WANITA YANG MEMBELI SUAMIKU
BAB 4Negosiasi sengit "Mau kalian apa?" tanyaku berusaha tenang. Menarik napas dalam-dalam untuk memulihkan kesadaran sepenuhnya. "Tanda tangan ini sekarang juga." Aku bagaikan tersangka yang diinterogasi sengit oleh mereka. Pintar sekali mereka memanfaatkan keadaan. Mereka tahu aku sudah tertidur beberapa jam. Sengaja segera membangunkanku. Agar aku yang sedang setengah sadar segera menandatangani dokumen itu. Maaf, aku tidak bodoh. Efek bangun tidur hanya berjalan beberapa menit. Sesudahnya aku akan sadar sepenuhnya dan siap melawan para manusia tidak ada otak seperti mereka. "Bayar dulu satu milyar. Baru aku tanda tangan. Ditambah uang 500 juta buat ngurus perceraian." "Gak usah banyak ngatur. Jadi istri itu harus nurut. Cepat tanda tangan," desak ibu. "Gak!" sentakku. "Citra, kamu semakin berani saja, yah. Cepat tanda tangan. Atau aku paksa kamu!""Hahaha, mau maksa gimana, Mas? paksa ajah kalau bisa." "Cepat tanda tangan!" bentak ibu. Mertuaku berdiri. Lalu, dia mencengkram kuat leherku dari belakang. Tulang leher rasanya diremas-remas. Dicekik dari arah belakang. Sementara itu, Mas Aldo hanya diam saja, dia sama sekali tidak berniat menolongku untuk lepas dari cengkraman ibunya. Dasar manusia gila harta. Mereka rela melakukan apa saja sampai berani menyakitiku. "Tanda tangan di sini, Cit. Ibu terpaksa berbuat kasar. Mangkanya kamu nurut sama Mas." "Bunuh saja aku. Aku pastikan kalian akan masuk penjara. Orang tuaku pasti akan menyelidiki kebejatan kalian nantinya." "Kami tidak akan membunuh kamu, Citra. Mangkanya tanda tangan. Biar urusannya cepat beres." "Tidak. Sebelum kalian berikan aku uang. Cekik saja aku sampai mati. Kalau kalian sudah siap membusuk di penjara." "Cukup, Bu. Kinanti gak mau nama kalian tercemar karena membunuh perempuan gila ini." "Lepaskan, Bu!" perintah Mas Aldo. Dengan raut kesal Ibu melepaskan cengkeramannya. Tidak ada raut bersalah dari wajahnya. Benar-benar perempuan tua yang sudah gila. Hatiku sakit luar biasa atas perbuatan mereka. Bukan hanya batinku yang mereka sakiti. Fisikku juga mereka lukai. Bagian leher rasanya perih, mungkin sudah ada bekas kemerahan di sana. Aku tidak akan tinggal diam sudah diperlakukan bagaikan hewan oleh mereka. "Anda sudah benar-benar gila, Bu. Demi uang tega-teganya menyakiti menantu sendiri. Aku akan bawa kasus ini ke polisi." Aku berdiri dengan percaya diri untuk melawan mereka semua. Aku masuk ke kamar untuk mengambil ponsel dan tas. Niatku bulat untuk melaporkan mereka. Tidak ada toleransi terhadap kekerasan fisik . Aku bukan perempuan lemah. Yang diam saja diperlakukan seenaknya. Tindakan mereka sudah menjurus pada kekerasan dalam rumah tangga, dan pemaksaan. "Citra, jangan banyak drama. Jangan mempersulit urusan di antara kita. Ikuti perintahku semua ini demi kebaikan kita," bujuk Mas Aldo bersikap lembut. Pasti dia takut aku berbuat nekat. "Tidak! Aku pastikan Ibumu masuk penjara!" ancamku dengan emosi tingkat tinggi. "Hahaha, Mbak jangan melawak. Mbak tidak ada bukti melaporkan ini semua," ujar Kinanti. Aku hanya tersenyum sinis. Mereka