Aciel menghela napasnya lega, dia menidurkan tubuhnya di lantai sambil memandangi langit malam yang berisikan banyak bintang-bintang kecil dari atap rumah Rayzeul yang terbuka.
“Ini sudah jam sepuluh malam tapi si Aredel itu belum juga kembali,” ucap Rayzeul sambil meminum kopinya.
“Aku akan menyusulnya nanti, aku istirahat dulu sebentar.” Aciel memejamkan matanya kemudian menggunakan kedua tangannya sebagai bantal kepalanya.
“Cepat, malam hari di hutan ini sangatlah berbahaya, aku jadi khawatir padanya.” Rayzeul berbicara dengan nada yang datar lalu berjalan ke meja komputernya.
“Benarkah?! Aku harus cepat menyusulnya!” panick Aciel yang langsung berdiri dari tidurnya, lalu melangkahkan kakinya ke tangga.
“Kau mau mencarinya naik apa?” tanya Rayzeul yang berhasil menghentikan langkah Aciel.
“Jalan kaki?” tanya Aciel sambil menggarukkan kepalanya.
“Dasar bocah. Sini, aku pinjami kau sesuatu agar bisa mencari Aredel dengan cepat
Aredel dan Aciel kini tengah berjalan santai berdampingan, dengan tangan mereka yang saling bergandengan satu sama lain. Felix terbang di atas mereka, sambil sesekali mengeluarkan suara kicauan yang sangat keras menikmati sejuknya angin malam di padang bunga.Aredel tertawa kecil, kemudian bertanya pada Aciel. “Apa kau sudah puas sekarang Aciel?”Aciel mengerutkan kedua alisnya bingung lalu bertanya balik, “Puas apa?”“Melihat banyak hal baru. Kau telah bertemu berbagai macam makhluk, dan salah satu dari mereka bahkan menjadi temanmu.” Aredel melepaskan gandengan tangan mereka, menatap manik keemasan pria bersurai merah di depannya dengan hangat.“Ya, dan salah satunya menjadi kekasihku,” goda Aciel kemudian menggandeng tangan Aredel kembali“Tapi aku minta maaf, karena perjalanan kita tidak seperti dongeng-dongeng indah pengantar tidur lainnya. Padahal baru setengah perjalanan, tapi aku sudah b
Aciel, Aredel, Felix, serta penumpang baru mereka Rayzeul sedang menikmati sarapan pagi di mini jet. Aciel menyalakan mode auto pilot, agar dia bisa menikmati sarapannya dengan tenang dan nyaman.“Kau tahu kan arah jalan kita?” tanya Rayzeul lalu meletakkan mangkuknya yang sudah kosong di meja belakang, samping microfast.“Ada peta ajaib yang menunjukkan jalan, jadi aku yakin kita tidak akan tersesat kok. Rayzeul tidak perlu khawatir.” Aredel menggigit apel hijau yang ada di tangannya, kemudian mengunyah apel tersebut.“Ya, meskipun aku masih trauma dengan peta ajaib itu,” jawab Aciel lalu meletakkan mangkuk kosongnya di samping mangkuk Rayzeul.“Oh iya, apa perjalanan menuju Gunung Rinjanist itu berbahaya? Maksudnya seperti akan ada serangan dari para Orc, Troll, atau makhluk lain?” tanya Aredel.Rayzeul menggelengkan kepalanya lalu berkata, “Tentu saja tidak ada, kalian pasti mengalami hal ber
Aciel, Aredel, dan Rayzeul sedang berada di dalam rumah tua. Rumah tua tersebut milik tiga penyihir. Rumah itu berwarna abu-abu yang di dalamnya ada beberapa kursi kayu, kuali besar berwarna hitam dengan cairan hijau di dalamnya, dan beberapa kandang yang berisikan hewan-hewan seperti ular kecil, tikus, dan katak.“Bisakah kalian mengatakan apa yang kalian inginkan? Karena jujur saja, kami tidak memiliki banyak waktu,” ucap Aredel dengan nada sinis.“Jangan terburu-buru begitu, kita bahkan belum berkenalan,” jawab salah satu penyihir berbaju hijau dengan burung hantu hitam yang bertengger di pundaknya.“Iyah aku belum kenal kalian semua kecuali Rayzeul,” ucap penyihir dengan baju berwarna kuning.“Rayzeul kau kenal dia?” tanya Aciel sambil menunjukkan jarinya ke penyihir berbaju kuning dengan burung hantu putih yang bertengger di kepalanya.“Iyah, sebenarnya aku kenal mereka karena sering lewat
Aciel menghela napasnya kasar, kemudian terbang mengelilingi goa yang lembab dan gelap itu bersama Felix. Felix terbang di depannya, mengikuti pria bersurai merah itu dari belakang.“Aku tidak merasakan ada yang aneh disini, kalau pun ada pasti Felix menyadarinya lebih dulu,” batin Aciel sambil melihat sekelilingnya.Felix tiba-tiba berhenti terbang, dia melayangkan tubuhnya di udara dengan mata yang melihat ke bawah.“Kau melihat apa?” tanya Aciel kemudian ikut melihat ke arah pandangan Felix.Kosong, Aciel tidak melihat apa-apa disana kecuali tanah yang lembab, digenangi air.“Test … test … dua menit telah berlalu, waktunya menghitung mundur.” Suara tersebut keluar dari langit-langit goa, yang membuat Aciel mendongakkan kepalanya ke atas.“Sepuluh … Sembilan … delapan … tujuh … enam … lima … empat … tiga … dua … satu. Mula
