Acasha menggeliat di atas ranjang, merenggangkan setiap sendi tubuhnya yang terasa kaku setelah berpetualang di alam mimpi. Ia menoleh ke samping, menatap sofa yang sudah kosong bersama bantal dan lipatan selimut tertata rapi.
"Dia sudah pergi?" batin Acasha, melirik jam dinding masih menunjuk pukul tujuh. "Tapi, ini masih terlalu pagi. Ah, mungkin dia sedang sarapan. Lebih baik aku segera menyusulnya," lanjutnya kemudian bergegas menuju ruang makan.Benar saja. Setibanya di ruang makan, Acasha melihat Demian dan Chesy tengah sibuk membereskan piring dan gelas kotor dari meja makan."Ah, sepertinya aku terlambat," gumam Acasha seketika menarik perhatian Chesy."Oh, Acasha! Sepertinya tidurmu sangat nyenyak," celetuk Chesy sebelum beranjak menuju wastafel."Sepertinya begitu," sahut Acasha melirik pria yang sedang mengelap meja."Pagi, Acasha! Duduklah!" sapa sang pria tampan yang merasa diperhatikan. Ia menarik satu kursi dan mempersilakan Acasha."Eum, aku mauNamun, harapan Acasha tidak berjalan sesuai keinginan. Ketika di kamar, Demian tidak banyak bicara, menatap saja pun tidak. Ketika di mobil, Demian duduk sangat tenang di samping sopir. Hanya Chesy saja yang sesekali berbincang dengan Acasha. Lalu ketika di kantor, Demian yang lebih senang memberikan instruksi langsung pada Acasha justru mengirim surel mengenai pekerjaan dengan kalimat sangat singkat, jelas, dan padat. Ia juga hanya berkomunikasi langsung dengan sekretaris umum beserta staf lainnya."Ughh ... sabar, Acasha. Sabar .... Orang sabar disayang Tuhan," gumam Acasha ketika menyiapkan setumpuk laporan yang diminta Presdir tampan yang sedang dalam mode dingin itu."Dia memang sengaja membuatku bekerja tanpa henti rupanya," batinnya sambil terus sibuk di depan layar komputer.Tanpa sadar, manik violet Acasha melirik jam di ujung layar. "Ah, sebentar lagi jam makan siang. Aku akan menanyakan tempat di mana dia ingin makan," batinnya lagi.Acasha pun bangkit dari du
Sebuah kotak makan berukuran besar, sebotol air mineral, dan segelas cappucino panas. Oh, terselip secarik kertas di sana. Acasha mengambil dan membuka kertas tersebut."Selamat lembur dan menikmati makan malam Anda. Catatan : harus dihabiskan," gumam Acasha membaca tulisan tangan dalam kertas tersebut. Sontak Acasha meluncurkan tatapan tajam pada Demian sambil meremas kertas dalam genggaman hingga lumat membentuk gumpalan kecil."Setelah pergi seharian, dia kembali dengan memberiku makan malam untuk lembur? Sangat perhatian," batin Acasha, melemparkan gumpalan kertas yang sangat kecil tepat ke tempat sampah.Kekesalan memenuhi ruang hati sang sekretaris sampai ingin memberondong Demian dengan berbagai pertanyaan dalam benak. Namun, keinginan Acasha terpaksa harus ditunda saat ia merasakan lambung kosongnya yang mulai meronta."Hah ... baiklah. Daripada merasa kesal, bukankah lebih baik bila aku berterima kasih dan memakannya?" batin Acasha setelah mengurungkan niat buru
"Apa? Kenapa kulkasnya kosong?" Acasha berpindah membuka setiap bagian kabinet atas. "Dikunci?? Bagaimana aku bisa sarapan jika tidak ada apa pun di sini?"Acasha menggigit bibir dengan gelisah. Ia lantas memindai seluruh area dapur hingga perhatiannya tertuju pada tudung saji berwarna merah di tengah-tengah meja makan. Dengan langkah cepat dan alis berkerut, ia mendekati meja untuk membuka tudung saji tersebut.Benar saja. Setelah tudung saji itu dibuka, dua potong sandwich dan segelas jus apel terhidang di sana. Acasha mendesah pelan sambil menarik sebuah kursi."Bukankah sudah kubilang, aku akan menyiapkan makananku sendiri?" tanyanya pada udara.Mau tak mau, Acasha mulai menggigit sandwich tersebut sambil membayangkan sosok Demian dan Chesy mengenakan apron, menyiapkan sarapan bersama di dapur."Menyebalkan," gerutunya kemudian.***Setibanya di kantor, Acasha langsung disambut Ela, salah seorang sekretaris umum yang tampak sengaja menunggu kedatangan Acasha
Ketiga sekretaris itu keluar dari lift."Ada keperluan apa dia datang ke sini?" celetuk Ela memelankan suara."Aku tidak tahu. Apakah dia ada janji dengan Presdir, Nona Acasha?" tanya Lieke setengah berbisik pada rekan di sampingnya."Tidak ada. Presdir hanya memintaku untuk menyelesaikan laporan sampai beliau kembali," jawab Acasha refleks ikut berbisik.Sejak saat itu, suasana berubah canggung. Ketiga wanita tersebut melangkah dengan kaku menuju arah yang sama bersama. Namun, situasi itu tidak berlangsung lama ketika Ela dan Lieke berbelok menuju meja kerja mereka, sedangkan Acasha harus tetap berjalan lurus menuju ruang eksklusif atasannya yang sekaligus ruang kerjanya."Ah, akhirnya ...." celetuk sang model cantik memindahkan tumpuan ketika melihat sosok sang sekretaris pribadi presdir."Maaf, ada yang bisa saya bantu, Nona?" sapa Acasha bersikap sopan."Saya ingin bertemu dengan Presdir. Bisakah Anda membukakan pintu?" pinta sang model tanpa basa basi."
