“Terserah kalian aja. Yang penting, jangan ada korban lagi dan ilmu itu harus enyah dari keluarga besar kita,”ucap Pak Lana sembari geleng-geleng.
Bertiga membahas langkah apa saja yang harus dilakukan untuk menyingkirkan ilmu leak dari silsilah keluarga besar. Sebenarnya, keluarga Pak Lana bukan termasuk keluarga besar keturunan Dadong Canangsari, berhubung proses penitisan ilmu telah dirusak oleh Ni Kesumasari, akhirnya ilmu bisa ke mana saja tanpa diketahui jejaknya.
Hal tersebut bisa jadi ancaman bagi semua orang yang terhubung secara garis keluarga maupun tidak. Tak lama kemudian, Pak Lana berpamitan kepada keduanya akan ke toilet. Ningsih membuka laman facebook lalu memperlihatkan kepada sang adik.
“Lalu ini siapa, Suri?”
“Entar tyang beresin Mbok.”
“Berarti, kamu udah tau, siapa dia?”
“Ini jiwa murni Mbok Yan yang tersisih dari tubuhnya sekarang.”
“Pake tubu
“Cang gedeg jak ci! Cang sube ngomong. Pesu! Pesu! Sing nyak pesu. Alih tongos len!”(“Saya marah pada kamu! Saya sudah ngomong. Keluar! Keluar! Tak mau keluar. Cari tempat lain!”Susuk magis telah habis terbakar bersama lantunan mantra terucap dari mulut Wayan Suri. Kepulan asap kehitaman keluar dari kepala Ni Kesumasari. Mata wanita itu terpejam dan dari mulutnya terdengar rintih kesakitan.“Bang Deni, Mbok Ning laksanakan tugas kalian. Tyang bantu pegang Mbok Yan,” ucap Wayan Suri sambil duduk di samping tubuh Ni Kesumasari yang pingsan. Bang Deni dan Ningsih bergantian ambil wudu lalu bersiap di dekat pembaringan.“Bismillāhir raḥmānir raḥīm ....”Bang Deni dan Ningsih membaca ayat-ayat Al-Quran berbarengan. Tubuh Ni Kesumasari yang pingsan terlihat bergerak, menggeliat.
Bang Deni sangat berharap Ni Kesumasari tak jadi dioperasi. Tak jauh beda harapan calon sepupunya—Ningsih—memperkirakan bahwa gumpalan darah kehitaman dengan tampilan aneh yang keluar barusan adalah penyakit atau apa pun itu, beberapa hari terakhir telah menggerogoti tubuh Mbok Yan.Kini, mereka tinggal menunggu wanita bergamis putih yang sedang terbaring lemah hingga siuman. Di saat semua orang sedang asik dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba dikejutkan bunyi dering dari ponsel Wayan Suri.Ia pun segera mengambil benda pipih itu dari meja. Di layar ponsel tertera sebuah nomor kontak yang ia hubungi sesaat sebelum sembahyang tadi. Wanita berparas khas Bali ini tak segera mengangkat panggilan masuk tersebut. Tampak sekali, keraguan di raut wajahnya.Wanita beralis tebal itu tahu persis bahwa roh wanita yang ditelepon tadi telah menyatu ke dalam tubuh Ni Kesumasari yang sedang terbaring lemah. Ia sibuk berpi
“Oh, ya? Vitamin apaan? Heh!” balas Wayan Suri menyambar alat tersebut. Begitu jarum suntik itu berhasil direbut, seketika perawat itu lenyap bersamaan dengan datangnya asap putih dan angin keras yang berembus. Ningsih segera mendekap tubuh Ni Kesumasari. Bang Deni yang menyaksikan hal barusan langsung beristighfar. Sedangkan Wayan Suri masih berdiri di tempat semula sambil mematahkan alat itu. “Benar-benar setan jahanam. Masih aja gangguin lagi,”ucap Wayan Suri sembari melangkah mendekati meja lalu membakar jarum suntik di dalam wadah. “Itu tadi isi apaan?” tanya Bang Deni sambil melihat ke dalam wadah. “Itu racun, Bang. Untuk merogoh sukma. Bagian dari ilmu setan, bahaya buat Mbok Yan.” Bang Deni yang mendengar penjelasan dari Wayan Suri tampak terkejut. Pria ini sangat kagum dengan kelihaian wanita muda di sebelahnya. Ia makin kagum dengan kebersamaan keluarga
“Mbok, ‘sesuatu itu' udah di sini. Ngerasain, gak?” tanya Wayan Suri lirih, sambil menunjuk atas. Ia tak ingin sopir taksi mendengarnya“Iya, Mbok tau.”“Gimana, dong?” tanya wanita asli Bali itu dengan ekspresi panik.Ia tahu, terlalu berisiko jika melanjutkan perjalanan dengan taksi, meski tinggal beberapa meter saja. Wanita itu tak mau sopir taksi jadi korban. Lalu, dengan alasan apa mereka ke sopir tersebut agar bisa segera turun?“Pak, kami turun sini aja,” ucap Ningsih tiba-tiba.“Di depan, kan, udah turun, Mbok Gek,” balas sang sopir terkejut.“Gak papa, Pak. Biar gak ketauan orang rumah aja. Kami mau bikin surprise,” sahut Ningsih kemudian.Akhirnya, tanpa meninggalkan kecurigaan bagi sopir taksi, mereka turun. Saat kaki keduanya menginjak tanah dan taks
