Hanin tapi anak Pak RT, saya di suruh Bapak saya untuk mengusir Bapak karena sudah mengganggu Bu Hanin," terang pria itu membuatku langsung bingung, bukannya anak Pak RT baru kelas 6 SD yang paling besar.
"Nggak usah sok ngatur, ini istri saya!" bentak Mas Arga dengan raut muka yang tidak suka, rasanya ingin ku hajar wajahnya sekarang juga karena sudah membuat keribuatan disini.
"Pergi kamu, Mas," usirku berusaha untuk tidak membentaknya karena memikirkan ada orang lain.
"Kamu bela dia?" lagi-lagi Mas Arga mencecarku dengan pertanyaan suudzonnya, aku langsung mengepalkan tanganku.
"Berapa selingkuanmu? Secara kamu 'kan cantik pasti banyak yang mau, lah," lagi-lagi ia meremehkanku, tanpa sadar tanganku langsung terangkat secepat kilat.
Plak!
Aku menampar mukanya sekuat tenagaku, dadaku kembali naik turun mendengar semua pertanyaan dan tuduhannya tersebut.
"Aku bilang pergi," lanjutku, Mas Arga memegangi wajahnya sambil menatapku dengan tatapan aneh.
"Maaf Pak, tapi Bu Hanin sudah cerai, sekarang tolong pergi sebelum saya panggil warga sekampung," ancam pria bermasker tersebut membuat Mas Arga mau tidak mau melangkah keluar dari rumahku.
"Tunggu," panggilku lalu aku mengambil tas ku di sofa lalu kuambil amplop yang tadi ia berikan di mall.
"Bawa uangmu, aku tidak butuh!" ucapku dengan nada tinggi, lalu ku lemparkan amplop tersebut ke hadapannya.
"Kamu benar-benar berubah demi bajingan-bajingan seperti ini," tuduhnya kembali sambil menunjuk pria bermasker tersebut.
"Ingat Nin, aku akan mengambil anak-anak darimu, aku nggak bakalan biarin mereka tinggal samamu, cam 'kan itu," ancamnya membuatku langsung kaget, sampai kapanpun aku tidak akan memberikan anak-anak padanya.
"Pergi! Jangan pernah datang ke sini lagi," teriakku membuatnya langsung melangkah pergi. Aku berusaha menetralkan emosiku terlebih dahulu sambil memegang dadaku.
Setelah Mas Arga pergi aku langsung melihat pria bermasker yang masih setia berdiri di sampingku dari mana Pak RT aku sudah cerai, padahal aku belum mengatakan hal itu.
Saat pria itu membuka maskernya, mataku langsung terbelalak, mulutku melongo langsung ku tutup mulutku tidak percaya.
"D--dimas," ucapku tidak percaya membuat Dimas langsung tersenyum. "Jadi yang tadi suamimu? Lumayan 'lah ya mukanya, tapi tidak dengan mulutnya," ledek Dimas membuatku langsung menggaruk alisku yang tidak gatal. "Kok kamu ke sini lagi dan kenapa pakaianmu berbeda?" tanyaku mulai penasaran, kulihat ia membuka topinya dan mengibaskan rambutnya seperti anak perempuan. "Hanin … Hanin, 'kan aku udah bilang, aku ini aktor beneran, masih nggak percaya aja," terangnya membuatku langsung mengernyitkan dahiku tidak percaya. "Bunda …," terdengar suara tangisan Dani dari kamar, sepertinya sudah bangun. "Duduk dulu, aku jemput Dani dulu ke kamar," tawarku sambil menunjuk sofa, kulihat ia mengangguk lalu berjalan ke arah sofa. Beberapa detik kemudian, aku kembali ke ruang tengah sambil menggendong Dani. Lalu aku duduk berseberangan dengan Dimas. "Ayo Dimas, jelasin kenapa kamu bisa ke sini lagi?" aku mengulang pertanyaan, kulihat ia menarik nafas terlebih dahulu. "Jadi tuh, aku kesini karena
