Helloooo, Author mau menyapa para pembaca setia yang selalu nungguin kelanjutan cerita Akira dan Giselle. Terima kasih banget ya udah mau nungguin author selesaikan chapter per chapter dan mengikuti perjalanan mereka. Jangan lupa untuk dukung author yaa, Salam sayang, JJ
AKIRA Setelah Akira berbicara dengan lantang seperti itu, raut wajah mama berubah menjadi penuh kekhawatiran, sedangkan ayah tetap diam meskipun sesekali dia mengangguk hingga akhirnya menghela napas berat. Mama melihat tingkah ayah, dan secara refleks menenangkan suaminya tersebut. Mengusap punggungnya penuh dengan cinta kasih. Satu hal yang ingin Akira rasakan saat mengarungi bahtera rumah tangga bersama Giselle kelak. “Nak Giselle, apa kamu sudah mantap menerima permintaan Akira untuk mempersuntingmu?” tanya ayah dengan nada serius namun penuh perhatian kepada kekasih yang duduk di sampingnya itu dengan tegap dan gugup. Giselle mengangguk berkali-kali. “Iya, Om. Saya sudah yakin, Akira adalah pria terbaik yang pernah saya temui, dan… saya bahagia sekali waktu Akira menyampaikan keinginannya untuk menikahi saya,” jawab Giselle sungguh-sungguh. Mama diam-diam menyeka air matanya, sedangkan ayah terlihat puas dengan jawaban Giselle. Akina tersenyum lebar, sedangkan Damar terli
“Nanti aku ceritakan di tempatmu saja, sekalian kita matangkan informasi mengenai pengunduran dirimu untuk Diraja Sudibyo dan Kelana Sastrowilogo.” Akira akhirnya menyutujui untuk buka-bukaan terhadap Giselle. “Tapi jujur aja, sekarang aku cuma mau rebahan di lantai sambil istirahat sejenak, sepertinya kita dari pagi tuh full battle mode, Sayang. Mulai dari kantor, sampai waktu kita diskusi sama orangtuaku,” tutur Akira seraya menghela napas panjangnya. Giselle akhirnya luluh dan memutuskan untuk kembali berjalan di sisi Akira. “Iya sih, aku juga ngerasa capek tiba-tiba, sepertinya energiku tersedot habis setelah diinterogasi sama Tante Miyaki dan Om Aryanto,” ujar Giselle seraya terkekeh geli. Mereka kembali bergandengan tangan berdua, dan melintasi halaman parkir The Morning Mist, tempat mobil Pajero-nya terparkir dari tadi pagi. Semoga saja Leo nggak nyap-nyap ngomel karena mengambil tempat parkir untuk para pengguna kedai. Saat mereka berdua tiba di depan mobil, mereka be
GISELLE Kemarin setelah mereka rebahan dan ternyata tidur hingga satu jam, mereka bangun dengan perasaan lebih refreshed dan lebih tenang. Akira sempat mengeluh kalau punggungnya terasa sakit karena tidur di lantai, lalu bahu dan lengannya terasa sedikit kram karena menjadi bantal dadakan untuk kepala Giselle yang ikut rebahan di samping Akira. Tapi setelah mereka ‘tersadar’ dari power nap, Akira dan dirinya kembali bersama menyusun rencana dan menelepon tiga raksasa konglomerat muda generasi ketiga yang saat ini berhubungan dengan mereka. Danudihardjo Enterprise yang digawangi oleh Darius Danudihardjo dengan proyek mergernya. Diraja Sudibyo dengan proyek real estate yang saat ini dipegang oleh dirinya, dan yang terakhir adalah Kelana Sastrowilogo yang sedang dalam tahap penandatanganan kontrak untuk proyek energinya. Semuanya adalah konglomerat kelas paus yang memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Dan kini mereka akan membujuk mereka untuk pindah haluan dar
“Sejujurnya ini berita yang buruk bagi kami, Giselle,” ucap Diraja Sudibyo sambil menggelengkan kepalanya penuh kekecewaan.“Saya mengerti dengan keputusanmu sepenuhnya. Tapi di sisi lain, saya juga orang yang bertanggung jawab pada proyek ini. Kami sudah teken kontrak dengan The Converge untuk proyek marketing real estate yang sedang berjalan.” Diraja menghembuskan napasnya dengan berat.Tak lama dia berdecak kesal, “Teddy pengacau!” rutuknya tiba-tiba yang sontak membuat Giselle sedikit terperanjat dari kursinya.“Saya tahu kalau ini berita yang cukup mengejutkan untuk Pak Diraja, tapi saya tidak bisa bertahan dalam situasi seperti itu di kantor.” Giselle sekali lagi mencoba memberikan pengertian kepada sang konglomerat muda.