Mata hijau milik Rayzeul menajam, surai putihnya yang indah kini telah basah dan penuh dengan keringat. Tangan kanan pria bermata hijau itu, tiada hentinya menebas serat-serat akar yang mati-matian berusaha melilit tubuhnya. Rayzeul mulai lelah, kerongkongannya mulai kering dan butuh asupan air.“Kalau kalian ingin air atau makanan mintalah pada kami, nanti akan kami berikan pada kalian,” ucap salah satu penyihir dengan suara yang sedikit nyaring.“Dasar kalian ini benar-benar,” batin Rayzeul.“Aku minta air!” teriak Rayzeul Lubang hitan dari langit muncul setelah Rayzeul meneriakan bahwa dia membutuhkan air. Dari lubang tersebut, keluarlah botol berwarna biru yang dapat memuat air satu liter di dalamnya. Rayzeul menggerakan tubuhnya gesit, sontak terbang menangkap botol tersebut ketika melihat ada sebuah lubang hitam di langit. Rayzeul membuka tutup botol tersebut, kemudian meminum air dari botol itu.&ld
Aciel menarik napasnya dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Mata emasnya memincing tajam ke arah tubuh monster berkepala ular tersebut. Pria bersurai merah seperti tomat itu menyunggingkan senyumannya, kemudian beberapa detik setelahnya tubuh yang tadinya berada di dekat langit-langit goa, kini telah berada di belakang monster berkepala ular tersebut. Monster berkepala ular tersebut menyadari kedatangan Aciel di belakangnya, kemudian dengan lincah monster itu membalikkan tubuhnya dan langsung menyerang Aciel dengan lidahnya yang panjang. Slapp Slapp Aciel terbang cepat menghindari serangan lidah beracun dari monster itu. Tubuhnya sudah mahir sekarang menggunakan jubah terbang milik Rayzeul. Aciel mengeluarkan tongkat halilintarnya, kemudian mengarahkan tongkat tersebut ke tubuh monster berkepala ular. Ctarr Ctarr Monster berkepala ular tersebut juga sudah semakin gesit menghindari serangan halilintar-halilin
Aciel menepuk-nepukkan kedua tangannya pada celana hitamnya yang kini sudah kotor, dan bahkan ada bagian yang sobek. “Baiklah aku sudah siap.”“Pada hitungan ke sepuluh, pintu berwarna merah akan muncul dihadapan mu. Setelah pintu tersebut muncul, kalian bisa langsung masuk ke dalamnya dan menolong teman kalian. Semoga beruntung!” seru Greeny, yang suaranya menggema di langit-langit goa tersebut.“Sepuluh … Sembilan … delapan … tujuh … enam … lima … empat … tiga … dua … satu.” Lucy menghentikkan hitungannya, kemudian beberapa detik sebelahnya muncullah pintu merah dihadapan Aciel dan Felix.Aciel menghembuskan napasnya pelan, tangan kanannya kini mulai memegang kenop pintu tersebut. Dengan mata emasnya yang terlihat berapi-api, dia memutar kenop pintu tersebut dan melangkah masuk ketika pintu itu terbuka.Baru saja melangkahkan kakinya masuk, wajah Aciel sud
Aciel, Rayzeul, Aredel, dan Felix telah masuk kembali ke mini jet mereka. Rayzeul yang memegang kendali kemudi mini jet kali ini, sedangkan Aciel tengah tertidur di kursi belakang. “Rayzeul … kita mau kemana?” tanya Aredel lalu mendudukkan dirinya di sebelah pria berambut putih itu. “Kita cari tempat berkemah dulu, kita harus istirahat sebelum ke kerajaan,” jawab Rayzeul. “Iyah, meskipun kita tidak tahu apa yang dimaksud dengan kacau tadi oleh para penyihir … setidaknya kita harus memulihkan tenaga dulu.” Aredel melirik tubuh Aciel yang kini sedang tertidur pulas di kursi belakang. “Kau pasti sangat mengkhawatirkannya ya.” Rayzeul tersenyum kecil seraya melirikkan mata hijaunya ke wajah Aredel. “Tentu saja! Apalagi, malah dia yang menolongku tadi … bukan aku yang menolongnya,” ucap Aredel dengan senyuman terpaksa dari bibir mungilnya. “Tapi kau keren, bisa mengembangkan sihir baru mu secepat itu.” Rayzeul menatap lurus ke depan, memper