"Mmm …tapi, Mak, Imron ada permintaan. "Apa, Le?" tanyaku penasaran. Bagas dan Wita pun memandang ke arah Imron. "Mmm …itu …"Kenapa Imron jadi gugup gitu ya. Aku kok jadi curiga. Sebenarnya apa permintaan Imron. "Apaan, Mas? tanya Wita dengan nada tak sabar. "Mas mau …mau ngajak Abil juga, gimana? Boleh, kan?" tanya Imron malu-malu. "Oalah, Mas …Mas, kirain apa! Ya, jelas bolehlah, Mas. Malah Wita senang kalau Kak Abil bisa ikutan!" jawab Wita bersemangat. "Iyo, Le. Mak juga senang kok, jika Abil mau ngikut," timpalku. "Alhamdulillah, kalau begitu. Nanti Imron kasih tau Abil secepatnya," jawab Imron. Wita dan Bagas pulang sebelum magrib. Mereka ternyata membawa lauk untukku dan Imron. Sekalian memberitahukan tentang rencana ingin mengunjungi Bu Erna, Ibunya Bagas. Alhamdulillah, jadi aku tidak perlu memasak. Setelah solat isya dan mengaji, aku merebahkan diri di ranjang. Sambil memegang tasbih kulantunkan bacaan zikir dalam hati. Tok! Tok! Tok! "Mak, udah tidur ya?"T
Oh ya, Pak kenalkan ini besan saya, mertua Wita," ucapku sambil menunjuk Ibunya Bagas yang berdiri di belakangku. Ketika Ibunya Bagas mendekati Pak Bimo, mereka berdua saling terkejut dan bertatapan lama. "Mbak Erna?" ucap Pak Bimo tersentak. Begitu juga dengan Ibunya Bagas. "Kamu?""Pak! Kamu kenal dengan Ibu ini?!" tanya Bu Ratna. Pak Bimo diam membisu. Terlihat wajahnya yang seketika berubah pucat dan cemas. Ada apa dengan Pak Bimo. Apakah dia telah mengenal Ibunya Bagas sebelum ini. Kenapa raut wajahnya menyiratkan ketakutan. Kutatap wajah Dek Erna. Bertolak belakang dengan Pak Bimo, justru wajahnya menunjukkan emosi yang menggebu. Seperti menyimpan kemarahan yang telah lama. "Ternyata, kita ketemu lagi ya, Bim?" Ibunya Bagas mendekati Pak Bimo yang malahan melangkah mundur. "Bu, Ibu kenal sama mertua Mas Imron?" Bagas bertanya dengan nada heran melihat perilaku yang tak biasa dari Pak Bimo. "Tentu saja Ibu kenal, Gas! Sangat mengenal malah!" jawab Ibunya dengan nada sinis.
"Mbak pasti bohong! Mbak cuma mau nakut-nakuti saya saja, kan? Mbak gak punya bukti dan saksi! Itu hanya rekayasa Mbak, biar saya menyerahkan harta tersebut!" balas Pak Bimo dengan nada tak yakin. "Saya gak bohong! Kalau kamu gak percaya, mau saya hubungi mantan Kades kampung Sejahtera yang telah kamu sogok?!""A …apa? Mbak sudah tahu?" jawab Pak Bimo terbata-bata. "Tentu saja! Makanya saya bilang mau bawa kasus ini ke ranah hukum, dan kamu malah meremehkan saya!"Pak Bimo semakin terlihat gelisah. Wajahnya berkeringat padahal cuaca cukup adem. Aku yakin, dia sangat keberatan harus mengembalikan harta itu. Namun di sisi lain, dia takut bakalan di penjara. "Ja …jadi mau Mbak gimana?" tanya Pak Bimo akhirnya dengan nada pasrah. "Saya mau kamu kembalikan semua yang kamu ambil!" jawab Ibu Bagas lantang. "A …apa?! Gak bisa gitu, Mbak! Selama ini saya sudah bersusah payah membangunnya dari nol, mana mungkin saya harus kembalikan semuanya!" Pak Bimo tak terima. "Benar itu! Suami say
Inda_melKami semua menoleh ke sumber suara. Aku dan Imron terkejut melihatnya. Ya Allah kenapa jadi begini? Dini keluar dengan hanya menggunakan daster tanpa lengan. Rambutnya acak-acakan. Wajahnya pucat dan terlihat lebih tirus. Dia memandang kami semua yang ada di ruang tamu. Tatapannya berhenti ke arah Bagas. "Gas, kamu datang?" tanya Dini seraya melangkah dan ingin langsung menghambur ke arah Bagas. Spontan ibunya Bagas langsung menghadang Dini dengan berdiri di depan Bagas. "Apaan kamu? Kok malah dekati Bagas?!" tanya Ibunya Bagas dengan nada ketus. "Ibu siapa? Saya gak ada urusan sama Ibu! Minggir! jawab Dini tak kalah ketus. Astaghfirullah, anak itu. Sudah diberi cobaan bukannya sadar malah semakin menjadi-jadi. Sikapnya tidak sopan sama sekali kepada orang yang lebih tua. "Din, ini Ibunya Bagas!" jelasku. Dini menatapku dengan raut wajah tak suka. Dia melengos tak mengindahkan ucapanku. Aku hanya bisa beristighfar dalam hati. "Saya gak percaya! Gas, tolong usir Ibu i