"Sehebat apa kamu sekarang benari bohong sama, Ayah?" tanya Ayah lagi, aku langsung panas dingin. Apa Ayah tahu aku dari rumah Hanin? Tok! Tok! Tok! "Masuk," suruh Ayah, tampak seorang perempuan yang berpakaian tidak terlalu seksi. "Maaf Pak, tamu dari perusahaan Dimas company sudah datang, Pak," ucap perempuan itu, sedangkan aku masih harus menahan sakit bekas tamparan Ayah. "Iya, 5 menit lagi saya ke ruangan rapat," jawab Ayah. Setelah perempuan itu pergi Ayah kembali menatap tajam ke arahku. "Jangan coba-coba usik Hanin lagi, karena bagaimanapun juga warisan tidak akan Ayah kasih ke kamu, walaupun Hanin sudah mengikhlaskannya," ancam Ayah membuatku langsung kaget. Se sayang itukah Ayah pada Hanin, padahal jelas-jelas akulah anak kandungnya. "Kok gitu Yah, 'kan Arga satu-satu pewaris, Ayah," sanggahku tidak terima dengan keputusan Ayah. "Ayah tidak akan pernah ikhlas sampai kapanpun, jika uang dari warisan ini kamu gunakan untuk keperluan selingkuhanmu. Dosa besar Ayah menafka
"Em … terserah kamu aja, tapi Hana dan Dani suka ayam kecap ya," lanjutku, kulihat Dimas mengangguk. "Oke, aku pesan dulu ya," ucapnya lalu berdiri untuk memesan makanan. Mita yang melihat Dimas pergi memesan makanan langsung mencari alasan pada Mas Arga. "Sayang, aku pesan minum lagi," ucapnya tiba-tiba membuatku langsung tersenyum miring. Dasar murahan! Kulihat Mas Arga mengangguk lalu pelakor itu mulai mendekati Dimas, aku yang merasa risih terus di lihat sama Mas Arga langsung mencari akal. "Sayang, Bunda mau ke toilet bentar ya, jangan kemana-mana, bentar lagi Om Dimas datang," ucapku pada Hana dan Dani dengan niat biar mereka bisa berkomunikasi dengan Ayahnya. Saat aku masuk ke toilet, tiba-tiba ada yang menutup dan mengunci pintu toilet membuatku langsung berbalik melihatnya. Mataku langsung terbelalak melihat Mas Arga mengikutiku ke toilet wanita. "Mas, kamu ngapain ke sini? Ini toilet wanita," tanyaku hati-hati disertai rasa takut karena Mas Arga terus mendekatiku. Aku
Sebenarnya aku ingin masuk ke dalam toilet tersebut ingin memastikan Arga, tapi karena Hanin menarik tanganku mau tidak mau aku harus menurutnya. Satu hal yang menjadi pertanyaan besar bagiku mulai dari restoran hingga sampai di rumah. Kenapa Hanin menangis? Apa Arga menuduhnya lagi? Kenapa Arga memegangi kelaminnya di toilet wanita? Apa Hanin yang melakukannya karena kesal dengan Arga? Keesokan harinya, aku sangat semangat bekerja karena akan bertemu lagi dengan Arga, aku akan membuatnya menyesal telah mencearaikan Hanin demi wanita murahan itu. Aku baru saja sampai di depan kantor Arga, belum sempat aku masuk. Samar-samar kulihat Mita sedang sendirian di parkiran seperti sedang menunggu seseorang. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengurungkan niatku masuk ke kantor, karena menurutku ini sedikit lebih menyenangkan. "Hay," sapaku dari belakangnya, detik kemudian ia langsung berbalik menghadapku lalu tiba-tiba mulutnya sedikit menganga mungkin ia tidak percaya aku menyapanya. "H
"Kamu ngapain di sini?" tanya Arga, kulihat dia berusaha sedatar mungkin agar tidak terjadi keributan. "Em … itu tadi aku kebetulan lewat, kamu sendiri ngapain?" tanyanya balik pada Arga. Pandai sekali kamu berbohong Mita! Udah kayak tukang sulap. "Aku mau bahas projec lah sama Dimas, terus kamu tadi ngapain megang perutnya juga?" tanya Arga lagi, kulirik ekspresi Mita sangat gugup, tapi ia tetap dengan senyumannya. "Eh … itu tadi ada nyamuk di bajunya makanya aku mau nepuk tadi mau bunuh nyamuknya, eh kamu keburu datang," jawab Mita, pandai sekali ia memilih alasan yang bagus di situasi mendesak. Mita langsung berdiri dari sampingku lalu menggeser kursinya ke dekat Arga, aku hanya diam tidak ingin memperkeruh suasana. Ku lihat Mita terus bergelayut manja di tangan Arga, tapi kakinya terus ia colek-colekkan ke kakiku di bawah meja. Benar-benar perempuan murahan. Selama kami membahas projec, Mita tidak henti-hentinya mengganggu kakiku hingga akhirnya tangan Aga tidak sengaja menjat
