"Marisa? Iya aku Sandhyawan."
"Kamu … terlihat sedikit berbeda, Mas." Marisa melangkah perlahan mendekati lelaki yang disapanya itu.
"Kamu juga, Risa."
"Tapi dalam artian bagus, kok," lanjut Sandhy dengan cepat. Dia tidak ingin Marisa salah paham dengan kata-katanya.
Marisa tersenyum. Meski terlihat lebih kurus dan ada beberapa kerut samar di dahinya, tetapi wajah tampan Sandhy masih tersisa. "Sudah lama, ya, kita tidak bertemu?"
"Iya. Sekitar sepuluh tahun ya, Risa?"
"Dua belas tahun sejak Mas Sandhy lulus SMA lebih dulu."
"O iya betul. Kamu pasti sudah menikah, Ris. Berapa anakmu? Apa itu suami kamu?" Tatapan Sandhy terarah ke belakang punggung Marisa.
Rian yang berdiri di belakang Marisa dengan kotak di tangannya balik menatap lelaki yang sedang mengobrol dengan sepupunya itu. Dia mengamati penampilan lelaki yang tampak seperti seniman itu dari atas sampai ke bawah.
"O bukan. Ini kakak sepupuku. Mas Rian, kenalkan ini Mas Sandhy kakak kelasku waktu SMA," jawab Marisa, sambil tangannya menggamit lengan Rian.
Sandhy tersenyum sambil mengulurkan tangannya. "Kenalkan, Saya Sandhy."
Rian menyambut uluran tangan Sandhy dan menjabatnya dengan mantap. "Saya Rian."
"Mas Sandhy tinggal di Mojokerto?" Marisa kembali bertanya.
"O anu … itu … tidak. Aku cuma ada urusan saja di sini." Wajah Sandhy melengos. Dia seperti menghindari tatapan mata Marisa. "Kamu sendiri ada apa di sini? Tinggal di dekat sini?"
Marisa menunduk. Badannya kini tak lagi berdiri tegak. Salah satu kakinya bergantian menopang berat tubuhnya. Sekarang ganti Marisa yang salah tingkah dengan pertanyaan Sandhy itu. Meski sudah menduga akan mendapatkan pertanyaan sama, tetapi dia masih tidak siap untuk menjawabnya.
"Marisa?"
"Eh iya, Mas Sandhy. Tidak … tidak … aku cuma kebetulan ada perlu di sini. Ya sudah aku duluan, ya, Mas. Aku sudah ditunggu suami."
Belum sempat Marisa beranjak meninggalkan teman lamanya itu, Sandhy mencegahnya. "O iya Risa. Boleh aku minta nomor ponsel kamu? Sekadar menjalin silaturahim aja, kok."
Marisa mengangguk dan menyebutkan sederet angka yang segera disimpan di ponsel Sandhy. "Itu aku sudah miscall nomorku. Tolong disimpan, Ris," pinta Sandhy.
"Oke, Mas. Sekarang aku pamit, ya." Tanpa menunggu jawaban Sandhy, Marisa menggamit lengan Rian dan mengajaknya pergi. Rian mengangguk singkat sebelum mengikuti langkah cepat Marisa.
Sambil berjalan tangan Rian merogoh saku celananya. Setelah menemukan kunci mobil yang dicarinya, Rian segera menekan tombolnya. Marisa pun masuk tanpa menunggu Rian yang harus meletakkan kotak berisi barang Irawan di bagasi mobil.
"Teman kamu itu seniman, ya?" tanya Rian, sambil memasang seat belt.
"Entahlah, Mas. Dulu, sih dia suka nyanyi dan main gitar. Nulis lagu juga. Memangnya kenapa, Mas?"
"Gak ada apa-apa. Cuma penampilannya kayak seniman. Mungkin juga sekarang dia jadi penyanyi. Kan bisa aja dari hobi jadi profesi."
Marisa tidak menanggapi ucapan Rian. Matanya menatap ke depan dengan pandangan kosong. Dia tetap terdiam hingga mobil yang dikemudikan Rian meninggalkan halaman kantor polisi.
"Bawa aku ke hotel, Mas!"
"Apa?" teriak Rian. Dia takut salah mendengar ucapan lirih Marisa.
"A-aku tidak mau ke rumah sakit, Mas. Aku mau cari hotel."
"Loh, kamu nggak mau temani suami kamu? Siapa tahu ada perkembangan."
"Nanti saja, Mas. A-aku belum sanggup menatap wajahnya," bisik Marisa. Kepalanya tertunduk sambil dia memainkan jemarinya yang ada di pangkuan.
