"Guru! Guru!"
Suara teriakan seorang pria, seakan mengguncang se-isi hutan.
Saat ini hari sudah gelap gulita, karena tempat sang Surya telah digantikan oleh bulan sabit.
Di gubuk sederhana yang dibangun oleh Tanu, saat ini nampak dipenuhi isak tangis. Entah apa yang sedang terjadi.
Namun di sisi lain hutan gerbang kematian, seorang bocah terlihat sedang asik bermain di tengah malam.
Tunggu!
Bermain di tengah malam?
Bukankan itu hal tak lazim?
Ya, itu memang tak lazim. Tapi bocah yang sedang asik bermain itu tak lain ialah Sadarga Sae. Si bocah 11 tahun yang sudah menelusuri hutan selama beberapa hari terakhir.
Saat ini Sadarga sedang bermain kejar-kejaran dengan Pusi, si kucing putih yang ditemuinya beberapa waktu lalu.
Ternyata sesaat setelah kepergiannya dari Tanu, bocah itu langsung bertemu dengan Pusi. Akhirnya mereka selalu bersama kemana pun mereka pergi.
"Hei, Pusi. Apa kau sudah lelah?" tanya
Setelah menangkap ikan untuk dibawa pada Tanu, Sadarga langsung bergegas melanjutkan perjalanannya."Kakek, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Mengapa bayangan wajahmu terus melintas di benak ku," gumam Sadarga. Sembari berlari bocah itu terus melamun. Rasa khawatir teramat sangat seperti mengganggunya.Setelah perjalanan yang cukup jauh. Akhirnya Sadarga tiba di tempat Tanu berada.Suasana kala itu seakan canggung tanpa kata, terlihat tiga pria dewasa sedang diam hendak menyalakan api pada tumpukan kayu dan ranting.Selain itu, Sadarga melihat dua wanita yang tak asing baginya.Sadarga bingung seribu bahasa, apa yang harus ia katakan pada orang-orang di depannya. Sebab bocah itu telah menyapa beberapa kali, tapi ia tak mendapat tanggapan sedikit pun.Walau Sadarga mengenal orang-orang di hadapannya, tapi entah mengapa. Mereka seperti baru bertemu."Paman, mengapa kalian terlihat sedih?" tanya Sadarga yang ke-sekian kalinya. Meski pu
"Aku hanya melakukan semua yang dipinta Pusi!" cakap Sadarga dengan penuh keyakinan, sembari menatap kucing putih.Utar yang mendengar pernyataan seorang bocah di hadapannya, merasa sedikit bimbang. Sebab dalam benaknya juga terpikir hal yang sama dengan Jiro. Apakah benar Sadarga bisa berbicara dengan kucing?"Haha. Apa kau tahu maksud dari perkatakan?" sanggah Jiro terbahak menertawakan adiknya.Ini cukup membingungkan, Utar di hadapkan permasalahan pada keputusannya sendiri. Di satu sisi ingin membela Sadarga, tapi di sisi lain ia ragu pada bocah di depannya. Sebab Sadarga selalu melibatkan Pusi, seakan tidak mau tahu dengan apa yang diperbuatnya."Entahlah, aku hanya mencoba memberikan kepercayaan saja padanya!" tegas Utar. "Kalian terlihat seperti anak kecil, apa tak sebaiknya kita diam, lalu menyaksikan apa yang akan terjadi?"Tiba-tiba suara wanita terdengar dari arah pintu."Hei bocah, cepatlah lakukan sesuatu. Semaumu da
"Hei bocah, berani sekali kau mencuri benda itu"! hardik Jiro pada Sadarga.Walau pun merasa tersentak, Sadarga mencoba berkata yang sebenarnya,"Ti-tidak. Sudah ku bilang, benda ini keluar dari mulut kakek ku!" Saat ini sebuah wadah cincin yang terbuat dari emas, berada di genggaman Sadarga. Hampir semua pendekar tingkat menengah mengetahui rupa cincin itu."Sudahlah. Aku pun mempunyai benda itu!" celetuk Mei,"Tapi, untuk mendapatkannya bukanlah hal yang mudah. Bahkan nyawaku hampir menjadi taruhannya untuk menebus benda kecil itu!" lanjut Mei, kemudian ia mengambil wadah cincin itu dari balik jubah yang menutupi pakaian besinya."Tunggu! Apa munkin yang di pegang bocah itu, cincin Semar. Jika benar berati ia ...." bisik Wina pada Mei yang berada di sampingnya."Entahlah, aku pun tak mengerti. Bukankah kita harus menjalani beberapa ujian untuk mendapatkan benda itu.""Ya, atau mungkin ... bocah ini memiliki kemampuan tersembunyi
