Lagi - lagi aku terbangun dengan semua hal berwarna putih mengambang di sekitarku. Ini seperti familiar. Tapi aku tak bisa mengingat apapun. Hanya terasa seperti Deja Vu untukku.
Aku bangun dan berdiri. Kulihat diriku memakai terusan putih polos dengan kaki telanjang. Elemen yang terinjak di bawah kakiku terasa lembut seperti campuran kapas dan belaian ombak laut yang berbuih.
“Ini di mana?” Aku bertanya, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku.
Aku memegang tenggorokanku agak panik. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku melihat banyak darah di atas selimutku. Apakah itu darahku? Apa artinya aku sudah….
Sungguh, ini terasa amat familiar. Tapi aku tak bisa mengingat kapan, di mana dan dengan siapa aku mengalami semua ini.
Kesadaranku mulai pulih samar - samar. Mataku masih ingin menutup. Di sini terlalu silau dan bising. Tapi mereka belum membiarkanku tertidur lagi. Setiap kali aku memejamkan mata, selalu ada orang yang memanggil dan menepuk pelan pipiku. “Mademoiselle, jangan tidur dulu. Sebentar lagi, Okay?” Suara feminin itu memerintahkan dengan lembut sekaligus tegas di saat yang bersamaan. Aku ingin menjawab. Tapi sesuatu tertanam di mulutku, membuatku susah untuk melakukan hal yang lain selain bernafas dengan teratur dari sana. Mereka masih membicarakan sesuatu, yang aku yakin pasti tentang diriku, tapi aku tak dapat menangkap apapun untuk kupahami. Otakku masih amat berkabut. Yang kuinginkan saat ini hanyalah tidur. Karena badanku terasa luar biasa lelah. Sete
Richard's Gaung sepi menyambutku setelah amarahku sedikit reda. Semua mata yang ada di lorong menatapku dengan tatapan kaget dan menegur. Lalu ada Corrine yang duduk tegak mematung di tempatnya tadi, dengan wajah tertunduk dan tangan mengait satu sama lain di atas pangkuannya. Aku tahu perkataanku tadi pasti menyinggungnya, tapi, daipub harus tahu bahwa dia melakukan hal yang sama padaku. Tak mudah bagiku untuk tak menyalahkan diriku sendiri saat sesuatu terjadi pada Mira. Saat mendengar bisik - bisik para tenaga medis tadi bahwa mereka sempat kehilangan Mira dan setelah kembali, dia terjebak lagi dalam keadaan kritis, semua ketakutan yang paling menakutkan yang tak pernah aku alami dalam hidupku seperti diperlihatkan di depan mataku. Hari - hari tanoa Mira, tanpa mendengar suaranya, tanpa melihat sosoknya, semua itu seoerti mencengkeram jantungku dan seakan
Richard’s Selama Mira dirawat di dalam sana, aku belum pernah menemuinya. Selain melihat keadaannya dari bingkai kaca kotak yang ada di dekat pintu kamar rawatnya, aku tak pernah masuk sendiri ke dalam sana. Baru Madame Louisa, Pak Tua dan Madame Milguetta yang menjenguk Mira ke dalam. Melihat keadaannya di dalam sana membuat hatiku terasa amat sakit. Tubuh kurusnya terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Tubuhnya tersambung banyak kabel untuk menunjang kehidupannya. Selang oksigen di hidungnya, respirator dari mulutnya, oximeter di ujung jarinya dan bahkan kateter untuk menampung metabolismenya. Di samping ranjangnya beberapa suster dan dokter Giuseppe berdiri. Berdiskusi mengenai sesuatu yang tak bisa kami dengar ataupun kami mengerti. Hari ini Mereka bilang Mira akan dioperasi. Tindakan ini ta
Richard's Operasi Mira sudah selesai. Mereka bilang, itu berhasil. Tapi Mira belum sadarkan diri hingga sekarang. Mereka bilang, Mira kembali memasuki fase koma. Keadaannya tersebut membuat suasana sunyi dan tegang yang kami rasakan sejak Mira datang ke sini semakin terasa. Terlebih bagiku. Sudah tiga atau empat hari yang lalu terhitung sejak aku terakhir kali melihat wajahnya. Aku bahkan tak bisa menghitung hari. Rasanya sudah seperti satu abad saja sejak mimpi buruk ini dimulai, dan aku masih belum bisa melihat titik terang yang menjadi akhir dari semua ini. Rasanya mengerikan menjalani hari - hari tanpa Mira. Aku merasa, dia yang memusuhi dan marah - marah padaku terasa lebih baik daripada dia yang tak bergerak di atas brankar rumah sakit begini.