AKIRA Terakhir, mereka menunggu kedatangan Darius di Vong Kitchen. Hari ini dia datang sendiri tanpa Nero dan Raka yang ternyata sedang terbang untuk perjalanan bisnis ke Bali lalu bertolak ke Jepang untuk proyek real estate Joint Venture dengan Danudihardjo Enterprise. Giselle terlihat lebih rileks setelah kedua pertemuan sebelumnya yang memberikan sinyal positif untuk karir gadis itu untuk kedepannya. Dan yang Akira sukai dari para konglomerat muda yang mereka temui hari ini, semuanya sangat tepat waktu dan begitu menghargai waktu yang telah dijanjikan. Salah satu resep menjadi orang berhasil mungkin salah satunya terletak dengan bagaimana mereka menghargai waktunya dan juga waktu rekan bisnisnya. “Hei Akira, Giselle, apa kabar?” Darius tiba di meja mereka seorang diri sambil membawa satu buket bunga besar penuh yang terlihat begitu elegan dan mahal pastinya. Sepertinya bukan kelas Pasar Rawa Belong yang biasa dibeli untuk pemanis rumahnya atau sebagai buah tangan ketika berku
Dering ponsel di saku celananya begitu mengganggu sepanjang perjalanannya menuju rumah mamanya Giselle yang terletak di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru - Jakarta. “Kamu nggak mau angkat teleponnya?” Giselle yang tadinya sudah gugup seharian ini karena Akira mengiyakan ajakan mama Giselle untuk menemui mereka berdua, akhirnya terdistraksi juga dengan suara ponsel Aira yang bergetar sedari tadi. “Nanti saja, yang pasti ini bukan dari keluarga. Nada dering mereka aku setting berbeda,” jawab Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Oke kalau begitu,” ucap Giselle pasrah. “Akira… nanti kita bakal bicara apa sama Mama?” Tak lama Giselle bersuara, menyiratkan kekhawatiran yang dari tadi bergumul di dalam hatinya.
GISELLE Saat perjalanan pulang, ponsel Akira kembali berdering dan cukup membuat konsentrasi sang kekasih sedikit terbelah saat mengendarai mobil untuk mengantar Giselle kembali pulang dari rumah mamanya ke apartemennya. “Sayang, mending kita menepi dulu deh. Aku penasaran siapa itu yang dari tadi telepon kamu nggak putus-putus,” Giselle akhirnya gregetan dan meminta Akira untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengecek siapa yang menghubunginya malam-malam ini. Tak lama, mereka menepi dan mengecek ponselnya. “Hmm… Pak Hasan menghubungiku berkali-kali,” ujar Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Huh? Ngapain dia telepon kamu?” Giselle jadi ikut penasaran. Tak lama, ponsel Akira kembali berdering dan akhirnya pria itu mengangkatnya. “Pak Hasan,” ujar Akira dengan dingin, meskipun masih terdengar sedikit sopan. Giselle mencoba menganalisa apa pembicaraan mereka berdua. Kepalanya mendekat ke arah Akira, dan Akira yang menyadari sikap konyolnya tertawa tanpa suara sebe
Giselle tiba di sebuah gedung perkantoran besar di kawasan SCBD tempat di mana co-working space Mas Damar berada. Giselle berdiri di depan resepsionis sambil menunggu Mas Damar menjemput dirinya. Tak lama, Mas Damar datang dari dalam salah satu ruangan. Hari ini penampilan kakaknya terlihat casual dan santai, namun tetap terlihat rapi dan menawan. Khas gaya CEO muda perusahaan rintisan. “Giselle! Akhirnya kamu datang!” sapa Mas Damar dengan sumringah. “Kamu sudah sarapan belum? Mau sarapan dulu di bawah? Ada kafe di bawah dan croissant-nya juara,” tawarnya kepada Giselle penuh semangat. Ini merupakan sisi lain Mas Damar yang tidak Giselle kenal. Tapi sesungguhnya Giselle sangat menyukai sisi lain kakaknya yang hangat seperti ini. “Aku sudah sarapan tadi dari rumah. Tapi kalau Mas Damar ingin ke kafe itu ayo aku ikut aja,” Giselle menawarkan. “Oke, kita turun sebentar ya. Sekalian aku mau cek supply kopi di kafe tersebut. Ada keluhan atau nggak,” ujar sang kakak. Mereka tu