Share

Jangan Berlagak, Karena Kau Adalah Sumber Masalahnya!

Eritha berangkat ke sekolah dengan seluruh energi yang meluruh dari dirinya. Semalam ia tak bisa tidur. Ia tak bisa berhenti memikirkan bagaimana kejadian besok. Meskipun hari kemarin ia bisa menghindari pria yang bernama Arlando itu, tapi ia sadar bahwa ia tak bisa melakukan itu selamanya. Terlebih mereka teman sekelas, pasti ada banyak hal yang harus dilakukan teman sekelas, walaupun tidak dekat satu sama lain. 

Itu belum lagi dengan adanya kemungkinan pria lain. Bagaimanapun laki-laki tampan tak hanya ada satu di sekolah sebesar itu. Pasti ada beberapa. 

Bagaimana jika ia bertemu dengan beberapa sekaligus dan menunjukkan tanda-tanda trauma?

Padahal ia ingin merahasiakan hal itu di sekolahnya yang baru.

Pikiran demi pikiran membuat terlalu kalut pada masalahnya. Hingga ketika ia tersadar, ia melihat bahwa gerbang sekolah yang sangat ingin dihindari olehnya ternyata sudah ada di depan mata. 

Di dalam hati ia mulai memikir-mikirkan hal yang tidak jelas dan mulai berimajinasi yang berlebihan. 

Bagaimana jika ia pura-pura sakit saja dan pulang ke rumah? Atau ia membolos saja dan pergi ke tempat lain agar orang tuanya tidak merasa khawatir, serta mengira dirinya sedang bersekolah?

Namun akal sehatnya menyahut semua ide pikiran tak jelas itu dan menghalaunya jauh-jauh. 

Jika ia pura-pura sakit dan pulang ke rumah, besok ia pasti harus datang ke sekolah juga. Jadi ia hanya menunda untuk menghindari kenyataan yang harus ia hadapi cepat atau lambat.

Lalu mengenai membolos, baiklah, orang tuanya akan merasa tenang sesaat. Mereka akan mengira dirinya berada di sekolah dan bisa menghadapi traumanya. Namun jika ia membolos terus, tentu saja pihak sekolah akan menghubunginya dan akan bertanya mengenai keadaannya. Lalu orang tuanya akan bertanya padanya dan ia harus menjawab apa? 'Takut pada satu pria', begitu? Orang tuanya pasti akan menjadi sangat khawatir, dan tak hanya itu, masalah traumanya bisa menjadi membesar dan ia akan dianggap anak nakal di sekolah.

Sambil menggelengkan kepala, Eritha membantah ide gagasannya yang gila. Lalu menatap sekolah dengan selagi menguatkan diri.

"Baiklah, aku pasti bisa. Aku akan baik-baik saja," gumamnya yang kemudian langsung runtuh dalam sekejap ketika ia mulai membayangkan ada pria itu di dalam gedung sekolah tersebut. 

Mendadak langkah yang ia harapkan akan menjadi langkah kaki yang keren dan berwibawa, menjadi langkah jalan seorang pengecut yang terus-menerus menghela napas selagi menatap ke bawah. 

Bagaimana ia bisa menjalani harinya jika ia sudah menjalani awal harinya dengan lemas seperti ini? 

Ia merasa dunianya sudah runtuh dan nyaris seperti khiamat. Bahkan jika memikirkan khiamat, ia pasti akan menyambut kejadian menakutkan itu dengan gembira. Karena jika orang lain takut khiamat akibat memiliki banyak hal yang ingin dilakukan, sebaliknya Eritha merasa senang dunia akan berakhir sebab ia merasa ingin bersembunyi dari hari esoknya yang tiada harapan. 

Namun sayang sekali, khiamat tidak bisa menyelamatkan Eritha. Bahkan ketika wanita itu memasuki sekolahnya, ia tidak bisa menghindarkan dirinya dari sosok Arlando yang sedang bermain basket di lapangan depan. 

Dengan mengalihkan wajahnya ke arah lain, Eritha sedang mencoba untuk menutupi identitasnya dari pria itu. Tak hanya memalingkan wajah, Eritha juga berjalan secepat mungkin dengan kakinya agar jika sedapat mungkin, ia dapat melewati lapangan itu tanpa menarik banyak perhatian.

"Eritha," sapa seorang pria yang jika ia teliti baik-baik, suara tersebut berasal dari arah lapangan basket. 

Kakinya berhenti di tempat dan dengan mengerutkan dahi, ia meratapi nasib paginya.

