Share

Kesetiaan

Suara gaungan ular besi terdengar jelas di telinga Asih. Beberapa penumpang segera mengangkat bokongnya dan beranjak meninggalkan stasiun. Asih masih tetap duduk di ruang tunggu sedari dua jam yang lalu.

Para calon penumpang datang dan pergi. Entah sudah ganti berapa orang yang duduk di sekitarnya. Hanya ia yang masih tetap di sana. Dengan stastus menjemput tetapi tak jelas yang di tunggu.

Waktu berputar terus. Hingga tak terasa Asih tetap melakukan ini meski sudah di terimanya surat dari Harun kala itu. Surat yang mengabarkan berakhirnya hubungan mereka.

Gadis desa itu tampak sudah mulai lelah. Di keluarkan nafas berat berkali-kali. Meski ia harus menerima perasaan hancur seperti biasa. Pulang tanpa kabar angin pun dari kekasihnya yang telah mengakhiri hubungan secara sepihak.

Wajah ayunya menyapa satu persatu petugas stasiun yang kebetulan berpapasan. Senyum dan sikap santun ia lemparkan. Beberapa ikut merasakan kepedihan yang di alami gadis yang teramat setia, namun yang lainnya justru mengatakan betapa gobloknya anak perawan mak Ram.

Mantuk, Mbak?” Petugas parkir menyapa dengan haru. Setiap hari selalu seperti itu. Menatapnya dengan sendu.

Inggih, Pak,” Di anggukkan kepalanya sembari menerima sepeda dari pak Parno yang bertugas sebagai penjaga parkir.

Monggo.”Asih memberi hormat lagi sebelum meninggalkan pak Parno, laki-laki yang seusia dengan bapaknya.

Punggung Asih semakin menjauh. Meninggalkan hiruk pikuk stasiun yang tak pernah tidur.

Di susuri jalanan kota Ledre yang kian hari kian ramai. Sudah dua tahun sejak surat terakhir yang ia kirimkan melayang. Hingga kini tak ada jawaban. Juga ia tak kunjung datang.

Sepanjang jalan pikirannya berkecamuk. Kemana perginya Harun. Apakah sudah menikah atau kemana? Genap dua tahun sudah ia setiap hari mendatangi stasiun tua tengah kota dan berharap kekasihnya datang. Namun, sekalipun ia tak datang.

Terus di kayuh sepeda ontelnya. Jeglongan Sewu kini tak separah dulu. Meski tetap saja masih banyak jeglongan. Tulisan Bupatiku Ayu, Camatku Ganteng tapi Dalanku Elek, kini sudah tak ada lagi di sepanjang jalan seperti dulu. Sekarang tergantikan spanduk iklan atau poster-poster kampanye wakil rakyat yang mencoba merayu.

Debu beterbangan dimana-mana. Mereka yang melintas sering menjuluki Saljo Jowo. Namun senyum manis itu tetap mampu keluar dari bibir mungil Asih. “Bener dugaanku, Kang. Awakmu ngapusi. Nyatane, awakmu gak wani muleh nemui aku.” Asih merasa menang. Dugaannya seolah benar. Harun tak pulang. Harun berbohong. Harun masih mencintainya.

***

Pagi ini berkabut. Awan hitam tampak bergelayutan. Asih mengeluarkan napas keresahan. Wajahnya tampak begitu tak tenang sembari tetap mengupas pisang raja yang akan di olah menjadi jajanan khas kota yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah.

Wes rampung, Nduk?” Suara mak Ram membuyarkan lamunan. Ia segera begegas. Berusaha menghilangkan wajah keresahan.

Di bawanya baskom berisi pisang yang telah di suir-suir. Ia mendekat mak Ram. Duduk di depan tungku perapian. Wajan baja di depanya telah mengeluarkan asap panas. Mak Ram segera mengoles wajan dengan cairan berwarna putih.

Asih bangkit dan meninggalkan emaknya. Membereskan peralatan kotor. Menata peralatan yang telah ia cuci. Dan menyapu dapur.

