Part 5
Aku tak pernah tahu Arini akan marah besar atas sikapku selama ini. Kami bertengkar hebat. Biasanya Arini selalu diam tapi kini dia berani marah-marah gak jelas bahkan mengusirku dari rumah sendiri. Bahkan aku sangat shock saat dia mengatakan ingin pisah dariku di depan ibu. Apakah dia tidak memikirkan perasaan ibu?"Keputusanku sudah bulat. Aku ingin pisah darimu. Akan kuurus semua berkasnya!""Tidak Dek. Tolong jangan seperti ini--"Dia menggeleng cepat, wajahnya menunjukkan kalau dia sangat kecewa. Aku benar-benar shock mendengarnya. Apalagi terngiang semua ucapannya. 'Aku memintamu mengantarku periksa kandungan kau menolak, aku memintamu mengantarku belanja bulanan kau menolak. Aku memintamu untuk sekedar makan malam bersama, kau pun menolak. Dan kamu selalu menolaknya karena kau lebih memilih ingin menghabiskan waktu bersama Aqilla dan juga ibunya. Apa kau lupa dalam rahimku ini pun adalah calon anakmu?'Ungkapan kekesalannya itu seperti tamparan bertubi-tubi untukku. Kupikir selama ini dia baik-baik saja. Kupikir dia akan menerima semua kekuranganku. Kupikir dia akan menerima keadaanku. Tapi nyatanya aku salah, aku seperti telah membangunkan macan yang sedang tertidur. Dan ucapannya itu benar. Semua berawal dari kelalaianku. Sikapku terlalu acuh padanya. Aku memang masih belum bisa move on dari Elvina, tapi aku tak ingin kalau harus berpisah dengan Arini. Dia perempuan yang sangat baik.Pertama kali bertemu dengannya tanpa sengaja saat aku melihat-lihat sebuah panti jompo. Awalnya karena rasa frustasi, tiga bulan setelah ditinggal Elvina, aku ingin memasukkan ibu ke panti jompo saja. Tapi pasti ibu akan menolaknya bahkan mungkin akan marah padaku, merasa ditelantarkan, anak durhaka dan segudang penilaian buruk yang lainnya. Sementara, waktu itu ibu dirawat oleh tetangga di samping rumah, tapi ia tak bisa stand bye 100% jagain ibu, aku harus bolak-balik pulang kantor dan kerjaan bisnis sampinganku yang lain bila ada masalah darurat.Aku tertegun melihat sosoknya, bahkan dari pertama bertemu aku bisa menilai sikapnya yang begitu penyanyang. Seorang wanita berkerudung merah jambu itu tengah bersama beberapa lansia, dia membantunya duduk dan tengah bercerita, membuat para lansia yang duduk di kursi roda itu tersenyum sumringah.Tak jemu aku memandangnya. Hingga aku mencari tahu tentang wanita itu. Wanita yang membuatku terpesona. Namanya juga teramat cantik seperti wajahnya. Arini Faradina. Seorang perawat panti jompo. Layaknya seorang lelaki sejati, akupun mendekatinya. Kami berkenalan."Hai, selamat sore, Sus," sapaku saat ia hendak pulang, karena jam kerjanya telah selesai. Ia tengah mengeluarkan motornya dari deretan parkir."Iya, sore, ada apa ya, Mas? Cari siapa?""Cari suster.""Aku? Apa ya, Mas?"Aku tersenyum melihat mimik wajahnya yang begitu serius, antara takut dan juga ragu. Tapi dia benar-benar menggemaskan meski tergambar wajah lelah karena sudah letih bekerja."Boleh bicara sebentar, Sus? Kita duduk di sana," ajakku lagi.Dia terdiam sejenak kemudian mengangguk. Aku tersenyum lagi."Kenalin, aku Bachtiar. Dan aku