“Menyelamatkan nyawa seseorang tidak perlu mempertimbangkan dia orang baik atau jahat. Itu tanggung jawab dia dengan Tuhan. Kita hanya perlu melakukan kewajiban kita sebagai sesama manusia.”
Zahari mengelus kepala Bimo. “Percayalah! Tidak ada kebaikan yang sia-sia.”
Meskipun Bimo tak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan kakeknya, dia tidak berani membantah. Terlebih ketika gerimis berganti titik hujan. Lebih baik secepatnya membawa lelaki asing itu ke rumah sakit.
Keluar dari gang, Zahari mengembuskan napas kencang. Jalanan bermandikan genangan air. Tidak mungkin dia mengantar Gallen ke rumah sakit hanya dengan menggunakan gerobak tua miliknya. Kondisi lelaki itu pasti akan memburuk mengingat jarak yang lumayan jauh.
Zahari mengedarkan pandangan berkeliling. Sebuah taksi melintas. Pemandangan itu secara refleks menggerakkan tangan keriput Zahari ke saku. Selembar uang dengan nominal dua puluh ribu lusuh kini berada di genggamannya.
Helaan napas berat mengudara dari bibir Zahari. Bagaimana dia membayar taksi dengan nilai uang sekecil itu? Zahari menghadapkan wajah ke langit. Membiarkan peluru cair yang kian deras menghantam permukaan kulit kisutnya.
“Tuhan, Engkau pasti melihat penderitaan lelaki itu, bukan?”
Zahari ingin memanjatkan doa, tetapi dia terlalu malu untuk meminta. Mengingat dosa-dosanya ketika dia masih muda. Usianya kini telah senja. Namun, ibadahnya belum sempurna.
Walau demikian, jauh di lubuk hati dia sangat berharap Tuhan berkenan mengirimkan malaikat penolong untuk menyelesaikan konflik batinnya. Bukankah Tuhan mengetahui segala hal yang tersembunyi dalam dada, walaupun tak pernah terucap lewat kata?
Kala Zahari memejamkan mata, sebuah mobil pick up berhenti tepat di depannya. Seorang lelaki berusia empat puluhan menurunkan kaca jendela.
“Pak Zahari? Mau ke mana hujan-hujan begini?”
Lelaki itu menyapa dengan setengah berteriak, berusaha mengalahkan deru derasnya hujan.
“Eh, Nak Rohman!” seru Zahari tak kalah kaget. Matanya memancarkan binar harapan. Tuhan mengabulkan keinginannya.
“A–anu, Nak ….”
Zahari ragu. Teringat pakaiannya yang lusuh dan kotor setelah memulung, keberaniannya untuk meminta bantuan pun menyusut.
“Pak Zahari mau pulang? Ayo naik! Hujannya tambah deras.”
“A–aku memang butuh tumpangan, tapi—”
“Alaah … tidak usah ragu, Pak. Seperti orang lain saja.”
“Bukan begitu, Nak. A–aku mau ke rumah sakit.”
Bola mata Rohman segera memindai tubuh Zahari dan Bimo. Keduanya tampak pucat dengan bibir yang membiru. Sudah cukup lama mereka bermandikan hujan.
“Buruan naik, Pak!”
“Serius, Nak?” Zahari masih ingin memastikan.
“Iya.”
Zahari bergegas menarik gerobak, dibantu oleh tangan kecil Bimo yang menggigil.
Melihat kondisi Zahari dan Bimo yang kedinginan dan kesusahan menarik gerobak, Rohman merelakan tubuhnya ikut bermandi hujan.
“Astagfirullah!” Rohman terpekik kaget ketika melihat isi gerobak Zahari.
“Kami menemukan dia pingsan.”
Zahari enggan menceritakan lebih banyak bagaimana dia menemukan Gallen di sebuah bangunan kosong yang biasa menjadi tempat mangkalnya saat lelah menjalani rutinitas memulung.
Rohman tak menanggapi. Sama seperti Zahari, dia juga memendam rasa cemas akan kondisi Gallen.
Lima belas menit kemudian, Rohman memarkir mobilnya di pelataran parkir sebuah rumah sakit. Hujan masih menyisakan rintik. Dua petugas rumah sakit menyongsong Gallen dengan brankar begitu mendengar permintaan tolong dari Rohman dan Zahari.
“Silakan urus administrasinya dulu, Pak!”
Perawat pria memberi instruksi kepada Zahari yang ikut masuk ke ruang IGD bersama cucunya.
“A–anu … kami bukan keluarganya,” kata Zahari takut-takut.
Kata mengurus administrasi membuat Zahari berkeringat di tengah cuaca dingin akibat hujan. Uang di kantongnya tidak akan cukup untuk membayar biaya tindakan dokter ataupun menebus resep obat.
Perawat itu memandang Zahari dengan tatapan tidak puas dengan jawabannya. “Bukankah Bapak yang membawa pasien kemari?”