Rian menoleh. Untuk sesaat dia menatap Marisa yang menunduk di sampingnya. Dia tahu Marisa ingin menenangkan dirinya terlebih dahulu. Kesedihan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu membuatnya membutuhkan waktu untuk menyendiri. Apalagi sekarang wajahnya tampak pucat. Jadi, tidak ada salahnya kalau Marisa beristirahat lebih dulu di hotel
"Oke, Ris. Sepertinya aku tadi melihat plang nama sebuah hotel tidak jauh dari rumah sakit. Kita ke sana dulu, ya."
"Terserah, Mas. Hotel mana aja tidak penting sekarang. A-aku cuma butuh istirahat sebentar sebelum kembali ke rumah sakit."
"Iya, Mas mengerti. Kamu tidak perlu menjelaskan lagi. Kamu memang perlu istirahat biar lebih tenang."
Marisa terdiam hingga Rian membelokkan mobil memasuki halaman sebuah hotel.
"Single bed, Bu?" Resepsionis di depan Marisa bertanya dengan matanya melirik Rian yang berdiri di sebelah Marisa.
"Iya," tukas Rian. Dia mengerti arti tatapan resepsionis yang mencurigai mereka.
"Saya minta tolong carikan kamar yang aman buat adik saya. Saya tidak bisa menjaganya, jadi pastikan dia tidak diganggu siapa pun selama tinggal di hotel ini." Rian berkata dengan tegas, karena dia sedikit khawatir wartawan infotainment masih mengejar Marisa.
"Baik, Pak. Jangan khawatir, semua tamu di hotel ini dijamin keamanannya."
Rian mengangguk dan setelah menerima kunci, dia mengantar Marisa ke kamar.
Marisa melangkah perlahan memasuki kamar yang lampunya sudah dinyalakan oleh Rian. Dia menuju kasur dan segera menghempaskan tubuhnya. Sementara itu Rian menuju jendela dan mengamati ke bawah. Di bawah sana, tampak pemandangan halaman hotel yang dipenuhi mobil dan jalan raya depan hotel yang cukup ramai lalu lintasnya.
Rian memutar tubuhnya dan menatap Marisa yang tampak lesu. "Kamu butuh sesuatu? Mau aku pesankan makanan apa?"
"Aku tidak lapar, Mas."
"Aku lapar. Kamu pun sebaiknya makan biar punya tenaga saat berjaga di rumah sakit."
"Aku tidak selera, Mas."
"Harus dipaksa, Risa. Kamu boleh sedih. Kamu juga boleh marah. Tapi kamu tidak boleh membuat dirimu sakit. Ingat ibumu, bukankah tadi suara tante terdengar sangat cemas? Jangan buat ibumu lebih mengkhawatirkan dirimu."
"Ya sudah, Mas." Marisa mengalah. Dia terlalu lelah untuk berdebat. "Pesankan aku makanan ringan saja jangan nasi."
Rian meraih daftar menu yang berada di meja dekat televisi dan menelepon untuk memesan makanan. Lalu, dia mengambil kursi dan menyeretnya ke hadapan Marisa. Dia menatap sepupunya itu yang masih menunduk. "Kamu jangan diam saja, Ris. Menangislah kalau kamu merasa sedih. Atau kamu mau marah, boleh. Jangan pendam di hati, nanti kamu semakin terbebani."
"A-aku cuma tidak percaya Mas Irawan selingkuh. Apa salahku? Apa kekuranganku? Kenapa dia tidak bicara?"
"Kamu tidak salah. Suami kamu yang salah. Lelaki selingkuh itu bukan karena ada yang salah dalam diri istrinya. Lelaki selingkuh itu emang dia pengen selingkuh. Jadi jangan pernah merasa bersalah."
Marisa diam saja mendengar ucapan Rian. Sudut pandang lelaki memang lebih mengedepankan logika daripada perasaan. Tidak mengerti perasaan seorang wanita yang mendadak berubah menjadi insecure ketika dikhianati.
"Kamu nggak ngerti perasaanku, sih, Mas.
"Mungkin aku memang nggak ngerti perasaan wanita, tapi sebagai lelaki aku lebih tahu isi kepala sesama lelaki."
"Maksud Mas Rian ada lelaki yang tipenya tukang selingkuh dan ada yang tidak? Mas Rian sendiri tipe tukang selingkuh atau bukan? Dan kalau Mas Rian tahu kalau Mas Irawan tipe tukang selingkuh kenapa tidak memberitahu aku?"