"Ya udah sekarang kita ke bagian administrasi, yuk," ajaknya, aku hanya melihat Dimas sekilas lalu mengekorinya dari belakang. "Berapa semua biaya atas nama Hana Anggraini yang berada di kamar nomor 87?" tanya Dimas pada petugas administrasi. "Sebentar ya, Pak," ucap perempuan berbaju biru dan berkerudung putih tersebut. "Sudah lunas Pak, totalnya 3 juta sudah semuanya," lanjut perempuan tersebut membuat Dimas langsung melihatku begitu juga denganku, aku langsung melihatnya sekilas lalu melihat perempuan itu lagi. "Siapa yang bayar, Mbak?" tanya Hanin membuka suara. "Disini tertulis, Arga Wijaya," jawabnya aku langsung mengangguk. "Baguslah dia udah membayarnya, toh Hana juga anaknya," lanjut Dimas lalu kami kembali ke ruangan Hana. Bagitu kami masuk, Mas Arga langsung berdiri lalu menghampiriku, kulihat Dimas meninggalkan kami lalu ia pergi ke dekat Hana. "Aku mau sholat dulu," ucap Mas Arga, aku yang sedari tadi tidak ingin melihat wajahnya hanya acuh tanpa menjawab apapun.
"Kamu nggak usah sok ngajari orang tua, bocah kemaren aja songong. Saya lebih tahu Hanin seperti apa dari pada kamu," Ibu mertua terus mencermahi Dimas, ditengah-tengah perdebatan mereka, samae aku mendengar suara yang sangat pelan dan kecil. "Bunda," lirih Hana hampir tak terdengar, aku langsung berlari mendekatinya begitu juga Ayah mertua langsung menoleh ke arah Hana. "Hana udah sadar, Nak. Bunda di sini, sayang," ucapku lembut sambil menggenggam tangannya dan mencium pipinya. Kulihat putriku sangat lemas, mungkin karena banyak keluar darah dari kepalanya. "Ada yang sakit, Nak?" tanyaku lembut di telinganya. "Kepala Kakak pusing, Bunda," adunya membuat air mataku kembali membendung. "Sabar ya sayang, nanti juga pusingnya hilang asal Kakak jangan banyak gerak dulu ya," nasehatku padanya. "Alhamdulillah, cucu Kakek udah bangun, nanti kalo Hana sembuh Kakek beliin boneka beruang yang gede ya, tapi Hana janji harus sembuh ya" ucap Ayah mertua sambil mengusap pipi Hana, kulihat Han
Malam ini rasanya sangat sulit untuk tidur, ditambah lagi Mita selalu menelponku, ku diamkan ponselku, tapi tetap saja ia menghubungiku, aku kembali berdiri hendak keluar untuk mengangkat telpon Mita. Tidak sengaja mataku melihat ke arah Hana, matanya terbuka, tapi ia tidak berani menghadap ke kanan atau ke kiri karena sakit, Hana hanya menatap langit-langit ruangan, tanpa membuang waktu aku langsung mendekatinya. "Kenapa belum tidur, Nak?" tanyaku sambil mengusap pipinya, kulihat matanya langsung melihatku. "Bunda mana, Ayah? Kakak haus," lirih Hana, mataku langsung beralih ke Hanin yang sudah tertidur. Lalu tanganku mengambil botol minum dan sedotan. "Ayah aja ya, Nak. Bunda udah tidur," jawabku lalu menyodorkan sedotan ke mulutnya, Hana langsung menyeruput minum. "Hana belum ngantuk, Nak?" tanyaku lagi karena melihat matanya masih terlihat cerah. "Belum Ayah, Kakak nggak ngatuk lagi, kepala Kakak pusing," lanjutnya lagi, tiba-tiba saja rasa kasihan ku muncul, aku tidak tega m