Richard menggeleng dengan wajah prihatin, menjawab pertanyaanku. Pasti wajahku saat ini terlihat menyedihkan dan putus asa sekali. Pertama kali harus menghadiri acara kebangsawanan setelah aku pindah ke istana, dan aku harus menghadirinya sendirian tanpa pendamping! “Aku akan berada di sana bersama dengan para mengawal yang lain.” Dia menunjuk pada satu ruang terbuka dengan jendela besar di depannya di mana aku bisa melihat beberapa pria dengan busana yang mirip dengan yang Richard kenakan duduk dan berdiri. Ada yang saling bercengkerama dengan suara rendah, ada pula yang hanya diam saja sambil memperhatikan. "Lalu aku? Aku akan sendirian di…." "Hei, chill." Chill?! Di saat seperti ini? Apa dia bercanda?! "Corrine tak bisa datang, tapi ada Lyn di dalam. Setidaknya ada satu orang yang kau kenal di sana, okay?
"Mungkin ini waktunya kau menyerah dan melepaskan pujaan hatimu." Pujaan hati? Lyn sedang curhat tentang orang yang dia taksir? Aku tersenyum kecil membayangkannya. Mungkin aku bisa mendekatinya dengan ini? Lagipula, aku harus berada di sini karena aku tak bisa ke mana - mana saat ini. Akan terasa aneh jika aku mendadak keluar dari bilik ini dan menyapa mereka, bukan? "Apakah menyerah ada dalam kamusku? Aku sudah menunggu Richard amat lama. Aku menunggu kegilaannya akan Arlaine mereda. Saat dia patah hati karena pertunangan kakakku, aku menghiburnya. Aku nyaris bersorak girang saat Arlaine pergi, akhirnya aku bisa memiliki Richard untukku sendiri. Tapi Nona kecil itu sudah terlanjur datang dan menyita segalanya." Jeda sebentar. "Dibandingkan Arlaine, Mira bukanlah tandingan. Aku hanya perlu bersabar sebentar lagi, dan dia akan kembali padaku. Seperti yang seh
Richard'sAda hal yang harus kulakukan malam ini atas perintah Pak Tua. Hal yang cukup penting dan rahasia. Namun, aku tak bisa berkonsentrasi dengan baik. Selalu saja pikiranku kembali dan hanya kembali pada Mira; bibirnya yang bergetar, kedua matanya yang berkaca - kaca dan memancarkan kesedihan dan dadanya yang naik turun karena tarikan nafasnya yang tak beraturan. Semua itu adalah gambaran yang kudapat sebelum Mira mendorongku kuat dan membanting pintu kamar mandi di depan wajahku.Dan tak berhenti sampai di situ, aku malah dengan pengecutnya pergi dari sana dan menghindari Mira untuk makan malam. Ya, aku belum menemuinya lagi sejak tadi petang. Aku menelan ludah gusar dan sekali lagi mengusak rambutku yang sudah sedikit panjang akhir - akhir ini. Berusaha mengenyahkan Mira sebentar dari kepalaku karena aku harus menyelesaikan apa yang menjadi tugasku sekarang. Ponsel yang kuletakkan di meja nakas kini berdering. Dari tempatku yang sedang bersandar di kepala ranjang dengan hanya
Richard'sSuara pelan dan ragu - ragu itu menyapa telingaku, seketika membuat jantungku berdetak kencang dan tubuhku memberikan reaksi yang aneh. Teman kecil di bawah sana yang sempat tertidur setelah beberapa saat lalu mati - matian kutenangkan kini bangkit kembali dengan kebutuhan yang lebih menuntut daripada sebelumnya.Aku berdiri dan berbalik menghadap gadis mungil dengan pipi dan hidung merah yang menggunakan mantel tebal di atas piyama tidurnya. Dengan sebelah tangan, aku menutup bagian tengah tubuhku yang semakin memberontak ingin mengambil alih kontrol diriku. Dengan rambut tergerai sedikit berantakan terkena angin malam dan beberapa anak rambut yang membingkai wajahnya, gadi itu terlihat luar biasa syurgawi. Rasanya seperti dia tak seharusnya berada di bumi."Mira." Aku berdehem saat suaraku pecah, dan mengulanginya sekali lagi. "Mira. Kau belum tidur? Ini sudah amat malam."Gadis itu berkedip. Matanya sayu, jelas antara sudah mengantuk, atau malah dia baru bangun tidur. Bib
