Share

Bab 8. Teman Lama

"Marisa? Iya aku Sandhyawan." 

"Kamu … terlihat sedikit berbeda, Mas." Marisa melangkah perlahan mendekati lelaki yang disapanya itu. 

"Kamu juga, Risa." 

"Tapi dalam artian bagus, kok," lanjut Sandhy dengan cepat. Dia tidak ingin Marisa salah paham dengan kata-katanya.  

Marisa tersenyum. Meski terlihat lebih kurus dan ada beberapa kerut samar di dahinya, tetapi wajah tampan Sandhy masih tersisa. "Sudah lama, ya, kita tidak bertemu?"

"Iya. Sekitar sepuluh tahun ya, Risa?"

"Dua belas tahun sejak Mas Sandhy lulus SMA lebih dulu."

"O iya betul. Kamu pasti sudah menikah, Ris. Berapa anakmu? Apa itu suami kamu?" Tatapan Sandhy terarah ke belakang punggung Marisa. 

Rian yang berdiri di belakang Marisa dengan kotak di tangannya balik menatap lelaki yang sedang mengobrol dengan sepupunya itu. Dia mengamati penampilan lelaki yang tampak seperti seniman itu dari atas sampai ke bawah. 

"O bukan. Ini kakak sepupuku. Mas Rian, kenalkan ini Mas Sandhy kakak kelasku waktu SMA," jawab Marisa, sambil tangannya menggamit lengan Rian. 

Sandhy tersenyum sambil mengulurkan tangannya. "Kenalkan, Saya Sandhy."

Rian  menyambut uluran tangan Sandhy dan menjabatnya dengan mantap. "Saya Rian."

"Mas Sandhy tinggal di Mojokerto?" Marisa kembali bertanya. 

"O anu … itu … tidak. Aku cuma ada urusan saja di sini." Wajah Sandhy melengos. Dia seperti menghindari tatapan mata Marisa.  "Kamu sendiri ada apa di sini? Tinggal di dekat sini?"

Marisa menunduk. Badannya kini tak lagi berdiri tegak. Salah satu kakinya bergantian menopang berat tubuhnya. Sekarang ganti Marisa yang salah tingkah dengan pertanyaan Sandhy itu. Meski sudah menduga akan mendapatkan pertanyaan sama, tetapi dia masih tidak siap untuk menjawabnya. 

"Marisa?"

"Eh iya, Mas Sandhy. Tidak … tidak … aku cuma kebetulan ada perlu di sini. Ya sudah aku duluan,  ya, Mas. Aku sudah ditunggu suami." 

Belum sempat Marisa beranjak meninggalkan teman lamanya itu, Sandhy mencegahnya. "O iya Risa. Boleh aku minta nomor ponsel kamu? Sekadar menjalin silaturahim aja, kok."

Marisa mengangguk dan menyebutkan sederet angka yang segera disimpan di ponsel Sandhy. "Itu aku sudah miscall nomorku. Tolong disimpan, Ris," pinta Sandhy. 

"Oke, Mas. Sekarang aku pamit, ya." Tanpa menunggu jawaban Sandhy, Marisa menggamit lengan Rian dan mengajaknya pergi. Rian mengangguk singkat sebelum mengikuti langkah cepat Marisa. 

Sambil berjalan tangan Rian merogoh saku celananya. Setelah menemukan kunci mobil yang dicarinya, Rian segera menekan tombolnya. Marisa pun masuk tanpa menunggu Rian yang harus meletakkan kotak berisi barang Irawan di bagasi mobil.

"Teman kamu itu seniman, ya?" tanya Rian, sambil memasang seat belt. 

"Entahlah, Mas. Dulu, sih dia suka nyanyi dan main gitar. Nulis lagu juga. Memangnya kenapa, Mas?"

"Gak ada apa-apa. Cuma penampilannya kayak seniman. Mungkin juga sekarang dia jadi penyanyi. Kan bisa aja dari hobi jadi profesi."

Marisa tidak menanggapi ucapan Rian. Matanya menatap ke depan dengan pandangan kosong. Dia tetap terdiam hingga mobil yang dikemudikan Rian meninggalkan halaman kantor polisi. 

"Bawa aku ke hotel, Mas!" 

"Apa?" teriak Rian. Dia takut salah mendengar ucapan lirih Marisa.

"A-aku tidak mau ke rumah sakit, Mas. Aku mau cari hotel." 

"Loh, kamu nggak mau temani suami kamu? Siapa tahu ada perkembangan." 

"Nanti saja, Mas. A-aku belum sanggup menatap wajahnya," bisik Marisa. Kepalanya tertunduk sambil dia memainkan jemarinya yang ada di pangkuan.