tidak tahu saja, tanganku sedang memegang ponsel. Fitur rekaman sudah diaktifkan. Semua pembicaraan mereka aku rekam untuk dijadikan bukti. "Benar kata calon menantuku. Kamu pikir saya bodoh? saya tidak takut dengan ancamanmu. Laporkan saja. Kamu tidak punya bukti. Saya akan membalikkan fakta, dan melaporkanmu atas tuduhan pencemaran nama baik." "Oke, kita buktikan saja." Dasar manusia bodoh. Mereka pikir bisa mengalahkan aku? tidak sama sekali. Istri yang tersakiti punya seribu satu cara untuk membalas sakit hatinya. Kezaliman tidak akan menang. Cepat atau lambat akan binasa dan hanya menunggu waktu saja. Aku bergegas menuju jalan raya. Lalu, memesan taksi online. Aku benar-benar akan melaporkan kasus ini ke polisi. Aku punya uang. Jadi, bisa menyewa pengacara hebat. Sikap mereka jika dibiarkan akan semakin menjadi-jadi. Aku harus nekat. Supaya, mereka kapok meremehkanku. "Ada yang bisa dibantu, Bu?" tanya pak polisi dengan ramah tapi tegas. Aku ceritakan semuanya. Menunjukkan bukti yang aku punya. Rekaman suara, dan bukti fisik. Leherku memerah. Tampak kebiruan saat aku melihatnya di cermin. Semua ini ulah manusia tamak akan harta. Tega menyakiti siapa pun. Hanya memperdulikan diri sendiri. Padahal, syarat dariku tidak sulit hanya satu milyar saja. Namun, mereka malah memilih jalan anarkis. Aku pastikan, mereka akan menyesali tindakannya padaku. "Baik, Bu. Laporan Ibu akan diproses, karena bukti yang Ibu berikan sudah cukup kuat untuk rekamannya. Tapi untuk bukti fisik, Ibu bisa visum ke dokter yang tidak jauh dari sini. Nanti Ibu kembali ke sini untuk menyerahkan surat hasil visum tadi pada kami. Secepatnya, pelaku akan ditangkap." "Terima kasih, Pak," ujarku berakting menangis. supaya, membuat Pak Polisi semakin iba. Setelah laporanku diproses, aku segera menuju di mana klinik yang Pak polisi tadi katakan untuk aku melakukan visum setelah selesai aku kembali lagi ke kantor polisi untuk menyerahkan hasilnya dan setelahnya pun aku pulang ke rumah. Tinggal menunggu kabar, ibu mertua ditangkap polisi. Mereka akan sadar, bahwa aku bukan lawan yang lemah. "Citra, kamu beneran ke kantor polisi?" tanya Mas Aldo yang sedang menungguku di teras depan. Sementara ibu dan Kinanti sudah tak terlihat lagi. Mungkin, mereka sudah pulang ke rumah masing-masing. "Iya, kamu takut, Mas?" "Hahaha, aku kasian sama kamu, istriku. Pasti laporan kamu ditolak. Kamu hanya mempermalukan dirimu sendiri. Lebih baik ikuti saja kemauanku." "Kita lihat saja nanti." Aku tak mau banyak bicara. Biar fakta yang berbicara. Lebih baik masuk ke kamar. Aku ingin merebahkan tubuh di ranjang. Supaya, bisa sedikit rileks. Berpura-pura tegar butuh tenaga ekstra. Aku tak mau terlihat lemah. Meskipun, saat perjalanan ke kantor polisi, dan arah pulang, air mataku sudah bercucuran. Sekuat apa pun diriku tetap saja, aku hanya manusia biasa. Seorang perempuan yang punya perasaan. Tentu batinku tersiksa, sakit luar biasa. Tak pernah menyangka suami yang aku cintai memperlakukanku setega ini. Sama sekali tidak membelaku di depan ibunya yang ganas. "Maafkan Mas, Citra. Kamu maunya apa? tolong