“Mek! Saya Ningsih, anak Meme dari Jawa. Saya sayang Meme. Tolong kembali ke alam sana. Meski kita beda agama, saya selalu berdoa untukmu.”Kerabat yang kesurupan itu mengangguk mendengar perkataan Ningsih. Ia mengusap tangan dan pipi Ningsih lalu tersenyum. Kakak beradik itu bergantian mencium tangan kerabat ini. Mereka tahu, yang ada di hadapan adalah kerabat yang dirasuki arwah Dadong Canangsari, sang meme.Mereka hanya reuni sesaat, sekadar mengenang kebersamaan yang tlah lewat, meski meminjam raga orang lain. Bertiga saling tatap lalu meneteskan air mata. Mereka saling merindu kebersamaan saat Dadong masih hidup. Kini, Ningsih dan memenya bisa bertemu, setelah sekian tahun terpisah di tanah seberang.Mereka baru tahu, rasa kehilangan yang menyakitkan adalah saat salah satu dari mereka pergi dan tak mungkin kembali karena kematian. Rindu yang mendesak tak bisa terlampiaskan karena jarak dan waktu bukan mi
Ni Kesumasari sudah dirukiah. Menurut Ningsih tak perlu lagi dilakukan ritual yang diajarkan Dadong Canangsari kepada Wayan Suri. Untuk menghilangkan setan atau jin yang mungkin saja masih ada yang bersarang di tubuh Ni Kesumasari bisa dilakukan dengan cara islami. Oleh karena kakak sepupu mereka telah menjadi mualaf.Wayan Suri belum bisa menangkap maksud dari penjelasan sang kakak. Ningsih mengerti itu karena memang mereka hidup dalam kultur dan keyakinan yang berbeda. Mau tak mau ia harus menjelaskan panjang lebar tentang hal tersebut kepada adiknya.“Mbok Yan biar diajari ngaji Bang Deni. Itu cara yang tepat. ““Memang gak sulit baca huruf Arab kayak gitu. Lama itu belajarnya. Keburu kemasukan roh kayak kemarin.”“Belajarnya baca Al-Quran dikit-dikit dulu. Buat jaga diri bisa baca doa harian. Orang berdoa gak harus baca langsung dari Al-Quran.”&nb
Ni Kesumasari sangat bahagia menerima kado dari Ningsih, ia pun segera menyobek kertas pembungkusnya. Kini nampak kotak tertulis huruf Arab dan tertulis latin, Al-Quran digital. Seketika mata wanita tertua di antara mereka terbelalak, tak percaya.“Digital? Isi rekaman?”“Bisa dipakai dibaca sambil mendengarkan pelafalan yang benar. Ada pen sebagai alat bantu. Biar Mbok gampang belajarnya.”“Makasih sekali, adikku,” ucap Ni Kesumasari dengan mata berbinar-binar.Wanita itu meneteskan air mata sambil membuka kotak lalu melihat isi di dalamnya. Tampak sebuah Al-Quran dengan sampul warna keemasan bertulis huruf Arab timbul. Sungguh mewah dan elegan penampilannya. Ni Kesumasari memeluknya dengan haru hingga air matanya tertumpah membasahi pipi.Wayan Suri hanya bisa memandang ke arah mereka. Ia yang beragama Hindu tak mengerti dengan yang dibicarak
Ningsih mengajukan usul untuk mencari keberadaan rambut Dadong Canangsari yang tanpa sengaja disimpan oleh Ni Kesumasari. Bisa jadi, benda itu masih tersimpan dalam saku baju Ni Kesumasari atau tertinggal di laundry. Mereka berharap, pegawai laundry masih menyimpannya jika di saku baju tak ada.Akhirnya, masalah yang dianggap rumit bisa terselesaikan dengan baik. Bertiga tersenyum bahagia, setelah sempat salah paham. Beruntung Ningsih yang penyabar dan bertindak lebih bijak akan masalah yang sedang mereka hadapi. Kini dengan bersemangat mereka akan memperbaiki semua akibat yang telah ditimbulkan oleh ilmu warisan dari Dadong Canangsari.Ni Kesumasari semakin optimis dan mantap hati untuk menghadapi hari pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi. Ningsih merasa bahagia kedatangannya ke Bali mendatangkan manfaat dan bisa mengambil hikmah dari segala kasus yang terjadi dalam keluarga besarnya. Wayan Suri pun ikut tersenyum senang, pikirannya b