Aku bangun terlambat pagi ini. Wajar saja, semalam aku tidur menjelang subuh. Wajahku seketika memerah saat mengingat apa yang terjadi semalam.“Dieu, apa yang kulakukan.” Memang terdengar seperti kalimat penyesalan, tapi apa yang tergambar di wajahku adalah kebalikannya. Rona bahagia dan mata yang berninar ini sama sekali bukan ekspresi dari orang yang sedang menyesal.Madam Marceu belum masuk ke kamarku. Aku bangun sendiri dan bersiap sendiri kali ini. Bukan masalah besar. Aku tak memiliki jadwal apa pun hari ini sampai nanti sore, yang merupakan evaluasi dari acara minum teh yang kuhadiri kemarin.Aku menyisir rambutku ke belakang dan membiarkannya tergerai. Akhir-akhir ini, gaya rambut seperti ini yang aku suka. Jadi aku membiarkannya seperti ini. Setelah selesai bersiap dan yakin aku cukup ‘layak’ untuk keluar dari kamar, aku beranjak keluar dari kamarku. “Aneh, kenapa Madam Marceu belum kemari? Biasanya jilka aku belum bangun sampai jam segini, dia akan membangunkanku dan memba
***Jamuan yang dimaksud oleh Madam Marceu ternyata adalah jamuan dari partai perdana menteri. Aku tak tahu banyak tentang politik. Juga tak tertarik untuk memperdalamnya. Yang aku tahu adalah, untuk menjadi warga negara yang baik, cukup kita melaksanakan kewajiban kita sebagaimana mestinya warga negara. Mama yang mengajarkan hal itu padaku. Sebagai hasilnya, aku tak pernah mau terlibat dalam ruang lingkup organisasi maupun badan apa pun selama hidupku.Dan yang tak kutahu karena ketakmauanku mencari tahu adalah, bahwa perdana menteri berasal dari partai oposisi yang kedudukannya cukup diperhitungkan oleh kerajaan. Mereka adalah orang - orang yang pro dengan kudeta dan pemberontakan, serta gebrakan yang terlalu ekstrim tanpa memikirkan konsekuensinya. Dan baru aku tahu juga bahwa Putra Mahkota terdahulu dan sepupu Madame Villich yang dikenal cukup ambisius ingin naik tahta kerajaan adalah beberapa orang yang tergabung dalam partai tersebut.Aku juga baru tahu da
Richard’s Aku berlari mengejar Mira yang sudah melesat pergi menuju bangunan utama istana setelah mendengar kabar yang dibawa Cedric. Pak Tua collapsed. Ini bukan kabar yang baik. Fisik Pak Tua selalu dalam keadaan yang prima. Pria itu mungkin memang cacat secara fisik, tapi ketahanan fisiknya luar biasa. Dan sekarang collapse. Kelelahan kah? Atau karena apa? Mira sudah sampai di depan pintu kamar Pak Tua dan bersiap mendorongnya. Aku memelankan laju lariku menjadi hanya berjalan saat memasuki kamar Pak Tua. Aku menoleh saat Cedric juga sampai di sana. Aku tak memperhatikan apa pun lagi setelah aku mengejar Mira. Apakah yang di ruangan tersebut ikut mengejar kami, atau tidak. Lagipula, tak ada bedanya bagiku. Mira berlutut di samping ranjang di mana Pak Tua kini berbaring. Matanya terpejam dan dadanya masih bergerak naik turun meskipun pelan, menandakan bahwa dia masih bernafas. Masih hidup. Di tepi ranjang yang lain, Dokter Giussep masi
“Kelelahan. Over fatigue. Serangan ini sebenarnya adalah hal bagus, karena ini menyelamatkannya dari serangan yang lebih parah.” “Lebih parah?” Mira bertanya dengan suara kecil. Menyela penjelasan dokter Giusseph. Dokter tua itu mengangguk. “Dia bisa saja terkena serangan jantung, dan akan kecil kemungkinannya untuk menyelamatkannya.” Aku menoleh ke samping saat mendengar suara kesiap kecil namun jelas. Mira. Wajahnya sudah pucat tak berwarna. Namun dia tak menangis. Saat ini, kami semua sudah berkumpul di kamar Pak Tua. Aku, Cedric, Mira, Corrine, Milguetta dan ada satu orang lagi yang merupakan sekretaris kerajaan. Seseorang peninggalan ratu terdahulu yang dibiarkan Pak Tua tetap berada di sekitarnya untuk membantu Cedric. “Lalu… lalu bagaimana…” Dokter Guisseph mengangguk pada pertanyaan Milguitta. Meskipun statusnya bukan adik kandung dan hanya adik ipar, tapi bagi keluarga Giusseph, Milguetta sudah seperti keluarga sendiri. Madame Louisa juga sudah menganggap perempuan itu