"Kamu kok tanya seperti itu, sih, Ris?" "Jawab aja, Mas. Enggak perlu berbelit-belit!" sergah Marisa. Rian berdiri dari kursi dan berjalan mondar mandir di depan Marisa. Lelaki bertubuh sedikit berotot itu mendengkus. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang hitam tebal. Gestur tubuhnya jelas menunjukkan kata-kata Marisa yang sedikit kasar itu mengganggu hatinya.Kalau menuruti kata hati, Rian pasti segera memilih pulang kembali ke Surabaya dan membiarkan Marisa sendirian. Namun, logika mengalahkan perasaannya. Marisa butuh teman dan saat ini hanya dia yang bisa menemaninya. Emosi Marisa sekarang ini sedang tidak stabil dan dia butuh pelampiasan. Tentu saja Rian yang berada di dekatnya adalah sasaran yang empuk untuk menumpahkan kekesalan Marisa.Beberapa menit kemudian setelah mengatur napas dan mondar-mandir mengitari kamar hotel, Rian mulai tenang. Kemudian dia kembali duduk di hadapan Marisa. Dia menatap tajam Marisa sebelum berkata, "Aku abaikan kata-katamu yang menyalahkan aku.
"Marisa … Marisa … ada apa? Kenapa kamu berteriak? Marisaaa …." Rian yang baru sampai di depan pintu kamar hotel menjadi panik ketika mendengar teriakan Marisa. Dia menggedor pintu sambil memanggil nama Marisa. Namun, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam kamar. Rian semakin gelisah ketika sepupunya itu tidak juga membuka pintu kamar meski sudah digedor berulang kali. Merasa tak sabar, akhirnya Rian berlari menuju lift dan kembali ke lantai bawah. "Tolong … tolong buka kamar adik saya di kamar 510. Saya tadi keluar sebentar dan ketika balik ke kamar saya mendengar dia berteriak. Saya sudah gedor pintu dan memanggil namanya, tapi tidak ada reaksi. Tolong cepetan!" Resepsionis yang mendengar suara panik Rian segera bertindak cepat. Dia menghubungi housekeeping dan memintanya menuju kamar Marisa. Sementara Rian ditemani seorang satpam juga bergegas kembali ke kamar Marisa. Mereka berdua datang bersamaan dengan dua orang housekeeper. Petugas housekeeper laki-laki segera membuka pin
"Ayolah … Mas, kenapa kamu berdiri saja di situ? Apa kamu nggak pengen mendekati aku?" "Ini sudah hampir jam tujuh. Kita harus segera kembali ke Surabaya." "Sebentar lagi, Mas. Aku masih pengen di sini. Bisa berduaan dengan kamu selama beberapa hari itu sulit, loh. Makanya lingerie merah ini sengaja aku beli khusus untuk ketemu kamu, Mas. Lihat aku dong, Mas. Apa penampilanku ini tidak menggodamu?" Irawan menghentikan aktivitas berkemasnya dan menoleh ke ujung kasur. Di sandaran kasur ada beberapa bantal yang sengaja ditumpuk. Tampak seorang perempuan bertubuh sintal bersandar di tumpukan bantal itu. Rambut hitamnya sengaja diangkat dan dibiarkan tergerai di bantal untuk memperlihatkan leher jenjangnya. "Sini, dong, Mas," Perempuan itu kembali merayu. Dia membiarkan salah satu tali lingerie merahnya melorot hampir ke siku. Ulahnya itu dia lakukan dengan sengaja untuk mengumbar bahu mulusnya.Irawan menghembuskan napas dengan keras. Jakunnya naik turun melihat pemandangan itu.
"Suami sakit kok malah keluyuran! Sama lelaki lain pula. Istri macam apa kamu!" Marisa menoleh mencari sumber suara bentakan itu. Matanya bersirobok dengan mata nyalang seorang perempuan paruh baya model berpakaian terbaru dengan rambut disanggul. Marisa melangkah mendekat dan mengulurkan tangan ingin memberi salam perempuan yang berdandan ala sosialita itu. "Ma, kapan datang?" sapa Marisa dengan santunan.Namun, sopan santun Marisa tidak ada artinya. Perempuan paruh baya yang dia panggil Mama itu menepis tangan Marisa, "Tak perlu bekerja sok baik.""Bu!" tegur seorang lelaki dengan rambut sudah memutih semuanya yang berdiri agak jauh di belakang perempuan itu. Marisa menoleh lalu menemui lelaki itu. "Pa," sapanya. Kali ini tangannya tidak ditepis sehingga Marisa bisa mencium tangan lelaki yang dipanggilnya papa itu. "Sudah lama, Pa?" "Tidak, kok. Kami baru saja datang," jawab bapak mertua Marisa. "Dan menemukan anak kesayangan kami ditelantarkan oleh istrinya," sergah ibu mertu
