Arumi menerima paper bag-nya dan mengeluarkan beberapa potong pakaian dari dalam sana, gadis itu tersentak karena baju yang dia lihat sekarang bukan miliknya, melainkan baju baru lengkap dengan merek yang masih melekat di sana, tentu saja harganya tidak biasa untuk orang seperti Author.
Gadis berambut gelombang itu melirik pada pria yang sedang santai mengotak-atik benda tipis miliknya di sofa empuk di sudut kamar. "Ini bukan milik ku."
"Pakai saja."
"Semua pakaian ini baru dan aku tidak tahu mana yang pas untuk ku."
"Gadis bodoh.! Kau bisa mencobanya."
"Tapi--"
Belum sempat Arumi menyelesaikan ucapannya, Randika dengan cepat sudah memotong pembicaraan.
"Bisakah kau melakukan sesuatu tanpa harus bertanya."
"Dan bisakah kau menjawabku dengan baik."
"Gadis pembangkang! Apa kau ingin merasakannya lagi," ujarnya dengan sorot mata menggoda.
"Pria Gila! Hentikan otak liarmu itu, aku bukan wanita
Air mata Arumi mengenang, bibirnya gemetar menahan emosi. Gadis itu mengerang menahan sesak di dadanya. Rilan yang baru sampai di balkon pun terlihat bingung saat melihat gadis yang dianggap adiknya itu tersungkur di lantai dengan air mata. "Apa yang terjadi." "Kak Rilan!" Gadis itu menghambur ke pelukkan Rilan setelah mangatakan kebencian. "Randika, aku membencinya." "Randika? apa pria itu melakukan sesuatu padamu?" "Aku kesal," jawab Arumi dengan isakan kecil. "Apa dua pria itu melakukan sesuatu padamu?' tanya Rilan kembali dengan hati-hati. "Seperti memasukkan sedikit obat perangsang pada minumanku?" ujar Arumi. Rilan kaget. Dia mendorong pelan tubuh Arumi untuk memberi sedikit jarak darinya, sorot matanya sangat terkejut. "Dari mana Kau tahu?" "Pria Robot itu mengatakannya padaku tadi," jawab Arumi terisak. "Pria Robot? maksudmu Randika." Rilan hampir tergelak, yang kemudian tawannya pecah sa
Sepanjang perjalanan Randika terlihat diam, begitupun dengan Arumi, dan Rilan. Ketiga orang itu terlihat canggung, bahkan Randika sesekali memandang nyalang pada Rilan. Dia masih marah dengan apa yang telah Rilan lakukan padanya di kafe. "Bisakah seseorang memancing pembicaraan. Ini menegangkan, leher ku sampai sakit jika tidak bergerak," keluh Arumi di dalam hati. "Tuan." Arumi menoleh seketika, saat Rilan bersuara. Dia seperti mendapatkan undian yang sangat di nantikan. Wanita dengan manik cokelat itu menatap Rilan dan mengembangkan senyum tipis. "Apa!" Jawaban datar Randika membuat Rilan sedikit takut, Tapi dengan keberanian dia kembali mencoba untuk mencairkan suasana. "Apa hari ini anda akan ke kantor? ada berkas yang harus diperiksa." ucap Rilan mulai santai. "Entahlah, jika pembahasan di rumah baik maka kita akan ke kantor. Jika tidak, kau selesaikan seperti biasa, dan laporkan kembali padaku," ujar Randika melirik
"Kapan kalian akan menikah?" tanya Amirta ketika seluruh Anggota keluarga sudah berkumpul. Randika menatap Arumi dengan intens, gadis itu terlihat salah tingkah, saat tiba-tiba Dady menanyakan soal pernikahan. "honey biarkan mereka istirahat sejenak, kita akan membahasnya nanti saat makan malam, bagaimana, kalian setuju?" sela Jenny memotong pembahasan. Dia tahu jika Randika dan Arumi pasti bingung dan bertanya-tanya. "Mom, apa maksudnya ini, bukankah pembahasan terakhir kita soal pertunangan?" "Mom tahu apa yang kau maksud. Tapi, bisakah kita bahas nanti setelah makan malam selesai? Faktanya bukan maksud Jenny untuk mengabaikan pertanyaan Amirta, tapi dia hanya sedang berusaha melerai peperangan besar yang akan terjadi jika percakapan ini terus berlangsung. Hubungan antara anak dan ayah ini masih begitu tegang terakhir saat Amirtha meminta putranya untuk menjadi suami Arumi. Amirta menggeleng tahu apa yang di lakukan ol