"Kalau kau bukan salah satu aset perusahaan ini, kau pasti sudah mati."Setelah mendengar kalimat tersebut, cengkeraman tak kasat mata itu terlepas. Tanpa menyeka air mata darah di pipi dan sedikit terbatuk, Zelika langsung bersimpuh di hadapan pria tersebut."Maafkan saya, Tuan. Saya sudah melakukan kesalahan. Saya sangat ceroboh. Mohon ampuni saya, Tuan. Mohon ampuni saya," rintih Zelika menyatakan penyesalannya sambil menatap titik-titik merah di lantai yang berasal dari tetesan air mata darahnya."Bukan hanya kesalahan. Ini kesalahan fatal!" berang sang pria masih menatap sinis."Mohon ampun. Saya sudah sangat ceroboh dan melakukan kesalahan fatal. Mohon maafkan saya, Tuan. Saya berjanji tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Mohon ampuni saya, Tuanku Athan Agathias," sesal Zelika sang vampir cantik terus memohon pengampunan dan terus menitikkan tangisan berdarah-darah.Ruangan senyap untuk beberapa saat. Athan Agathias, sang pemimpin dan pemilik klan Agathias,
Sontak Ela terkesiap dan menoleh ke belakang, kedua netranya membelalak lebar melihat wajah cemas pria di hadapannya. "Presdir?? Presdir sudah kembali??"Tanpa menjawab pertanyaan sang sekretaris umum, Demian menatap sensor yang langsung mendeteksi retina matanya dan pintu pun terbuka. Seketika ia berlari ke dalam ruangan dan melihat tubuh Acasha meringkuk di lantai, di ujung sofa.Demian merengkuh tubuh lemah tersebut dalam dekapannya. "Nona ...."Wajah sang gadis terlihat sangat pucat, kulitnya terasa dingin seolah-olah membeku, dan ranumnya tak lagi merah. Keceriaan dari sorot matanya hilang bersamaan dengan sebaris senyuman hambar. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada satu kata pun terlontar dari sana."Permisi, Presdir," ucap Lieke sang sekretaris umum sudah berdiri di belakang Demian. Desah napas cepat tertahan di kerongkongan ketika melihat situasi di hadapannya."No—na A—ca ...." susul Ela, mewakili isi hati Lieke. Lagi-lagi kedua netra Ela bergetar dan mele
"Bagaimana, Demian? Apakah ada bekas gigitan serangga di sana?" celetuk Acasha sontak membuyarkan konsentrasi Demian."Tidak ada. Sebaiknya, kau makan. Kau harus mengisi kembali tenagamu yang payah itu," ucap Demian seketika berbalik dan mengambil baki yang ia letakkan di atas nakas."Apa kau tahu yang sebenarnya terjadi padaku?" tanya Acasha menghentikan pergerakan Demian.Demian mengeratkan rahang dan menarik napas cepat sebelum kembali ke sisi Acasha. "Maafkan aku. Aku sudah memberimu terlalu banyak tekanan dan laporan yang tidak masuk akal jumlahnya," ucapnya sembari meletakkan baki di atas meja.Kening Acasha berkerut. "Maksudnya?"Demian menarik bangku kecil untuk duduk di samping Acasha. "Kamu kelelahan. Itu salahku," dusta Demian."Apa? Itu tidak mungkin. Aku tidak selemah itu," bantah Acasha. Tentu saja ia lebih tahu kondisi tubuhnya dibandingkan siapa pun karena Acasha sangat yakin bahwa selama ini dirinya dalam kondisi sehat dan sangat jarang merasakan s
"Setelah seratus tusukan, kau boleh berhenti. Pulihkan tubuhmu sebelum kembali ke atas," perintah Athan, kemudian beranjak dari sana.Tidak seperti saat kedatangannya menuju ruang bawah tanah—dengan ritme langkah yang teratur karena berusaha menjaga emosinya agar tidak meluap sebelum waktunya—Athan meninggalkan tempat tersebut dengan sangat tergesa sambil memegangi lehernya yang terus meneguk saliva. Debaran jantungnya semakin cepat berkat hasrat yang semakin kuat dan tergiur akan aroma manis darah yang terus menggoda indra penciumannya.Klap.Pintu masuk menuju ruang bawah tanah sudah ditutup rapat setelah ia berhasil meninggalkan ruangan penuh aroma manis darah itu. Athan berdiri tegap dengan pandangan lurus ke depan. Dia diam sejenak, menghirup sebanyak-banyaknya udara yang lebih bersih guna menjernihkan akal sehatnya yang sempat menggila akibat darah Demian yang begitu menggiurkan.Saat fokusnya pulih dan warna merah darah di matanya kembali menjadi amber, Athan meny