Ling Yie menunduk dalam. Suaminya berulang kali memanggil namanya namun ia hanya diam. Kini Ling sudah tertangkap basah oleh Chan. Dia bersekongkol dengan Zahra dan membiarkan perempuan itu pergi dari persembunyian. Padahal beberapa hari yang lalu Brawijaya telah memberikan perintah agar Zahra tidak pergi kemana pun.
"Jangan salahkan aku jika sesuatu terjadi padanya." Chan berjalan menarik pedang yang selama ini ia simpan rapi di sudut ruangan. Melalukan kegiatan bersih-bersih kini dialihkan kepada para pelayan yang beberapa bulan belakangan didatangkan Brawijaya.
"Chan, kumohon!" Ling menarik tangan Chan--menghentikan pergerakan suaminya yang berniat pergi dari pondok di tengah hutan itu. "Biarkan Zahra merasakan kebahagiannya sejenak saja, Chan."
"Kebahagian Zahra adalah siksaan bagi kita!" Chan berbalik, memegang bahu Ling lalu mendorongnya masuk ke dalam kamar milik Zahra. "Aku akan menguncimu di kamar ini sampai aku kembali membawanya."
"Chan!"
Zahra melesat ke dalam hutan menghindari keramaian. Ia mencari keberadaan kudanya yang terikat di tepi sungai. Beruntung kudanya masih mendengar isi hati Zahra sehingga ia setia menunggu majikannya pulang."Apakah aku membuatmu bosan?""Tidak," kata kuda itu, singkat. Zahra tersenyum kecil dan menunggangi kudanya. Namun, belum lama ia naik segerombolan prajurit penjaga mengepung dirinya. Zahra turun dari atas kuda. Ia mengetahui jika saat ini kebohongannya telah terendus suruhan Kerthabumi, sang Gusti Brawijaya V."Aku akan kembali." Zahra berusaha untuk tenang. Namun ketenangannya tidak bertahan lama karena sosok yang ia hindari tiba-tiba datang memakai busana rakyat biasa. "Kau--""Aku menemukanmu," lirihnya, diimbangi dengan senyum sarat kelegaan. Brawijaya mendekati Zahra. Ia menarik tangan perempuan itu dan memeluknya erat. Zahra memberontak, ia jelas tidak menyukai kehadiran Raja Majapahit tersebut."Apa yang kau lakukan?!"
Hamparan bunga tulip membentang bak permadani mewah beraroma wangi. Diantara bunga beragam warna itu Raden Patah menemukan wanitanya. Raden terdiam agak lama usai melihat wajah tanpa cadar yang selama ini berlalu lalang di dalam mimpi. Wanita itu hanya menatapnya."Zahra?" Raden menerka. Namun wanita itu justru tersenyum dan mencoba untuk mendekat. "Kau ... siapa?"Wanita bergaun putih dengan syal tebal itu menangkup pipi Raden. Dia tersenyum--membelai pipi Raden Patah secara lembut. Nampaknya wanita itu tahu apa yang ingin dilakukan Raden kepadanya. Tentu saja Raden akan menjauh. Sinyal itu ditangkapnya dari gerak-gerik ketidaknyamanan yang dirasakannya dari Raden."Kau masih ingat?" Wanita itu memutari tubuh Raden Patah. "Dahulu kala, ketika Raja Majapahit yang berkuasa menemukan sebuah permata di tengah hamparan savana. Permata yang elok, bermanik gelap seperti laut dalam yang tak pernah dijamah."Wanita itu mengulurkan tangannya--menyentuh kelop
Sejak mimpi aneh yang dialaminya beberapa belakangan membuat Raden Patah seakan tengah dilanda teka-teki yang harus ia kuak segera. Untuk mengawali itu Raden Patah kini harus berhadapan dengan Ayahandanya. Namun mereka bukan berbicara mengenai politik dan keadaan ekonomi Kerajaan Majapahit. Melainkan sesuatu yang mengarah pada hal yang tidak selayaknya Raden ajukan."Ayahanda tidak pernah bercerita mengenai keadaan istana secara terbuka. Selalu saja kata baik, aman, damai, dan lancar saja. Saat ini aku menginginkan cerita istana dari mulut Ayahanda."Brawijaya yang sudah tiba beberapa jam lalu tersenyum simpul. Ia tahu jika anaknya saat ini mengalami kebimbangan yang berada di ambang batasnya. Dengan tenang Brawijaya mengiyakan permintaan Raden Patah.Keduanya menepi dari rombongan menuju ruang privasi milik Raden Patah. Di depan hanya dibatasi pagar yang dililit tanaman sulur hingga kesan hijau jelas memanjakan mata. Di sisi kiri terdapat kendi yang menampun
