POV ANDRE
Tumpukkan arsip masih berserakkan di depanku, yaa seharian ini aku disodorkan setumpuk dokumen untuk dibaaca dan dipelajari. Detektif Johan benar-benar membuatku belejar dan bekerja keras, tapi sedikitpun aku tak keberatan dengan semuanya ini. Aku bahkan banyak belajar dan memahami semua hal yang terjadi di sekelilingku ini. Ternyata tak semudah membuat bakso. Hahaha....
Bekerja dengan detektif Johan ternyata bukan hanya untuk menyelidiki tentang keluarga van Bosch, tapi juga untuk kasus-kasus yang lain. Kantor detektif Johan, kini sudah menjadi ruang kerjaku sekaligus rumah kedua buatku. Dengan berada di sini, aku bisa secara rutin menengok kekasih hatiku yang masih saja terbaring di tempat tidurnya. Sesekali aku berdiri untuk meluruskan punggung yang pegal karena terlalu lama duduk.
Kupandangi papan kerja yang sudah dipenuhi dengan klipingan berita kematian tragis. Ada beberapa yang ditandai
Mohon dukungannya dengan cara berikan komentar berupa kritik dan saran, VOTE, atau kamu bisa menambahkan Novel ini ke dalam pustakamu. Terima kasih readear!
POV ANDREAku bingung saat semua orang melihat ke arahku, sambil menunduk aku melihat kearah kaki kananku dan mengangkatnya. Sial..., aku melihat sesuatu yang sangat diluar dugaan. Aku baru saja menginjak sebuah bola mata manusia. Ahhh..., ngapain juga ada bola mata berwarna putih kekuningan dengan leleran darah di bawah sana. HOOOEEEKK! Aku benar-benar tak bisa menahan lagi. Guncangan diperutku semakin kuat. Tanpa berpikir lagi aku langsung berlari ke arah wastafel yang berada dekat pintu kamar. Dengan sukses muntahanku keluar di sana."Ini bagaimana sih, tim forensik! Koq potongan tubuhnya nggak disatuin?" Terdengar suara inspektur James yang menegur anak buahnya.Setelah puas mengeluarkan rasa maluku ehh muntahanku, aku menatap cermin. Wajahku terlihat pucat namun ada yang lebih membuat wajahku bertambah pucat, aku melihat pantulan bayangan sebuah kepala yang terlepas dari tubuhnya dengan kedua bola
POV BALANCER Malam sudah menjadikan diri ini sosok yang penuh dengan dahaga akan aroma darah, rasa haus ini membuatku terus sibuk memburu nyawa para elemental maupun para pengikut Thomas yang sudah mengabdikan dirinya pada sosok iblis yang bernama Azrael. Ratusan nyawa sudah kurenggut dengan tangan ini tanpa ampun, karena memang sudah kewajibanku sebagai seorang Balancer. Kutukan yang terus melekat dalam jiwaku, membuatku hidup dalam waktu yang lama dalam kesendirian. Seandainya saja saat itu aku tak menghalangi Thomas meneguk air dari cawan suci, pasti permintaan itu tak akan terkabulkan. Tak akan ada para pengguna elemen dan tak ada Dark Lantern yang terus ingin menjadi pemusnah dari para elemental. Termasuk diriku. Ada satu hal yang masih bisa membuatku tersenyum saat ini, para pengguna elemen kini menyadari keberadaan mereka dan mulai membentuk kelompok yang bisa menjadi pertahanan mereka dalam menghadapi Dark Lantern. Aku
POV ANDRE Aku merasa hari-hari yang kulewati semakin berat, mulai dari rasa khawatir tentang keadaan Maria yang belum juga ada kemajuan hingga aktivitas ektrimku bersama detektif Johan. Kejadian kemarin sungguh membuatku berusaha keras mengatasi rasa mualku setelah kemarin menyaksikan bagaimana darah dan anggota tubuh manusia yang tercecer di hadapanku. Kejadian itu membuat selera makanku terganggu, belum lagi rasa malu yang aku dapat. Semua yang aku makan sebelum sampai di tempat kejadian terkuras habis, dimuntahkan semua. Bukan hanya satu kali aku muntah tapi setiap habis makan aku selalu teringat, apalagi bola mata itu...., hoekkk! Ahhh sungguh aku tak tahan, perutku seakan kembali dikocok dan makanan yang baru aku masukin ke perut pun terpaksa dikeluarkan lagi. Bahkan untuk beberapa hari aku masih terus seperti itu. Hari ini aku meminta libur pada detektif Johan, selain untuk menyegarkan pikiran aku pun ingin melupakan dulu keja