udah tahu nama suster. Suster Arini 'kan?"Dia mengangguk. "Dari mana mas tau nama saya?""Hahaha, itu di nametagnya tertulis nama Arini.""Ah iya," jawabnya sambil tersenyum kikuk.Lalu kuceritakan tentang kondisi keluargaku, aku menjual kondisi ibu yang memang lumpuh dan tak bisa beraktivitas lagi, sedangkan aku tak mungkin membawa ibu ke panti. Arini rupanya menjadi pendengar yang baik, dia pun memberikan solusi untuk menyewakan perawat pribadi untuk ibuku. Aku membenarkan ucapannya tapi masih berpikir ulang, karena tak ingin ibu dirawat oleh sembarang orang.Hari-hari berikutnya aku selalu datang di kala jam kerjanya selesai, mengajaknya makan bersama dan memberikan perhatian-perhatian lebih padanya. Hubungan kami semakin dekat, aku pun senang karena dia wanita yang begitu ceria. Dari sana aku tahu kalau dia merantau di kota ini dan bekerja sebagai perawat panti setelah masa kuliahnya selesai.Arini adalah seorang gadis yatim piatu, dulu dia tinggal bersama neneknya di kampung. Walaupun dari keluarga yang tidak mampu, tapi dia mampu menyelesaikan pendidikannya. Kuliah karena kecerdasannya, dia mendapatkan beasiswa. Makin takjub aku dibuatnya. Hingga aku yakin kalau dia sangat cocok untuk kujadikan istri. Sempat kubertanya kenapa dia mau bekerja di panti jompo, jawabannya sangatlah sederhana. Dia ingat neneknya yang sudah mengurusnya sedari kecil. Ya, sesederhana itu pemikirannya.Empat bulan kedekatanku dengan Arini, akhirnya kuberanikan diri untuk melamarnya. Ini harus cepat kulakukan agar tak keduluan dengan pria lain karena kulihat seorang dokter penanggung jawab panti itupun tengah mendekatinya."Aku mencintaimu, Arini. Ayo menikahlah denganku," ajakku to the point. Ia tampak kaget saat kuutarakan maksudku. Wajahnya tersipu malu."Maaf sebelumnya Arini, aku ini pria dewasa, pernah gagal dalam berumah tangga. Tapi sekarang aku yakin kalau kamu adalah wanita pilihan untukku. Aku takkan mengajakmu pacaran, tapi langsung saja menuju ikatan halal. Kamu bersedia kan menjadi istriku?" tanyaku lagi."Emmh, aku harus tanya nenek dulu, Mas, masalahnya ini kan masalah serius," jawabnya ragu."Iya, tidak apa-apa. Tapi aku juga ingin tahu, bagaimana perasaanmu padaku? Apa kau juga mencintaiku?"Dia menatapku, tatapan yang cukup membuat hati ini bergetar dibuatnya. Dia mengangguk pelan meski dengan wajah malu-malu. Yess akhirnya gayungku bersambut.Akupun mengutarakan maksudku pada ibu. Kuceritakan semua tentang Arini. Ibuku senang mendengarnya. Dia bahkan merestuiku secepat itu."Menikah lagi saja, Nak, kalau memang dia wanita baik-baik yang mau menerimamu dan juga ibu.""Iya, Bu. Akupun sudah yakin dengan dia. Minggu depan aku akan ke kampung halamannya, meminta restu pada neneknya."Ibu mengangguk, rona wajahnya ikut bahagia mendengar penuturanku."Yo wis to nduk, nek arep omah-omah ojo kesuwen. Miliho sing apik go awakmu." (Ya sudah, Nak. Kalau mau menikah jangan lama-lama. Pilihlah yang terbaik untuk dirinu)Intinya neneknya Arini merestuiku. Tak lama setelah itu kami menikah. Menikah dengan acara sederhana di kampungnya Arini. Ijab qobul