“I–itu benar, ta–tapi … kami menemukan dia pingsan.”
Zahari merahasiakan tempat di mana dia menemukan Gallen. Jika dia berterus terang, tidak menutup kemungkinan perawat itu akan menolak melakukan tindakan apa pun untuk menyelamatkan Gallen.
“Bapak pikir rumah sakit ini panti sosial? Kalau Bapak tidak punya uang, kenapa tidak menghubungi keluarganya daripada buang-buang waktu dengan berdiri di sini?”
***
Zahari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak mengenal Gallen. Bagaimana mungkin dia bisa menghubungi keluarganya? Akan tetapi, dia tidak berani untuk memberitahu perawat galak itu tentang kenyataan yang sebenarnya. Melihat Zahari diam saja, perawat itu berlalu dengan raut muka terlihat kesal. Hal yang dibencinya saat bertugas di ruang IGD adalah melayani pasien dari kalangan ekonomi kelas bawah. Kehadiran mereka hanya menyebabkan rumah sakit menderita kerugian. Sudah tak terhitung berapa banyak pasien yang kabur setelah mendapatkan tindakan dokter dan perawatan tanpa membayar. Benar-benar menjengkelkan! Berkaca dari pengalaman buruk tersebut, perawat itu memilih untuk tidak melaksanakan tugasnya dan pergi begitu saja. “Om harus menolong dia dulu sebelum pergi.” Bimo menarik tepi baju perawat itu. Dia memasang wajah memohon dengan bibir yang bergetar lantaran kedinginan. “Singkirkan tangan kotormu itu dari tubuhku!” Perawat it
Satu jam kemudian, di sebuah rumah tua, ponsel Falisha berdering nyaring. Falisha meraih benda pipih itu dengan gerakan malas. Dia baru saja pulang dari kampus. Tubuhnya sangat lelah. Seharusnya dia bisa pulang lebih awal kalau saja dosen yang mengajar mata kuliah terakhir tidak memundurkan jadwalnya. Suara Falisha terdengar lesu saat dia mengucap salam. Namun, beberapa detik kemudian dia terlonjak bangkit. “Apa? Rumah sakit? Ya. Aku segera ke sana.” Falisha melupakan rasa lelahnya dalam sekejap. Buru-buru dia mengganti pakaian basahnya, lalu berlari keluar. “Mau ke mana, Faly? Bukankah sekarang saatnya makan malam?” Teguran Ghifari mengerem langkah Falisha. Tangannya batal membuka pintu. “Maaf, Ayah. A–aku harus ke rumah sakit sekarang.” Falisha menjatuhkan pandangan ke lantai, tak berani menantang bola mata ayahnya. Dia takut lelaki itu akan membaca kecemasannya. “Rumah sakit? Apa kau merasa tidak sehat?” Ghif
“Semakin cepat Bapak menandatangani surat itu, semakin baik bagi kondisi kesehatan anak Bapak.” Teguran Hellen mengembalikan kesadaran Ghifari. Dia tidak punya pilihan selain menyetujui tindakan operasi untuk Gallen. Dia ingin Gallen tetap hidup, walaupun dia harus menjual organ tubuhnya untuk melunasi biaya pengobatan Gallen. Tanpa menunda lagi, Ghifari membubuhkan tanda tangannya pada lembaran kertas yang disodorkan perawat. Satu jam sudah waktu berlalu setelah Gallen selesai menjalani operasi. Kelopak matanya masih tertutup rapat. Falisha duduk di samping ranjang Gallen dengan perasaan gelisah. Berapa lama dia harus menunggu kakaknya itu sadar? Ghifari mengelus kepala Falisha. “Sebaiknya kau pulang dan istirahat. Percayalah, kakakmu akan baik-baik saja.” “Tapi, Ayah … dia sudah sangat lama tertidur. Bagaimana kalau—” “Hentikan omong kosong itu! Dia lelaki yang kuat. Pulanglah! Dia pasti lapar saat terbangun nanti.” G
Sebelum Gallen mampu mencerna rangkaian kalimat yang terlontar dari bibir kakek gurunya itu, sebuah tendangan berkekuatan penuh mendarat di perutnya. Gallen terlontar ke udara dan terbang jauh dengan jeritan melengking tinggi. Dia tak menyangka kakek gurunya akan tega melakukan hal sekejam itu kepadanya. Tendangan pada perutnya mengalirkan hawa yang menyebabkan seluruh uratnya menggeliat. Organ dalam tubuhnya seakan berlari ke sana kemari, tak tentu arah. Entah berapa jauh lagi dia melayang, melintasi bumantara. Sementara di atas ranjang rumah sakit, tubuh Gallen terguncang. Perutnya terangkat dari permukaan tempat tidur. “Kakak!” Falisha yang jatuh tertidur berteriak syok mendapati gerakan Gallen yang tiba-tiba. Wajah piasnya semakin pucat laksana selembar kertas basah. “Dokter! Tolong!” Falisha memekik panik. Saking cemasnya, dia berlari keluar untuk mencari pertolongan. Dia lupa bahwa dia hanya perlu menekan bel di sisi kepa