Sadarga dan Tanu terus berbincang tak tahu waktu. Mungkin mereka sedang melepas rindu.Jiro yang melihat wadah cincin terjatuh, berniat ingin mencurinya. Sebab ia belum memiliki benda itu, walau pun tingkat kependekarannya sudah cukup tinggi, tapi kepribadian yang dimilikinya belum layak mendapatkan wadah cincin itu.Ya, kependekaran di masa ini bukan hanya dilihat dari kemampuan bertarung saja. Tapi pengendalian diri harus di perhitungkan juga jika ingin menjadi pendekar sejati dan berada di jalur yang benar.Wadah cincin ini seakan menjadi tanda, bahwa pemiliknya memiliki kepribadian baik dan berkemampuan khusus. Jadi tak semua pendekar tingkat menengah bisa memiliki wadah cincin tersebut atau para pendekar sering menyebutnya cincin Semar.Dari namanya pun setiap pendekar menengah, telah mengetahui jika cincin Semar merupakan tanda penghargaan dari seorang guru. Nama itu berasal dari kata 'samar' artinya setiap pendekar dituntut supaya menyamarkan kemam
Sontak saja Mei terkejut, sebab ia tak percaya jika kakek tua di hadapannya membicarakan kitab legenda yang di cari para pendekar."Siapa sebenarnya kakek ini? Mengapa pengetahuannya begitu luas?" gumam Mei dalam batinnya.Ya, tingkat pengetahuan seseorang saat ini sangat di perhitungkan di kalangan pendekar tingkat menengah sampai tingkat terakhir. Hal itu dikarenakan para pendekar tingkat awal belum di berikan pengetahuan tentang keberadaan kitab pusaka.*"Kakek! Jika boleh tahu, dari mana asalmu dan seberapa dalam pengetahuanmu tentang kitab itu?" lanjut Mei, meluapkan rasa penasarannya."Maaf nona! Bagiku, perlu banyak waktu untuk menjelaskan semua pertanyaanmu. Namun, saat ini waktu luang kita hanya sedikit. Mungkin lain kali saja aku bicara panjang lebar denganmu," pungkas Tanu."Me-mangnya kenapa?" timpal Mei.Sayang sekali. Belum sempat memberitahu dari mana asalnya dan siapa dia sebenarnya, Tanu tiba-tiba bergegas pergi. Dengan
Di atas bukit tempat Tanu dan enam orang lainnya berdiri, tiba-tiba terlihat seberkas cahaya yang begitu menyilaukan.Kilauan cahaya itu disebabkan karena Tanu menggunakan jurus cermin pengintai tingkat akhir.Semua orang yang berada di dekat Tanu merasa sulit untuk membuka mata. Dalam benak mereka terlintas pertanyaan yang sama; apa yang terjadi?Setelah beberapa waktu kemudian, akhirnya lima pasukan desa dan Sadarga bisa membuka mata kembali."Hei kalian, kemarilah!" pinta Tanu membujuk enam orang yang terlihat seperti ketakutan. Di telapak tangannya saat ini terlihat bulatan cahaya menyerupai bola yang terus berputar cepat.Dengan perlahan, Sadarga dan lima pasukan desa yang di pimpin oleh Jiro itu mulai berjalan mendekat."Cepatlah, kemari. Jangan takut! Ini hanya jurus cermin pengintai!," Tanu mencoba menjelaskan sesuatu yang ada di tangannya.Karena merasa penasaran, akhirnya Sadarga berjalan lebih cepat mendekat
Karena melihat peperangan sedang berlangsung, lima pasukan desa hanya diam dan saling menatap. Nyali mereka menciut seketika."Baiklah, jika tak ada yang berani pergi. Maka aku saja yang akan pergi ke pusat kerajaan. Namun selama kepergianku, tetaplah di tempat ini. Jangan terpancing dengan pertempuran yang sedang berlangsung di sekitar kita!""Tu-tunggu kek! Memangnya mau apa ke pusat kerajaan?" timpal Sadarga."Saat ini aku merasakan ada aura iblis, siluman dan penyihir yang haus darah di sana! Mungkin itulah yang menyebabkan semua orang menjadi liar seperti ini!" pungkas Tanu, kemudian ia segera pergi seorang diri ke pusat kerajaan Labodia.Keadaan di bawah bukit tempat Sadarga berada, begitu ricuh karena pertempuran ratusan pendekar.Anehnya dalam pertempuran ini tidak seakan tidak ada akhirnya. Jika jumlah satu kelompok mengalami kekalahan maka datanglah pasukan lain yang melawan kelompok pemenang.Dari ketinggian Sadarga melihat
Pisaca merupakan golongan iblis pemakan daging. Mahluk ini bisa merubah wujud menjadi apa saja, bahkan ia tak bisa terlihat dan merasuki tubuh manusia hingga seakan menjadi gila. "Jadi ... kau yang menyebabkan pertempuran tak jelas ini terjadi!" tuduh Utar pada mahluk hitam di depannya. "Hahahaha. Manusia hanyalah sampah, kalian hidup hanya untuk mati lagi. Dasar tak berguna!" Begitu lantang suara mahluk hitam itu. Ia terbahak mentertawakan Utar dan beberapa orang lainnya. "Wah, ternyata asap itu bisa bicara!" celetuk Sadarga tanpa berpikir panjang. Bocah itu memang tak tahu, siapa yang sedang jadi lawan bicaranya. "Kurang ajar! Berani sekali kau mengatakan itu pada ku. Dasar sampah tengik. Enyahlah kalian semua!" teriak Pisaca dengan murka. * Wuuuuuush! Hembusan angin kencang tiba-tiba muncul menerpa Sadarga dan yang lainnya. Begitu kuat tiupan angin tersebut, hingga membuat semua orang kewalahan dan sulit bergerak. "H