jangan bersikap seperti ini," ujar Mas Aldo duduk di tepi ranjang. Entah akting apalagi yang mau dia mainkan. Berubah sok manis dan lemah lembut. "Jangan ganggu aku, Mas. Biarkan aku rebahan dan tidur dengan tenang. Baru nanti kita saling bertarung lagi dalam permainan ini." "Ini bukan pertarungan apalagi permainan, Sayang. Ini pernikahan. Jadi, tolong hargai aku sebagai suami turuti saja perintahku." Tubuhku langsung melonjak duduk. Kuping panas mendengar ucapan Mas Aldo. Capek berhadapan dengan manusia setengah Dajjal. "Pinter yah, kalau ngomong." "Maksudnya gimana, Citra? kenapa kamu berubah kaya gini? biasanya kamu selalu menjadi istri yang penurut." "Hahaha, capek ngomong sama manusia gak punya otak. Kamu mikir sendiri alasannya." Sumpah, hatiku kesal dan capek luar biasa. Rasanya ingin secepatnya minta cerai. Namun, aku urungkan niatku. Tak mau Mas Aldo bahagia. Biar dia mendapatkan pelajaran terlebih dahulu karena perbuatannya. Tak boleh dilepaskan begitu saja. Nanti suami dan mertuaku semakin senang bisa bahagia di atas penderitaanku. "Hallo, Raya, ada apa?" tanya Mas Aldo mengangkat panggilan. Sepertinya adik iparku yang menelpon. " .... " Sayangnya aku tak bisa mendengar kata-kata yang diucapkan Raya. Hanya bisa melihat ekspresi Mas Aldo yang mendadak tegang. Lalu, suamiku menatap tajam ke arahku. "Kenapa bisa ada polisi?"WANITA YANG MEMBELI SUAMIKUBab 5 Uang Untuk Bebas "Kenapa bisa ada polisi?" "...." "Tenanglah, Dek. Mas akan segera menghubungi Ibu di kantor polisi. Kamu tunggu saja di rumah. Semua akan baik-baik saja." Mas Aldo menutup sambungan telepon kemudian memandangku sengit. Aku malah tersenyum penuh kemenangan. Sayangnya, tak bisa mendengar suara adik iparku yang sombong. Pasti seru sekali mendengar kepanikannya. Mereka merasa paling hebat, akhirnya kalah juga. Itulah pentingnya jangan meremehkan orang lain. Aku tak mau jadi orang jahat, tapi harus tega menghadapi manusia jahat. Semoga saja, hati mereka tertampar. Sehingga, bisa menyadari kesalahan. Meskipun demikian, hal tersebut sulit terjadi. Manusia yang sudah dikuasai nafsu, akan sulit berkaca diri. Merasa paling benar. Selalu mendengar bisikan dalam dirinya. Menghalalkan segala cara supaya mendapatkan segalanya. Padahal, apa yang mereka inginkan secara mati-matian, belum tentu kebahagiaan dan kedamaian hidup. "Apa yang kam
Brak! Citra menancapkan pisau daging yang dia ambil dari dapur tadi ke atas meja di ruang tamu. Wajah Aldo seketika pucat melihat gerakan Citra kali ini. "Bagaimana? Masih berani padaku?""Cit, kamu jangan main-main ya. Itu pisau lho." Tampak sekali Aldo sangat ketakutan tapi ia berusaha membuat wajahnya terlihat biasa saja. "Yang bilang itu kuaci siapa? Pisau itu sangat tajam lho, Mas. Daging merah yang disiset lalu dipanggang dan dicelupkan bersama saus sambal itu nikmat lho, Mas. Apakah kamu mau mencobanya? Ah, gak perlu sampai nyawamu melayang. Cukup aku minta sedikit daging di tanganku yang suka menyakitiku itu saja aku sudah bahagia. Gimana? Boleh kan? Kesinikan tanganmu, Mas." Lagi-lagi Aldo menelan salivanya. Ia berjalan mundur menjauhi Citra yang juga berjalan maju mendekati dirinya. Semakin lama tubuh Aldo semakin menjauh dari Citra karena ia menghentikan langkahnya dan memandang Aldo tajam dengan senyuman yang menyeringai. "Dasar istri gila! Awas kamu Citra! Aku masih