Rian menoleh. Untuk sesaat dia menatap Marisa yang menunduk di sampingnya. Dia tahu Marisa ingin menenangkan dirinya terlebih dahulu. Kesedihan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu membuatnya membutuhkan waktu untuk menyendiri. Apalagi sekarang wajahnya tampak pucat. Jadi, tidak ada salahnya kalau Marisa beristirahat lebih dulu di hotel 

"Oke, Ris. Sepertinya aku tadi melihat plang nama sebuah hotel tidak jauh dari rumah sakit. Kita ke sana dulu, ya." 

"Terserah, Mas. Hotel mana aja tidak penting sekarang. A-aku cuma butuh istirahat sebentar sebelum kembali ke rumah sakit." 

"Iya, Mas mengerti. Kamu tidak perlu menjelaskan lagi. Kamu memang perlu istirahat biar lebih tenang." 

Marisa terdiam hingga Rian membelokkan mobil memasuki halaman sebuah hotel.

"Single bed, Bu?" Resepsionis di depan Marisa bertanya dengan matanya melirik Rian yang berdiri di sebelah Marisa. 

"Iya," tukas Rian. Dia mengerti arti tatapan resepsionis yang mencurigai mereka.

"Saya minta tolong carikan kamar yang aman buat adik saya. Saya tidak bisa menjaganya, jadi pastikan dia tidak diganggu siapa pun selama tinggal di hotel ini." Rian berkata dengan tegas, karena dia sedikit khawatir wartawan infotainment masih mengejar Marisa.

"Baik, Pak. Jangan khawatir, semua tamu di hotel ini dijamin keamanannya." 

Rian mengangguk dan setelah menerima kunci, dia mengantar Marisa ke kamar. 

Marisa melangkah perlahan memasuki kamar yang lampunya sudah dinyalakan oleh Rian. Dia menuju kasur dan segera menghempaskan tubuhnya. Sementara itu Rian menuju jendela dan mengamati ke bawah. Di bawah sana, tampak pemandangan halaman hotel yang dipenuhi mobil dan jalan raya depan hotel yang cukup ramai lalu lintasnya.

Rian memutar tubuhnya dan menatap Marisa yang tampak lesu. "Kamu butuh sesuatu? Mau aku pesankan makanan apa?" 

"Aku tidak lapar, Mas." 

"Aku lapar. Kamu pun sebaiknya makan biar punya tenaga saat berjaga di rumah sakit." 

"Aku tidak selera, Mas." 

"Harus dipaksa, Risa. Kamu boleh sedih. Kamu juga boleh marah. Tapi kamu tidak boleh membuat dirimu sakit. Ingat ibumu, bukankah tadi suara tante terdengar sangat cemas? Jangan buat ibumu lebih mengkhawatirkan dirimu." 

"Ya sudah, Mas." Marisa mengalah. Dia terlalu lelah untuk berdebat. "Pesankan aku makanan ringan saja jangan nasi." 

Rian meraih daftar menu yang berada di meja dekat televisi dan menelepon untuk memesan makanan. Lalu, dia mengambil kursi dan menyeretnya ke hadapan Marisa. Dia menatap sepupunya itu yang masih menunduk. "Kamu jangan diam saja, Ris. Menangislah kalau kamu merasa sedih. Atau kamu mau marah, boleh. Jangan pendam di hati, nanti kamu semakin terbebani." 

"A-aku cuma tidak percaya Mas Irawan selingkuh. Apa salahku? Apa kekuranganku? Kenapa dia tidak bicara?"

"Kamu tidak salah. Suami kamu yang salah. Lelaki selingkuh itu bukan karena ada yang salah dalam diri istrinya. Lelaki selingkuh itu emang dia pengen selingkuh. Jadi jangan pernah merasa bersalah." 

Marisa diam saja mendengar ucapan Rian. Sudut pandang lelaki memang lebih mengedepankan logika daripada perasaan. Tidak mengerti perasaan seorang wanita yang mendadak berubah menjadi insecure ketika dikhianati. 

"Kamu nggak ngerti perasaanku, sih, Mas. 

"Mungkin aku memang nggak ngerti perasaan wanita, tapi sebagai lelaki aku lebih tahu isi kepala sesama lelaki." 

"Maksud Mas Rian ada lelaki yang tipenya tukang selingkuh dan ada yang tidak? Mas Rian sendiri tipe tukang selingkuh atau bukan? Dan kalau Mas Rian tahu kalau Mas Irawan tipe tukang selingkuh kenapa tidak memberitahu aku?" 

Comments (9)
goodnovel comment avatar
Jess
marisa ini anak kecil atau orang dewasa ya ?
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
longkap itu apa ya, Kak? loncat kah? Harus urut sih bacanya biar tidak melewatkan detail clue yang saya sisipkan. Terima kasih
goodnovel comment avatar
Icha Aisyah
ga bisa longkap halaman ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status