"Bu, Bagas masih penasaran dari tadi. Apa bener Ibu punya bukti dan saksi atas kejahatan Paklek Bimo? Seingat Bagas Ibu pernah bilang, kan kalau susah mau menuntutnya. Wita memandang dengan tatapan heran. Bingung mungkin karena Bagas memanggil Pak Bimo dengan sebutan Paklek. "Sebenarnya Ibu hanya mencoba menggertak Paklekmu itu. Ternyata nyalinya masih seperti dulu. Dasar pengecut! Nyali seujung kuku sok mau maling!" ujar Ibunya Bagas dengan nada sedikit emosi. "Bu, ini …maksudnya apa? Kenapa Ibu menyebut Pak Bimo, Bapaknya Dini dengan sebutan Paklek? Wita bingung nih, Bu?!" tanya Wita penasaran. "Eh iya, Ibu lupa jelasin sama kamu, Nduk! Jadi, ternyata Bapaknya Dini itu adalah adik tiri ayahnya Bagas. Dia itu dulunya sudah mengambil tanpa izin seluruh warisan untuk ayahnya Bagas. Ibu pernah cerita, kan sama kamu Nduk, yang Ibu harus bersusah-payah mencari uang untuk Bagas sampe menahan lapar. Itu semua karena dia. Tapi, Alhamdulillah, Ibu berhasil mengambil sebagian warisan yang
Ternyata tetangga depan rumah, Bu Leli yang datang. "Mana Imron?" tanya Bu Leli tanpa basa-basi atau ngucapin salam. "Ada di dalam. Emang Bu Leli ada perlu apa sama Imron?" tanyaku penasaran. Jujur aku benar-benar heran tiba-tiba Bu Leli ke sini nanyain Imron. Karena semenjak Dini kami antar waktu itu, Bu Leli tak pernah memijakkan kakinya di rumahku. "Saya mau ngomong, penting! Dah, cepat panggil Imron!" ucapnya dengan nada memerintah. "Bentar saya panggilkan, silahkan masuk, Bu!" ajakku. Bu Leli langsung masuk dan duduk di sofa. Aku segera menuju dapur untuk memanggil Imron. "Im, ada Bu Leli," ucapku. Imron mengernyitkan dahinya. Dia menghentikan tangannya yang akan mengambil nasi. "Tumben, Mak!" ujar Imron heran. "Iya, Mak juga heran. Tapi, pas Mak nanya tadi katanya mau ngomong penting sama kamu!" jawabku. Imron segera berdiri dan melangkah ke depan. Aku menyusul di belakangnya. "Bu Leli, ada apa, Bu?" tanya Imron sembari duduk. Aku pun ikut duduk di sebelah Imron."Im,
"Lagi di mana?! Kamu ndak papa kan, Le?! tanyaku cemas karena mendengar suara Imron yang panik. "Ndak, Mak. Imron gak papa! Cuma sekarang Imron lagi di rumah sakit.""Hah! Apa? Kamu kenapa toh, Le?" tanyaku lagi. Hatiku dilanda kecemasan. Pikiranku sudah berkelana yang tidak-tidak. Ya Allah lindungi anakku. "Mak, tenang! Mak minum dulu!" Abil menyodorkan segelas air kepadaku. "Biar Abil yang ngomong, Mak!" Aku langsung menyodorkan hapeku. "Im, ni aku Abil. Kamu lagi dimana?" Kulihat Abil menganggukkan kepalanya. Entah apa yang mereka bicarakan aku pun tak tau. Pikiran dan hatiku sudah tidak karuan. "Oh gitu, ya sudah nanti aku yang ngabari ke Ibunya sekalian nanti bareng Mak juga kesana," ucap Abil di telepon. "Oke, kamu urus gih di sana! Kami langsung otw ya!"Abil menyudahi percakapannya dengan Imron. Dan menyodorkan kembali hapeku. "Imron kenapa, Bil?" tanyaku dengan nada cemas. Abil tersenyum memandangku kemudian menggenggam tanganku. "Imron gak papa, Mak!""Tapi tadi bi
Bibirnya terantuk ke bagian belakang kursi Abil. Yah, sedikit jontor dan merah. Mungkin ini peringatan kali ya dari Allah agar mulut itu dijaga sedikit jangan terlalu julid ke orang. "Kamu gimana sih, Bil?! Memble nih bibir saya!" sungut Bu Leli sambil meringis menahan sakit di bibirnya. "Maaf, Bu gak sengaja. Tiba-tiba aja ada kucing lewat. Spontan saya langsung ngerem," jelas Abil sambil berusaha untuk tidak tertawa. Kemudian Abil kembali melajukan mobil dengan kecepatan sedang. "Maaf …maaf! Kebangetan kamu!" gerutu Bu Leli"Ya sudah! Jadi Ibu maunya apa?" tanya Abil. "Kamu harus tanggung jawab!""Tanggung jawab apa?" tanya Abil kebingungan. "Yah …tanggung jawab karena kamu sudah buat bibir saya sakit," jawab Bu Leli. "Jadi, Bu Leli mau berobat. Ya udah sekalian nanti pas di rumah sakit kita cek.""Gak, saya gak mau tanggung jawab itu, yang lain saja!""Yang lain …? Yang lain itu maksudnya gimana ya, Bu?""Saya mau kamu belikan bubur ayam kalau udah sampe di rumah sakit nanti!