"Kamu kayak gak tau Citra aja. Gak ada duit ya gak ada makanan. Ah, bahkan kalau ada duit pun seringnya juga gak ada makanan di meja.""Iyakah? Yaudah deh kamu mau pesan apa""Samakan saja dengan pesananmu. Mas makan gak pernah memilih kok." Setelah Kinanti memanggil pelayan dan kembali pesan menu yang sama seperti dirinya pesan tadi. Ia kembali mengobrol dengan Aldo. "Parah sekali istrimu itu, Mas. Tapi kenapa gak kamu ceraikan saja sih dia, Mas? Kamu menikah sama aku kan enak hanya aku satu-satunya di hidupmu.""Masalahnya aku kasihan sama dia, Sayang. Orang tuanya miskin. Kalau aku menceraikannya mau tinggal di mana dia. Lagian kalau dia tetap menjadi istriku setelah kita menikah lagi kan kamu bisa menyuruh-nyuruhnya yah anggap saja pembantu gratisan. Ya kan?""Hemm kamu benar juga, Mas. Tapi masalahnya dia kekeh minta uang satu milyar itu gimana dong, Mas?""Itu juga yang aku pusingkan. Meskipun orang tuamu kaya dan gak ada artinya kalau harus mengeluarkan uang segitu banyak tapi
"Kamu memang yang terbaik buatku, Sayang."***Keesokan harinya, Kinanti menepati janjinya untuk membebaskan Ibu Miranti. Kinanti pun membawa serta pengacara keluarganya untuk ikut membereskan semua permasalahan Bu Miranti. Kinanti dan juga Aldo telah membuat janji untuk bertemu di kantor polisi saja agar tidak memakan waktu. Aldo yang terlebih dahulu sampai di kantor polisi pun menunggu Kinanti yang masih dalam perjalanan menuju kantor polisi. Tidak berlama-lama Aldo menunggu, Kinanti pun sampai di kantor polisi di mana Bu Miranti, ibunya Aldo ditahan. "Hai, Mas. Sudah lama menunggu?"Kinanti berjalan menghampiri Aldo yang terlihat duduk di ruang tunggu. Ia menyapa Aldo yang terlihat celingukan mencari seseorang. "Akhirnya kamu datang juga, Sayang. Nggak kok, aku juga baru saja sampai." Aldo tersenyum saat melihat kedatangan Kinanti. "Kenalkan, Mas, ini Om Agus pengacara yang akan membantu Ibu keluar dari sini." Kinanti memperkenalkan Pak Agus kepada Aldo. Aldo mengulurkan ta
"Om, Kinanti mohon Om jangan cerita sama Papa ya. Ini biar jadi masalahnya Kinan saja. Jadi Papa nggak perlu tau," ucap Kinan memelas pada pengacara keluarga nya itu yang bernama Pak Agus. "Sebenarnya itu memang hak klien, Om memang tidak perlu untuk mengatakan hal apa pun kepada orang lain termasuk Papa kamu." Kinanti dapat bernapas lega karena ia sebenarnya juga takut kalau sang papa akan mengetahui semuanya. "Tapi Om sebagai pengacara Pak Anggoro cuma bisa mengingatkan saja. Lebih baik Kamu batalkan niat kamu untuk menikah dengan pria itu. Karena Om melihat lelaki itu cuma mau harta saja. Dia itu tidak bukan pria baik-baik. Apalagi Ibunya. Mereka itu matre. Dia tidak tulus mencintai kamu Kinanti," imbuh Pak Agus menasehati Kinanti panjang lebar agar Kinanti paham dengan apa yang diucapkan Pak Agus. Kinanti yang mendengar ucapan Pak Agus pun menepis semua omongan yang diucapkan Pak Agus barusan. "Itu cuma perasaan Om Agus saja. Mas Aldo nggak seperti itu kok, Om. Mas Aldo dan