Malam itu akhirnya datang, setelah satu minggu pembahasan itu berlalu akhirnya acara pertunangan Arumi dan Randika pun digelar. Acara yang sederhana, itu adalah permintaan kedua pasangan yang masih belum bisa menerima itu. Arumi terlihat cantik dengan gaun putih yang di hadiakan oleh Jenny. Dia bagaikan bidadari kecil, sangat cantik. "Lihat siapa yang datang." "Mom." Manik cokelat itu tampak berkaca-kaca, Jenny dengan lihainya mengelus dagu mungil milik Arumi memerikan tatapan penuh cinta di manil hitamnya. "Don't cry baby it's your happy day you can't shed tears or your makeup will fade." Jenny memeluknya sesaat sebelum gadis itu melangkah masuk. "Hei, don't cry anymore honey, tidy up your dress before entering." "Thank you Mom." Arumi memasuki Aula Mansion dengan di dampingi Jenny. Tampak setelah kemunculan-nya beberapa orang yang hadir terlihat terpesona dengan kecantikan Natural yang dia miliki. Arumi memang ter
Drzz ... drzz ... drzz .... Randika merogoh benda pipih miliknya dan melihat pada layar, satu pesan dari nomor tidak dikenal muncul di sana dengan isi pesan yang membuat dahinya berkerut. 'I miss you.' Rilan yang melihat ekspresi Randika berubah langsung bertanya. "Ada apa?" Randika segera menggeleng. "Tidak." Dia kembali mengotak-atik pengaturan ponsel miliknya dan membiarkannya masuk kembali ke dalam saku. Randika dan Arumi pun di persilahkan menuju altar. Arumi menarik napasnya dalam sesaat sebelum Randika mendekatinya, meminta gadis berponi itu untuk ikut bersamanya. Sungguh malam ini pria pemilik mata hitam itu berbeda dari Randika yang dulu pernah dia kenal. Dia sangat Romantis, mengingatnya saja membuat Arumi tersenyum sendiri, hatinya di penuhi oleh bunga-bunga. "Kau siap?" "Yah," jawab Arumi pada pria yang akan menjadi tunangannya itu. Seketika itu jantungnya berdetak kencang, tangan Arumi mel
Randika bangun cukup pagi hari ini, dia memang sengaja melakukannya karena ingin melihat gadis itu melakukan tugas pertamanya. Namun, sudah beberapa menit berlalu Arumi belum juga muncul. Padahal biasanya gadis itu akan nangkring bersama para pelayan di dapur, dengan kebiasaannya yang selalu memperhatikan apa saja yang mereka lakukan. "Apa dia lupa dengan tugasnya?" Randika memutuskan untuk membangunkan wanita itu. Namun baru saja hendak menaiki tangga, seorang pelayan menghampirinya. "Bonjour Monsieur, avez-vous besoin de quelque chose ?" "Ah kebetulan kau di sini, Bangunkan Arumi untukku Claudia." "Désolé jeune maître. Nona, sudah pergi dari satu jam yang lalu." "Apa?" Randika begitu kaget, tenyata Nona pembangkang itu sudah bangun dan pergi tanpa seijinnnya. "Kemana
"Randika!" Pria berambut hitam lebat itu terkekeh. "Maaf mengagetkanmu." "Dasar pria mesum, untuk apa kau diam-diam ke sini huh? mau membuatku mati karena kaget!" "Maaf." "Memyebalkan!" "Kau terlalu serius Rumi, bahkan kau tidak menyadari ada orang di sekitarmu." Arumi menatap tidak percaya pada pria di depannya. Bukan karena ucapannya tapi, bagaimana bisa pria ini tahu dia ke bukit Gros Morne, bahkan untuk sampai ke sini butub perjalanan yang cukup jauh. Dan Pria ini, tanpa memberi kabar sekarang malah duduk di sampingnya. "Sedang apa kau di tempat menyeramkan ini, apa kau tidak talut sendirian?" "Apa kau tidak luhat d sekitarmu? banyak orang mendirikan tenda di sini. Beberapa hari lagi musim panas akn segera berlalu, jadi tempat ini akan ramai demgan pengunjung." "Apa meraka datang sejauh ini untuk menikmati matahari?" "Tanyakan saja pada mereka." Randika tersenyum, dia
Arumi tersenyum, dia melangkah ke bawah pohon di mana itu adalah depat mereka akan menikmati bintang. Dia duduk di atas rumput tebal bersama Randika. Namun, suasana sedikit hening karena ciuman tiba-tiba Randika tadi. Entah harus bersikap seperti apa sekarang. Saat ini Arumi benar-benar sangat gugup. Harusnya dia marah karena Randika karena lagi-lagi pria itu menciumnya dengan sesuka hati tapi, yang terjadi dia malah sebaliknya. Pipi Wanita dengan manik cokelat itu bersemu menjadi pink dengan jantung yang berdebar tidak teratur. "Jangan sampai kau menyukainya Arumi, kau harusnya sadar dia tidak akan bisa membalas cintamu. Marah ... marahlah, jangan tunjukan kepolosanmu saja Arumi," batinnya memperingati diri sendiri. "Apa kau suka gunung?" Pertanyaan Randika membuat dia mevngerjab kaget. "Tidak! Aku membencinya sama seperti aku membencimu." Randika terkekeh. Apalagi nada suara Arumi saat mengatakan benci seakan sedang menegaskan ba