dan syukuran kecil-kecilan. Tapi kulihat wanita itu sangat bahagia dipersunting olehku.Kuberikan mahar pernikahan satu unit rumah agar mengikatnya, agar dia mau segenap hati merawat ibuku. Akupun melarangnya bekerja kembali, karena kebutuhan sudah terpenuhi. Nyatanya rencanaku berhasil. Ibu dan Arini begitu klop, di merawat ibu dengan baik. Jadi aku tak perlu lagi membayar seorang perawat dengan mahal. Sementara kalau malam pun aku bisa beristirahat dengan tenang.Baru enam bulan pernikahan kami, tapi sekarang sudah diujung tanduk. Tidak, tidak akan kubiarkan Arini pisah denganku. Bisa-bisa kesehatan ibu makin menurun. Mereka sudah sangat dekat. Tidak ada lagi wanita sebaik dan setulus itu merawat ibu, bahkan mantan istri yang masih kucintai itupun dia ..."Apa kau pikir wanita seperti aku tak bisa berbuat apa-apa? Hanya akan menangis atau menurut akan ucapanmu saja? Tidak, Mas, kau salah besar!" Ucapannya yang lantang membuatku sedikit terhenyak."Dek, istighfar, dek. Kamu itu lagi hamil lho, dek, kamu gak bisa bersikap seperti ini padaku. Apa kamu mau saat anak ini lahir tanpa kehadiran seorang ayah?" Aku mencoba menenangkannya."Lebih baik dia tak mengenal ayahnya. Dari pada harus memiliki seorang ayah yang pilih kasih, bahkan di awal kehadirannya pun tak pernah peduli!""Lebih baik dia tak mengenal ayahnya. Dari pada harus memiliki seorang ayah yang pilih kasih, bahkan di awal kehadirannya pun tak pernah peduli!""Ya ampun Dek, kenapa kamu jadi seperti ini sih! Kamu seperti bukan Arini yang mas kenal. Kamu tega memisahkan anak dan ayahnya sendiri?" ucap Mas Bachtiar membela diri."Karena kamu duluan yang memulainya, Mas. Andai kamu bisa menghargai sedikit saja perasaanku, aku tak mungkin bersikap seperti ini. Kamu yang tega, Mas, bukan aku! Kamu pamer kemesraan dengan mantan istrimu itu tanpa memikirkan aku, sekarang setelah aku ingin pisah dari kamu, kamu gak mau. Kamu benar-benar laki-laki egois, Mas!""Maaf ya, Dek. Aku memang salah. Tolong jangan marah-marah seperti ini. Kamu sedang hamil lho, gak baik buat janin yang ada dalam kandunganmu." "Apa pedulimu melarangku marah-marah?""Jelas aku peduli karena aku suamimu!" pungkasnya lagi."Suami? Masih pantaskah kau disebut sebagai seorang suami?" Arini tersenyum sinis, pandangannya penuh dengan kem
Rasanya percuma terus berdebat dengan Mas Tiar. Dia takkan mau kalah, dia pun takkan mau pergi dari sini. Mungkin biar aku saja yang pergi. Dari awal tempatku memang bukan di sini.Kuhela nafas dalam-dalam. Ah kenapa dadaku rasanya sesak sekali, sakiiit. Kulihat keluar, hari sudah mulai gelap. Akan kupikirkan caranya nanti malam. Gegas menutup jendela yang masih terbuka agar nyamuk tak masuk. Aku masuk ke kamar ibu, beliau terlihat memejamkan matanya. "Bu, bangun, Bu. Hampir maghrib, jangan tidur, Bu." Aku menggoyangkan tubuh ibu agar dia terbangun. karena tidur menjelang maghrib tak baik untuk kesehatan.Ibu terkesiap kaget, dia menoleh ke kanan dan ke kiri mungkin belum sepenuhnya sadar. Dia beringsut untuk duduk. Aku hanya memandangnya saja. Rasanya tak rela meninggalkan ibu mertuaku dalam keadaan seperti ini. Aku sayang sama dia, tapi putranya hanya memanfaatkanku saja. Hidup memang sebuah pilihan, aku harus memilih walaupun itu berat."Ibu lapar? Aku ambilkan air minum dulu ya,