Richard’s Cedric harus cuti dan pulang ke rumah karena istrinya akan melahirkan. Aku pernah ingat dia bilang kalau istrinya hamil lagi, tapi karena banyak hal yang terjadi akhir - akhir ini, semuanya jadi terasa kabur bagiku selain Mira. Terasa lucu, tapi itu yang sebenarnya terjadi. Kepalaku penuh dengan Mira, Mira dan Mira saja. Perasaan yang timbul pun beragam saat aku mengingatnya. Tapi kebanyakan adalah putus asa. Terlebih karena sekarang Cedric cuti, maka aku harus menggantikan tugasnya untuk mengawal Pak Tua melakukan tugas kerajaannya. Bukan hal yang susah. Aku beberapa kali melakukannya dulu bergantian dengan Cedric. Tapi karena Mira sedang dalam keadaan yang tak pasti antara hidup dan mati, hal ini jadi dua kali lebih sulit bagiku. Aku harus memaksa diriku untuk amat fokus agar pekerjaanku tak ada
Richard's "Apa kau mengira bahwa aku akan melarangmu mendekati Mira jika tahu perasaanmu padanya?" Aku sedikit tergagap, tak menyangka akan langsung ditanya seperti ini oleh Pak Tua. Meskipun jika memang demikian yang dia inginkan, sudah pasti aku tak dapat berbuat apa - apa. Aku tak suka, membayangkan saja rasanya mengerikan, tapi aku tak bisa berbuat apapun untuk itu. "Apakah aku pernah menjauhkanmu dari Arlaine meskipun aku tahu sejak awal bahwa perasaanmu padanya bukanlah perasaan sayang seorang sahabat seperti yang kau kira?" Wajahku memerah. Tak tahu lagi harus berkata apa. Rasanya seperti tertangkap basah sedang melakukan sesuatu yang memalukan. Karena tak bisa berkata apapun lagi, akhirnya aku hanya menunduk sambil menggumamkan kata maaf dengan pelan. Bersama Pak Tua Gouireille, rasanya aku seperti kembali menjadi Richard yang berumur 8 tahun, saat pe
Dua hari berlalu sejak aku bangun. Pola tidurku sudah kembali normal, paling tidak, saat aku bangun, tak ada lagi bagian tubuhku yang terasa kesemutan. Dan nyeri di dada bagian luar, aku sangat hafal nyeri dada bagian dalam yang biasanya kurasakan saat aku kambuh, nyeri itu juga sedikit mereda. Tak begitu menyengat seperti saat pertama kali aku merasakan keberadaannya dulu. Granny Louisa bergantian dengan Corrine dan Tante Milguetta menjagaku di rumah sakit. Sungguh, aku amat membenci tempat ini. Daddy tak terlihat di manapun. Dia juga tidak. Benar, yang kumaksud adalah Richard. Meskipun ketiga perempuan itu selalu menyenangkan saat menemaniku; mengajakku mengobrol, membicarakan hal - hal ringan yang terjadi selama aku tak sadarkan diri dan lain sebagainya, tapi anehnya, orang yang paling ingin kutemui saat ini adalah Richard.
Pemandangan lainnya di dalam kamar ini mengabur seketika. Hanya pria itu yang aku lihat. Dia datang dengan memakai setelan jas hitamnya. Sudah lama sejak aku melihatnya dalam balutan seragam resminya. Sejak July lalu, dia lebih sering menggunakan pakaian kasual saat bersama denganku. Aku terbiasa dengan dia yang hanya memakai kaus, kemeja denim sebagai outer dan celana jeans belel. Bukan berarti aku tak suka melihatnya dengan pakaian seperti ini. Tentu saja he looks good in a suit. Jas dan celana bahan yang dipakainya menegaskan betapa lebar bahunya dan betapa jenjang kakinya. Posisiku yang berbaring sedikit tinggi tapi belum bisa dikatakan duduk ini membuat ku bisa melihatnya dengan lebih leluasa. Mataku melahap sosoknya seperti gelandangan melahap makanan pertamanya setelah kelaparan selama berhari - hari. Aku baru saja akan membuka mulutku untuk memanggil