“Ah, eh … ya. Aku baik-baik saja.” Gallen gelagapan setelah mengumpulkan kembali segenap kesadarannya. Senyuman canggung menghias wajah pucatnya. Hellen memaksakan sudut bibirnya menjungkit naik, membentuk senyuman ramah, khas seorang dokter. “Apa yang Anda rasakan?” Gallen menggerakkan jari-jari tangan dan kakinya. Semua terasa normal. “Hanya sedikit pegal.” Hellen pindah ke sisi Gallen. “Itu wajar. Anda tidak sadarkan diri selama tiga minggu,” beritahunya sambil menempelkan stetoskop pada dada Gallen. ‘Selama itu?’ Melihat Hellen sedang berkonsentrasi mendengar detak jantungnya, Gallen menyimpan pertanyaan itu untuk diri sendiri. Ia tak menyangka serangan para preman bayaran itu bisa melumpuhkan dirinya untuk waktu yang cukup lama. “Jika tidak ada keluhan, Anda bisa pulang sore ini.” “Apa itu artinya kakak saya sungguh baik-baik saja, Dok?” Wajah Falisha berbinar cerah. Dia tidak mampu menyemb
Tiga orang anak buah Codet bergerak cepat melaksanakan perintah sang bos. “Ja–jangan, Bos .…” Ghifari merengek tak berdaya ketika kaki tangan Codet keluar dari kamar tidurnya. Salah satu dari mereka mengancakkan dokumen penting kepemilikan rumah dengan seringai penuh kemenangan sekaligus mengejek. Codet merampas dokumen di tangan anak buahnya dan membolak-balik berkas itu sekilas. “Bagus! Bos Besar pasti senang menerima ini,” kekehnya, merasa bangga atas kinerja gerak cepat anak buahnya. Perhatiannya berbalik kepada Ghifari. “Dasar bodoh! Kalau kau menyerahkan dokumen ini dari awal, aku tidak perlu menyiksamu.” Codet mengangkat kakinya dari dada Ghifari setelah memberikan tekanan memutar, membuat Ghifari semakin meringis. Begitu badannya bebas dari injakan penagih utang itu, Ghifari bergegas memburu Codet. Kedua tangannya melingkar pada betis Codet. Menahan langkah lelaki itu agar tidak pergi dari rumahnya. “Tolong, jan
Codet menendang Ghifari. “Bangun! Kau membuat warna sepatuku menjadi pudar.” Tak ingin membuang kesempatan, Ghifari buru-buru bangkit. Dia membungkuk di hadapan Codet. “Aku akan selalu mengingat kebaikan Anda, Bos!” “Sudah seharusnya begitu, bukan?” Codet kembali mengalihkan perhatiannya pada Falisha. “Sesuai janjimu, kau akan melakukan apa pun untukku, bukan?” Falisha melirik ayahnya. Darah masih mengalir di sudut bibir Ghifari. Hati Falisha terenyuh menyaksikan penderitaan ayahnya. Lalu, dia mengangguk. “Bagus! Kalau begitu, mulai malam ini kau harus menemaniku,” kata Codet. Matanya berkilat. “Kau hanya boleh pulang setelah ayahmu melunasi semua utangnya.” Mendengar permintaan konyol Codet, mulut Falisha ternganga. Walaupun dia sudah bisa memprediksi kemungkinan adanya keinginan kotor yang melintas di benak Codet, tetap saja dia kaget sekaligus marah. “Dalam mimpimu!” Senyum di wajah Codet menghilang. Falisha
Falisha membuka dompet. Tidak banyak uang yang tersisa. Sekadar cukup untuk membayar ongkos taksi.Melirik pada ayahnya yang setengah pingsan, Falisha tidak punya pilihan selain memesan taksi online. Ayahnya harus segera mendapat perawatan.Kurang dari setengah jam, Falisha dan Ghifari tiba di rumah sakit. Kali ini nasib mereka sangat mujur karena langsung bertemu dengan Dokter Hellen.“Apa yang terjadi?” tanya Hellen, mengamati ekspresi kesakitan pada wajah Ghifari. Keningnya mengerut.“Kecelakaan. Tolong selamatkan ayah saya, Dok!”Falisha enggan mengungkap kebenaran di balik cedera yang dialami Ghifari. Tak disangkal bahwa Hellen adalah wanita yang baik. Bagaimanapun, tetap ada hal-hal yang hanya pantas untuk disimpan sendiri.Berpikir bahwa kejujurannya mungkin bisa mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi keselamatan Ghifari, tentu saja berbohong menjadi pilihan terbaik saat itu.Selama melakuka