POV ANDRE Suasana warung baksoku sangat mendukung, pasalnya selama aku mengobrol dengan Puri belum ada pelanggan yang datang lagi. Ibuku hanya tersenyum dari jauh saat melihatku asyik ngobrol sama cewek berambut ungu ini. "Dre, ngomong-ngomong kamu sudah punya pacar?" tanya Puri, dia terlihat manis di mataku saat bertanya seperti itu. "Hmmm..., punya sih tapi...," jawabku menggantung ucapanku. Jujur aku bingung mau menjawabnya. "Tapi kenapa tuh? Cerita aja lah..., aku siap dengarin kok," kata Puri, sambil mulutnya sibuk mengunyah potongan somay. "Ceritanya panjang ....," jawabku sambil menahan senyum. Keliatan banget nih cewek pingin tahu tentang aku. "Ngak apa-apa aku banyak waktu kok," jawabnya. "Aku sudah lama pacaran dengan teman sekolahku, tapi beberapa waktu lalu dia mengungkapkan perasaan jujurnya padaku, aku sempat kaget dan tak ingin begitu saja melepaskan dia...." "Waah..., dia
POV ANDRE Sore ini aku sudah bersiap untuk mengunjungi Maria. Setengah dikejar hantu aku menjalankan motorku agar bisa sampai dengan cepat. Aku sudah berdiri di depan pintu rumah Detektif Johan, baru dua hari tidak datang ke rumah ini. Hatiku sudah merasakan rasa kangen pada Maria yang masih terbaring lemah di kamarnya. Sesaat kurapikan bajuku sebelum mengetuk pintu rumah kupastikan kalau penampilanku sudah rapi. TOK... TOK... TOk Aku mengetuk pintu rumah detektif Johan, tak lama terdengar suara langkah kaki yang menghampiri pintu. Begitu daun pintu terbuka trlihat wajah cantik ibu nya Maria yang tersenyum menyambutku. "Selamat sore, tante!" Salamku sambil sedikit membungkukkan badan. "Hei Andre, sore juga..., ayoo sini masuk!" katanya sambil membuka lebar daun pintu. "Gimana kondisi Maria sekarang, Tante?" tanyaku saat kami sudah berada di dalam rumah. "Yaaa..., gitulah Dre, kamu langsung naik
POV ANDRE Malam itu aku pulang dengan hati yang masih dongkol pada Ray, entah apa yang membuat Maria begitu mencintai Ray. Padahal sebelumnya dia baik-baik saja denganku, mencintaiku dan selalu ada untukku. Selama menjalin hubungan denganku, Maria selalu terlihat ceria dan hari-hari yang kami lalui bersama begitu menyenangkan. "Sialan kamu Ray!" gerutuku sepanjang jalan, beberapa kali aku menumpahkan kekesalanku dengan menghentakkan kakiku distep motor. Kutancap gas motorku dengan kesal, meliuk-liuk di antara lalu lintas yang mulai padat. Beberapa bunyi klakson sempat merecoki perjalananku dari kendaraan yang aku lewati, mereka semua memberiku peringatan bahkan ada beberapa yang memakiku. Aku tak peduli! Drr... Drrt.. Drrt. Suara panggilan di ponselku berbunyi beberapa kali, sebenarnya aku sangat kesal. tapi suara telpon terus-terus berbunyi. aku terpaksa meminggirkan motorku dan berhenti
POV ALEX Aku tak menyangka sama sekali, kelompok The LMNTAL yang aku bentuk ternyata mampu menarik para pengguna elemen untuk bergabung dan berjuang bersama. Kami para pengguna elemen sudah tak mau lagi jadi sasaran perburuan dan jadi korban kekejian orang-orang yang menamakan dirinya SDI. Dengan adanya The LMNTAL kami bersatu untuk saling melindungi dan melawan pada kesewenang-wenangan mereka. Kami tak ingin cari keributan, kami sama seperti manusia yang lain yang ingin hidup. Tapi kami butuh ketenangan dan tak mau terus diburu oleh para agen dari SDI. Pergerakan kami terus diawasi bahkan setelah pembalasanku pada salah satu agen SDI, mereka malah semakin menjadi memburu kami. Bentrokan pun tak bisa dihindari walau kami sudah berusaha untuk sembunyi dan berbaur dengan orang biasa. Terdengar suara ribut-ribut dilantai bawah, aku langsung keluar dari ruangan yang bisa dibilang kamarku. Terlihat Tim berlari ke arahku dengan wajah yang tegan
POV ALEX Aku terus bergerak dan bisa sampai dihalaman gedung apartemen, kini di depanku bukan lagi tim anti huru hara tapi dengan jelas aku melihat para anggota SDI dengan jolt mereka yang siap digunakan. Beberapa dari anggota SDI melepaskan tembakan ke arahku, tapi dengan kekuatan angin yang aku kuasai, peluru-peluru itu aku alihkan ke arah lain dan sebagian malah nyasar pada anggota polisi. Dengan kekuatan angin yang melindungiku sejak tadi aku berhasil masuk ke dalam apatemen. Kekuatan angin semakin besar berada di tubuhku, aku bahkan mendengar bisikan-bisikan angin diseluruh tanganku. Kini aku bisa melihat elemen anginku membentuk sebuah pedang yang sangat besar. Pusaran-pusaran angin membungkus kedua tanganku hingga menyerupai bor yang siap menerjang apapun yang menghalangi jalanku. Berkali-kali kegibaskan tanganku untuk menghantam orang-orang SDI yang bersenjata dan memuntahkan pelurunya ke arahku. Mereka terhempas jauh bersama s