Perasaanku diliputi rasa khawatir usai menerima telepon dari mantan istriku. Aqilla sakit, badannya panas tinggi hingga kejang-kejang. Apa yang terjadi pada gadis mungilku? Aku sampai tak pedulikan Arini lagi. Aku yakin pasti Arini bertambah marah padaku. Tapi hal ini lebih darurat.Gegas kulajukan mobil menuju rumah kontrakan Elvina. Suasana malam, ramai dengan kendaraan membuat mobil ini tak bisa melaju dengan cepat.Aku turun dari mobil, Elvina sudah menungguku di teras. Dia terlihat begitu cemas. Beberapa kali dia menelepon tapi tak kugubris karena fokus menyetir. "Mas, kenapa kamu lama sekali?" sambutnya agak kesal. Wajah cantiknya ditekuk cemberut."Maaf El, tadi jalanan ramai sekali. Mana Aqilla?" tanyaku sekaligus mengalihkan pembicaraan."Ada di kamar. Ya sudah, cepetan Mas!" tukasnya.Segera aku menuju kamar Aqilla, putri mungilku itu tengah merintih kesakitan. Badannya benar-benar panas."Bukain pintu mobilnya, El.""Iya, Mas.""Kamu masuk dulu, biar Aqilla dipangku sama
"Mbak Arini bilang cuma mau beli obat sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang juga. Udah dari jam setengah delapan malam lho Mas. Aku hubungi nomornya gak aktif. Kasihan lho, Mas, mana lagi hamil, sendirian lagi!"Deg! Aku shock mendengar penuturan Mbak Ulfa. Arini pergi? Rasanya kok gak mungkin."Mas, Mas Tiar masih dengar aku kan?""Eh, i-iya, Mbak.""Tolong Mas Tiar pulang, ini ibu sendirian di rumah. Beliau nangis terus karena Mbak Arini belum pulang-pulang. Takut terjadi apa-apa katanya. Cepat pulang ya Mas, nih anakku udah nyusul kesini minta dikelonin.""I-iya Mbak. Aku pulang sekarang.""Eh, tunggu, Mas, ini ibu mas mau ngomong sebentar," timpal Mbak Ulfa lagi.Tak berapa lama terdengar suara ibu yang tengah menangis. "Hallo Tiar, kamu dimana, Nak?""Emmh ... Aku di rumah El, Bu." Rupanya mendengar jawabannya membuat ibuku meradang."Apaa? Kamu masih berhubungan sama mantanmu itu? Jadi benar ucapan Arini?! Dasar bodoh! Pulang sekarang, Tiar! Cari Arini sampai ketemu!""Maa
"Bagus ya, dua hari menghilang, ponsel gak aktif, pulang-pulang bawa seorang laki-laki? Wanita macam apa kamu?!"Deg! Aku yang baru pulang langsung disambut ocehan suami yang tak tahu diri itu. Aku hanya menatapnya nanar. "Jadi kamu sudah selingkuh di belakang aku? Apa ini yang kamu lakukan, Arini? Kamu gak malu sama pendidikanmu yang tinggi itu?! Kamu gak malu sama kerudung yang kamu pakai itu? Ternyata sikapmu lebih buruk dari pada sampah!" tukas Mas Tiar emosi.Ck! Sudah salah malah menuduhku sembarangan pula. Enak saja! Memangnya hanya mulutmu saja yang bisa berkata seperti itu?"Cukup, Mas! Hentikan omong kosongmu itu! Yang selingkuh bukan aku tapi kamu! Yang sampah itu kamu, bukan aku. Untuk menutupi kebusukanmu, kamu menuduhku? Enak saja!" sentakku lagi.Hampir saja Mas Tiar menamparku, tapi lelaki yang mengantarku pulang segera menghalaunya."Jangan pakai kekerasan begini, Mas. Tak baik, apalagi istri anda sedang hamil.""Siapa anda berani mencampuri urusan rumah tanggaku!" t