Meraih anganku, mengapa sesulit itu? Kusentuh saja dia menjauh. Apa yang buruk dari diriku? Bahkan aku tidak pernah meminta untuk diberikan karunia langka. Letih dan jenuh itu menggerayangi jiwaku. Aku lelah akan kesedihan tanpa ujung. Keputus asaan menggulat dalam pikiranku. Kenapa? Hanya aku yang sadar, kah? Atau memang dia sengaja menutup mata? Tuhan, kenapa tidak engkau izinkan saja aku pergi dari lembah ini? Beri aku tali untuk kupanjat dan kudaki tebing yang menyimpan jiwaku disini. Agar aku dapat pergi. Tidak akan ada lagi jiwa yang mati karenaku.***"Putri Zahra?"Zahra beranjak berdiri. Ia memandang ratusan prajurit yang mengelilinginya bak melihat bidadari surga turun ke dunia nyata."Aku lega dapat menjemputmu. Syukurlah, Khertabumi tidak menyakitimu sedikit pun." Prajurit yang sedang berbicara itu memasukkan pedangnya kembali ke tempat. Ia menghampiri Zahra--lalu menunduk khidmat diikuti para prajurit lainnya. Zahra tercenga
"Chan?" Brawijaya turun dari atas kudanya. Seorang lelaki bersurai panjang dengan mata sipit menahan dadanya yang mengucurkan cairan kental berwarna merah. "Apa yang sudah terjadi?""Zahra telah berkongsi dengan Prabu Girindra, Gusti!""Tidak mungkin!" Mendengar nama itu saja mampu membuat kepala Brawijaya V mendidih. "Kau pasti sudah mengada-ada!""Gusti!" Sunan Kalijaga duduk bersimpuh untuk membantu Chan. "Kita obati luka kisana ini terlebih dahulu.""Akh, baiklah!" Dengan sangat terpaksa Brawijaya harus menunda kepulanganny menuju kerajaan. Ia dan para prajurit membantu Chan masuk ke dalam pesantren untuk mengobati luka orang kepercayaannya itu."Saya tidak mengerti hubungan antara Gusti dengan kisana itu. Namun saya mohon agar Gusti tidak lagi menyembunyikan semua rahasia yang berkaitan dengan Zahra. Terlebih, saya sempat mendengar nama Prabu Girindra disebut. Ini bukan kabar baik yang Gusti simpan sendiri," kata Sunan, memberikan
Perlu waktu berhari-hari agar rombongan yang dibawa oleh Patih udara sampai ke kerajaan Daha di Kediri. Di sepanjang perjalanan para prajurit asyik bercerita mengenai lika-liku perjalanan mereka sewaktu dilantik menjadi prajurit di sana. Namun, tidak demikian dengan Patih udara yang tengah fokus menuntun kuda yang dinaiki Zahra. Ia sendiri merupakan satunya wanita di antara rombongan tersebut.Jauh didalam lubuk hati yang terdalam ia merindukan sosok orang-orang yang telah membuatnya berakhir hingga seperti ini. Pikirannya mengelana pada seorang lelaki bersurai panjang dengan mata sipit dan bibir merah ranum yang selalu tersenyum ramah kepadanya. Bahkan saat ia menawarkan untuk mengajarkan tentang kehidupan, agama, dan rasa sakit akan masa lalu ia belajar untuk menjadi sosok wanita yang lebih baik, pikiran itu masih membekas begitu jelas di dalam kepalanya."Putri Zahra apa yang sedang Anda pikirkan? Nampaknya guratan kebingungan itu terlihat sangat j
Dewi amarawati berjalan tergopoh-gopoh menghampiri kereta kencana yang baru saja tiba di istananya. Perasaannya membuncah tatkala ia melihat suaminya turun dari dalam kereta megah tersebut. Kebahagiaannya bertambah kala sorot matanya melihat wajah Raden Patah yang ikut turun setelah Brawijaya."Patah! Masya Allah Ibunda tidak menyangka jika kau akan datang ke istana. Mengapa tidak menitipkan pesan? Kan ibunda dapat menyiapkan jamuan terbaik untukmu!""Ohhh, jadi kedatanganku tidak kau sambut dengan jamuan terbaik, begitu?" Brawijaya melirik Dewi amarawati yang hanya tersenyum-senyum karena sindiran suaminya."Bukan begitu suamiku, mengenai seleramu dengan Patah, walaupun kalian adalah Bapak dan anak kandung, namun tetap saja kalian memiliki perbedaan. Iya, kan?""Terima kasih atas perhatian Ibunda. Patah akan makan apapun yang telah Ibunda siapkan. Lagi pula, maksud kedatangan Patah ke istana bukan bermaksud untuk menjelajahi kuliner terbaru d
"Perkembangannya sangat mencengangkan. Nampaknya, dia sudah bisa kita gunakan untuk bergabung dengan para pasukan.""Anda benar, Prabu. Kerajaan Majapahit sudah waktunya untuk kita ratakan! Lagipula, Putra sulung Gusti Brawijaya tidak akan meneruskan kekuasaan ayahnya. Dia lebih memilih untuk mengajarkan ajaran Islam di pulau ini ketimbang membantu ayahnya melindungi kerajaan."Prabu Girindra menenteng selendangnya. Senyumnya yang tipis mengisyaratkan sebuah tanda setuju dengan perkataan patihnya. Ia memandang lurus seorang wanita yang tengah berlatih pedang. Nampak kumal namun tetap anggun di matanya."Malang sekali wanita itu. Ditelantarkan Brawijaya setelah mendapatkan kurungan dan pengasingan." Prabu Girindra berdecak sembari menyunggingkan senyum. "Panggil Zahra setelah ia menyiap