Mak Ram menatap dari jauh. Rambut hitam dan panjang serta wajah oval yang putih bersih menambahkan kecantikan Asih. Mak Ram menatap anak perawannya dengan rasa bersalah. Seoalah dialah yang menjadikan anaknya seperti ini. Menunggu seseorang dengan tidak pasti.

Mak, Asih mangkat kuliah luwh awal, geh?!” Ia menyadari bahwa emaknya sedari tadi memperhatikan.

Lha kenopo? Opo mlebu isuk to?” Tangan mak Ram masih dengan lihai menggulung lembaran yang masih panas.

Hening. Tak ada jawaban. Asih ingin menjawabnya, namun begitu ragu.

Mau mampir ndek staisun?” Pertanyaan emak begitu mengagetkan. Matanya tebelalak. Asih tak lagi bisa menyembunyikan kekagetannya.

Asih menunduk. Di anggukkan kepalanya. Mata indah itu menatap ke bawah. Tak berani memandang emaknya yang sedari dulu membesarkan ia seorang diri.

Yawis, budalo.” Lagi, Asih kaget di buatnya. Biasanya emak selalu melarang ia pergi ke stasiun, menjemput kekasihnya tanpa pasti kapan akan datang.

Wajahnya berbinar. Tak lagi ia sembunyikan. Di rangkulnya emak dengan erat. Bulir bening keluar dari pelupuk mata gadis yang kini beranjak dua puluh tiga.

Dengan penuh semangat berbekal restu dari emak, Asih menggenjot sepedanya. Setumpuk buku yang telah ia masukkan ke dalam tas buatan sendiri, ia masukkan ke dalam keranjang depan sepeda.

Sepanjang jalan, bibir mungil dan merah milik Asih tersenyum. Tampak jelas kebahagiaan disana. Orang-orang memandangnya kaget. Asih yang biasanya pergi ke stasiun dengan buru-buru dan pulang dengan wajah sendu yang tetap di tutupi dengan senyum manis yang ia buat-buat, kini berbebda.

Sugeng enjing, Pak” Di sapanya petugas parkir langganannya di stasiun.

Sugeng enjing, Mbak. Lha kok isuk temen to?” Pak Parno menyambut sepedanya dengan senyum sumringah seolah ikut merasakan kebahagian yang terpancar di wajah Asih.

Enjih, Pak. Mengke langsung mangkat kuliah,” Di tariknya tas itu dari keranjang sepeda.

Nitip geh, Pak.” Asih berpamitan dan segera meninggalkan pak Parno yang masih keheranan.

Hari ini stasiun tidak seramai biasanya. Matanya celingukan mencari bangku kosong di ruang tunggu. Namun nihil. Tak ada bangku kosong.

Dunia terasa berhenti. Aliran darah di rasa juga berhenti berdesir. Detak jantungnya mendadak sesak. Matanya menangkap sosok pemuda yang sedari tadi menatapnya. Wajah yang begitu ia kenali. Wajah yang bertahun-tahun ia tunggu di sini. Wajah yang begitu ia rindukan.

Tak ada pergerakan dalam diri Asih. Tubuh yang kini tinggi semampai mematung tak percaya. Pemuda itu kini berjalan mendekat. Tubunya yang tinggi. Kulitnya yang tetap bersih. Rahangnya yang kini tampak mengeras tak seperti dulu.

Sugeng enjing, cah ayu” Suara berat itu terdengar bergetar. Matanya menatap tajam. Seolah ingin masuk ke dalam dan menyelami samudra kerinduan Asih.

Sugeng enjing, Kang” Suara Asih begitu tenang meski matanya menitikkan air mata dan menatap Harun tajam. Tampak jelas di sana bahwa Asih ingin segera menumpahkan tangis kerinduan di dada bidang pemuda yang kini jauh lebih tinggi darinya.

Semua terasa bisu. Tak ada suara gaungan kereta. Tak ada lagu Pinarak Bojonegoro. Tak ada lalu lalang para calon penumpang.

Asih, cah ayu, Renjanaku. Jangan menangis. Aku tak sanggup menatapmu. Harun masih diam membeku. Ingin di rengkuh gadis manis di depannya. Namun di urungkan karena ingat tujuannya. Asih, cah ayu, Renjanaku, maafkan aku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status