"Arini!! Tega kamu ninggalin aku kayak gini?! Arini ...!"Aaarrrggh ...! Rasanya geram sekali, Arini benar-benar pergi meninggalkanku. Kukepalkan tangan ke udara rasanya ingin kutonjok lagi wajah dokter yang sok kegantengan itu."Ada apa Mas?" tanya Mbak Ulfa menghampiriku. Beberapa orang sudah berkumpul sambil bisik-bisik tetangga. Mungkin mereka sudah melihat aksi labrakanku pada dokter muda itu. "Mbak lihat sendiri kan? Istriku pergi sama laki-laki lain. Dia berani main api di belakangku."Semua tampak terkejut mendengar penuturanku. Rasain saja kau Arini! Biar semua orang tahu kalau kamu memang perempuan murahan."Rasanya gak mungkin Mbak Arini begitu, Mas. Pasti ada kesalahpahaman, lebih baik dibicarakan lagi baik-baik Mas, aku yakin kok, mbak Arini gak pernah neko-neko.""Ya dulu dia memang polos, tapi sekarang sudah dicuci otaknya sama laki-laki sialan itu! Dia tega ninggalin aku sama ibu demi laki-laki itu."Kesal sekali dibuatnya, meski aku sudah menjelekkannya, mereka tak p
[Mas, ibu mas ngilang lho gak ada di kamarnya. Tadi pulang kondangan, aku langsung nengokin ibu mas, tapi beliau udah gak ada, gak ada yang tau kemana]Rasanya shock, benar-benar shock. Ibu menghilang? Lalu kemana? Ibu kan gak bisa jalan. Astaga! Duh, aku jadi orang ceroboh banget ya, gara-gara mabuk kepayang sampai lupa ibu sendiri di rumah. Ibu sendirian bagaimana cara ibu pergi?"Mas? Hei, Mas? Kok bengong sih? Kenapa wajahmu shock begitu?" Tangan Elvina dadah-dadah di depan wajahku."Kamu kenapa, Mas?" tanyanya lagi."El, aku harus pulang dulu. Aku harus cari ibu," jawabku panik."Lho memangnya ibu kemana?""Aku lupa ninggalin ibu sendirian El, sekarang ibu ngilang gak ada di rumahnya.""Jangan ngaco kamu, Mas! Kamu kata siapa?" "Ini kata Mbak Ulfa.""Memangnya kemarin kamu gak nitipin ibu ke tetangga?" tanya Elvina, keningnya berkerut tampak berpikir.Aku menggeleng pelan. "Mbak Ulfa kemarin berhalangan. Aku benar-benar lupa, El."Elvina terdiam, menatapku dengan tatapan entah.
"Aku tadi siang ke kantor kamu, ingin mengajakmu makan siang sama-sama. Tapi ternyata kantormu itu hampir gulung tikar! Hanya beberapa orang saja yang masih bekerja di sana. Sementara kamu?! Kamu kena PHK! Kenapa kamu bohong padaku, Mas? Kenapa?""El ...""Kamu mau ngomong apa, Mas? Mau ngomong kalau semua itu benar hmmm?" Rasanya benar-benar Emosi, Mas Tiar sudah membohongiku. "El, Maaf. Aku memang belum cerita semuanya sama kamu. Kamu selalu memotong pembicaraanku dan menggebu-gebu menceritakan yang lainnya. Aku cuma tak ingin kamu kecewa.""Dan sekarang aku sudah kecewa, Mas. Aku nyesel. Nyesel bisa rujuk lagi sama kamu!""Kok kamu ngomong gitu, El? Mana sikap manis yang kau tunjukkan kemarin-kemarin sampai pagi tadi?" Aku memalingkan wajah. Geram sekali dengan lelaki yang ada di hadapanku ini. Berani-beraninya dia berbohong padaku. Aku masuk ke dalam rumah, mengambil beberapa lembar bajunya."Nih silakan kamu pergi, Mas! Kembali saja pada ibumu yang lumpuh itu! Gak usah kesini