"Iya Kinan, Ibu sama Aldo bisa naik taksi kok. Tapi … anu ….""Kenapa, Bu?""Ibu dan Aldo gak punya uang buat naij taksi. Emmm maaf kalau merepotkanmu, Nak, bisa gak kalau kita pinjam dulu uang buat naik taksi? Kamu kan tau kalau uang gaji Aldo itu dikuasai sama Citra sialan itu." Mimik wajah Bu Miranti dibuat sesedih mungkin agar Kinanti mempercayainya. "Oh, iya Ibu tenang saja. Ini Kinanti ada kok. Maaf ya hanya bisa kasih segini soalnya belum narik lagi uang di ATM." Kinanti menyerahkan sepuluh lembar uang berwarna merah pada Bu Miranti. Mendadak wajah tua yang tampak kuyu karena beberapa hari berada di dalam penjara itu seketika berbinar. "Ya ampun terimakasih ya, Kinanti. Kamu memang calon menantu yang terbaik buat Ibu. Memanglah si Aldo ini gak pernah salah pilih." Kinanti tersenyum mendengar ucapan Bu Miranti. Ia pun berpamitan sembari mencium takzim tangan calon mertuanya itu. "Yasudah kalau begitu aku pulang dulu ya., "Ya sudah hati-hati ya, Sayang. Ibu doakan semoga uru
"Nama kamu Citra kan? Ya jelas nyuruh kamu lah." "Aku? Ogah! Suruhlah sana calon menantumu yang katanya baik dan terhormat itu. Aku bukan babu kalian!"Citra pergi berlalu meninggalkan Bu Miranti dan juga Aldo. Citra memasuki kamarnya dan tidak lupa mengunci pintu kamar agar tidak diganggu oleh kedua orang yang sangat menyebalkan menurut Citra. Brak! CeklekCeklek"Lihat tuh, Do! Kelakuan istri kamu itu gak ada sopan-soapannya sama orang tua! Kerjanya memvangkang saja! Sudahlah lebih baik kamu ceraikan saja dia. Dasar istri gak berguna bisanya cuma nyusahin saja." "Ck, sudahlah, Bu, biarkan saja dulu. Ibu lapar kan? Yuk kita beli maka pakai uang yang dikasih Kinanti tadi. Masih ada kan?""Ya masih lah. Gila aja kalau sudah habis masa iya cuma buat bayar ongkos taksi aja langsung habis.""Ya kali kan biasanya juga begitu. dikasih uang langsung deh habis.""Jadi kamu mulai hitung-hitungan sama Ibu, Do?""Ya, ya enggak begitu maksud Aldo, Bu. Aldo cuma …." "Halah, dahlah, nih sana k
"Istri kamu belum keluar juga dari kamar? Kenapa gak minta dia aja sih yang bersihkan. Benar-benar istri tak berguna.""Kelamaan nunggu dia. Udahlah sana istirahat soalnya aku juga mau istirahat. Badanku capek semua."Bu Miranti dan Raya pun akhirnya mengangguk dan mereka beranjak ke dalam kamar yang berada tak jauh dari meja makan tersebut karena memang jarak kamar utama dengan kamar kosong itu memang cukup jauh. Jika kamar utama ada di sebelah ruang tamu maka kamar yang akn digunakan Bu Miranti dan Raya ada di sebelah ruang makan yang gabung dengan dapur. Setelah memastikan Ibu dan Adiknya masuk ke dalam kamar, Aldo juga bergegas untuk masuk ke kamarnya. Entahlah, rasanya malam ini dia tengah berhasrat dan minta untuk dituntaskan sekarang juga. Aldo pun menyusul Citra ke kamarnya, ia menggedor-gedor pintu kamarnya dengan Citra, tetapi tak kunjung dibukakan oleh Citra. DokDokDok"Cit, buka pintunya!"Agak lama Aldo menunggu tetapi Citra tak kunjung keluar juga. TokTokTokAldo