"Bohong? Untuk apa saya bohong? Gak ada untungnya! Kalau Tante tidak percaya ya terserah aja. Tapi kalau mau buktikan omongan saya, Tante bisa tanya ke petugas di kantor polisi. Tante bisa minta penjelasan ke mereka, waktu kecelakaan Irawan ditemukan bersama siapa? Pasti mereka akan menjawab bersama selingkuhannya!" "Tidak mungkin! Anak saya tidak mungkin seperti itu!" "Tidak mungkin? Itu kan kata Tante. Kalau kata netizen beda lagi. Coba Tante cari berita infotainment yang lagi viral hari ini tentang kecelakaan itu." "Nah, kan, udah jelas kamu bohong. Mana ada kecelakaan masuk infotainment," ucap Bu Santi dengan nada tinggi. Wajah Bu Santi terlihat lega dan dia ganti mencibir Rian yang dianggapnya bohong “Bapak, Ibu tadi kan, saya sudah meminta kalian untuk tenang! Kenapa masih ribut? Ah sudahlah… saya panggil satpam saja!” Perawat tadi kembali menghampiri Rian dan Bu Santi. Sekali lagi dia melarang mereka membuat kerubutan. Namun, melihat kata-katanya diabaikan oleh Rian dan
"Mas Rian kok gitu, sih." Marisa memprotes ucapan sarkastik dari Rian. "Gitu gimana? Mas gak merasa gimana-gimana, kok. Kamu aja yang baper," sahut Rian dengan nada sedikit ketus. Marisa terdiam mendengar omelan Rian. Dia tidak mau menanggapi Rian yang sedang emosi. Marisa hanya menatap Rian dengan pandangan kesal. Melihat Marisa tidak menanggapi kekesalannya, Rian melanjutkan bertanya, "Terus kamu ke mari mau apa? Bukan mau ngomelin aku lagi, kan?" Marisa masih menatap Rian dengan tatapan kesal tanpa membalasnya. Dia sadar kakak sepupunya berhak marah. Jadi, Marisa mencoba tenang. Dia menarik napas sebelum kembali berbicara, "Maafkan Risa, Mas. Mungkin Risa tadi memang sudah keterlaluan. Tidak seharusnya Risa marah kepada Mas Rian yang sudah banyak membantu." Rian terdiam mendengarkan permintaan maaf Marisa. Dia mendengar ketulusan dalam nada suara adik sepupunya itu. Membuat Rian pun tidak tega terus memarahi Marisa. "Iya, gak apa-apa. Mas ngerti." Marisa tersenyum mendenga
"Konyol sekali pertanyaanmu itu, Ris. Untuk apa aku bercanda buat hal yang menyedihkan ini?" Sandhy menjawab dengan kesal. "Maaf, Mas. Aku nggak bermaksud bikin kamu kesal. Soalnya aku gak nyangka aja." Marisa menunduk dan tangannya memainkan tisu yang ada di meja. "Gak nyangka kalau aku punya istri tukang selingkuh? Gak nyangka kalau istriku itu pelakor yang mengganggu rumah tangga kamu, gitu?!" Suara Sandhy naik beberapa oktaf ketika mengatakan hal itu. Marisa tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Sandhy. Perlahan air mata menetes di kedua belah pipinya. Marisa tahu nada suara Sandhy yang tinggi itu bukan karena memarahinya. "Sama Risa, aku sendiri pun sampai sekarang belum percaya. Tapi aku bisa apa? Mau menyangkal juga percuma, toh dia ditemukan semobil berdua dengan lelaki lain. Tepatnya dengan suami orang lain." Ada kepedihan dalam suara Sandhy ketika dia melanjutkan perkataannya. "Andai waktu bisa kuputar, pasti aku tidak akan izinkan istriku pergi hari itu. Namu
"Apa? Kok bisa anakku mengenal kamu?" Bu Santi sudah mengganti nama panggilannya kepada Sandhy menjadi kamu. Berarti dia tak lagi berpura-pura melindungi Sandhy seperti tadi. Tatapan wanita itu mengamati Sandhy dari atas ke bawah dan ke atas lagi. Dia sayang tak percaya anaknya bisa mengenal seseorang seperti lelaki ini. Orang yang berpenampilan nyentrik layaknya seorang seniman. Tangan Sandhy mengepal di samping tubuhnya. Dia menatap dengan tatapan meremehkan dan senyum sinis dari Bu Santi. Baru kali ini ada orang yang menyepelekannya. Membuat dia kesal dan ingin membalas agar orang itu tidak membatasinya lagi. "O tidak, Bu. Anak Ibu tidak mengenal saya," jawab Sandhy dengan nada sopan yang dibuat-buat."Lho, gimana, sih. Tadi katanya kamu punya urusan dengan anak saya. Kok sekarang kamu bilang tidak kenal dengan anak saya?" cecar Bu Santi yang mulai kesal dengan Sandhy.Pak Hartawan yang sedari tadi hanya diam dan mengamati percakapan istri dan teman-temannya itu mulai tertarik.