Dengan semua strategi yang dimilikinya, bagaimana masih ada orang yang mengenalinya? Apakah ada nama di belakang kepalanya? Ataukah ia berjalan dengan sangat aneh?

"Eritha," panggil pria itu sekali lagi yang membuatnya mau tak mau harus menanggapi sapaan ramah yang diberikan padanya.

Semoga bukan pria itu. Semoga bukan dia.

Perlahan Eritha menengok ke arah lapangan basket dan menatap pria ramah yang sedang menegur sapa dirinya. 

Sontak ia menghela napas lega, ketika melihat pria yang menyapanya adalah Eric Philip, teman sekelasnya yang duduk di bangku belakang Eritha. 

"Ah, Eric. Selamat pagi."

"Selamat pagi." Eric menunjukkan senyumnya yang menawan, yang membuat wanita sekitarnya tersenyum penuh arti. 

Yah, Eric adalah pria yang cukup tampan. Melihat bagaimana para wanita melirik ke arahnya, bisa dibilang dia cukup tampan. Namun melihat trauma Eritha tidak terpengaruh oleh pesonanya, maka hanya ada satu jawaban untuk itu. 

Eric bukan pria tipenya. Meskipun dia cukup tampan, tapi dia bukan laki-laki yang masuk dalam kategori menarik baginya. 

'Hah, andai semua pria tampan sepertinya. Ia tidak perlu mengkhawatirkan traumanya lagi.'

Baru ia berpikir demikian, ekor mata Eritha menangkap sosok Arlando yang berdiri tak jauh dari Eric. Pria itu juga menatapnya, mungkin dia berharap akan mendapat sapaan pagi sebagai teman satu kelas. Namun bagaimana ia bisa menyapa jika jantungnya berdegup sekeras ini?

Eritha pun yang menghadapi gejolak traumanya, kini ingin menangis di dalam hati lantaran pria tampan itu membuat Eritha takut kalau akan ada sesuatu yang salah pada jantungnya karena bergetar sekencang ini. 

Lalu tanpa tahu bagaimana kedalaman perasaannya, Eric menatap Eritha dan Arlando secara bergantian. 

Di dalam hati, ia berharap pria itu tak salah paham. Walaupun ternyata dia salah paham juga. 

Dengan gaya yang berusaha perhatian, Eric menarik Arlando untuk mendekatinya. 

'Jangan! Kumohon, jangan!' ucapnya dalam hati ketika langkah mereka semakin mendekat dan kedua pria itu tak jauh lagi dari posisinya.

"Eritha. Kau pasti sudah pernah melihatnya, kan?" ujar Eric dengan sedikit basa-basi untuk sebuah tujuan, yaitu memperkenalkan mereka.

'Aku sudah melihatnya dan aku tidak berharap akan melihat pria itu lagi, jadi bawa dia pergi dari hadapanku.'

Namun karena ia hanya dapat mengungkapkannya dalam benaknya saja, Eric terus membawa Arlando semakin mendekat hingga Eritha bertanya-tanya seberapa dekat lagi dia akan membawanya. 

"Dia teman sekelas kita. Namun karena semua orang ingin berkenalan denganmu, kalian pasti belum berkenalan," ujarnya dengan bangga, seolah sedang membantunya memperluas pertemanan. 

'Hentikan, aku tidak ingin berkenalan dengannya. Jadi jangan perkenalkan kami.'

Lalu mereka pun akhirnya berdiri di depannya dan tanpa sadar Eritha mulai menahan napas. 

Rasa mual memenuhi dirinya dan kini ia mulai merasa berkunang-kunang. 

"Perkenalkan, dia Arlando." Eric terus melanjutkan perkenalannya tanpa menyadari bahwa Eritha sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk tetap berdiri tegak. 

Lalu dengan serangan mendadak, pria yang memicu traumanya itu, dia mengulurkan tangannya yang membuat Eritha merasa semakin sakit kepala, "Aku sudah mendengar perkenalanmu kemarin, jadi salam kenal."

Dengan lengannya yang lunglai, Eritha ingin menjabat tangan pria itu. Namun yang terjadi ia langsung tak sadarkan diri bahkan sebelum ia berhasil meraih tangannya.

"Eritha. Eritha," seru Arlando yang masuk ke dalam telinganya sebelum ia benar-benar kehilangan kesadaran.

'Diamlah! Jangan berlagak peduli. Lagipula aku jadi begini karena kau!"

...****************...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status