Aredel membulatkan matanya yang hijau itu. Dia terkejut, ketika melihat makhluk putih besar berada tepat di belakangnya. “Beruang kutub raksasa?” Aredel menautkan kedua alisnya memperlihatkan ekspresi bingung.
Rooaarrr
Bugh
Aredel telat membuat lingkaran sihir pelindung, dan alhasil tubuhnya terpental jauh ke depan. Terjatuh tepat, di tumpukkan tebal salju putih.
Perempuan mungil itu mengaduh kesakitan, ketika merasakan pukulan keras pada tubuhnya. “Ugh … kenapa aku lambat sekali sih membuat lingkaran sihirnya.”
Habis sudah tubuhnya berwarna putih semua, akibat banyak serpihan salju yang menempel di seluruh tubuhnya.
Beruang kutub itu mulai melangkahkan kakinya menuju bola salju raksasa. Aredel berdecih pelan, lalu bangkit dan berlari cepat ke arah beruang kutub itu.
Cling
Aredel membuat lingkaran sihir dari tangan kanannya, yang kini sudah teracung ke depan menghadap makhluk putih besar itu.
Makhluk putih menyerupai gorilla itu berlari cepat, masuk ke dalam perkelahian antara beruang kutub dan cacing putih. Makhluk putih itu meraung, mengeluarkan butiran-butiran salju dari dalam mulutnya. Butiran salju tersebut sangat banyak sehingga menyebabkan beruang kutub dan cacing putih tertutup oleh salju. Tak menghiraukan apa yang para monster lakukan di belakangnya, Aredel fokus menyelamatkan kekasihnya yang berada di dalam bola es. Perempuan bersurai putih itu berusaha mencairkan es tersebut lagi. “Ugh sia-sia!” Aredel berteriak marah, otaknya tidak bisa berfungsi lagi saat ini, dan ditambah suara raungan dan dentuman-dentuam keras menghantuinya di belakang. “Semoga Yeti itu tidak mengincar kami,” gumam Aredel khawatir. “Aredel kenapa malah menjadi bola es raksasa?” tanya Rayzeul bingung sekaligus panik. “Ini semua salahku, aku bodoh. Aku terlalu panik ketika melihat Yeti ….” Aredel menundukkan wajahnya menyesal. “Tidak apa-apa,
Setelah menghangatkan diri dari salju-salju yang menempel pada tubuhnya sehabis pertarungan tadi, Aredel langsung masuk ke dalam kamar di mana Aciel sedang beristirahat. Aredel tengah duduk di kasur dengan tatapan sedihnya yang mengarah pada pria bersurai merah di kasur tersebut. Pria itu terbaring lemah, dengan wajahnya yang pucat, serta bibirnya yang kering. Sudah hampir tiga jam berlalu, dan hari sudah mulai malam tapi pria bersurai merah itu belum pulih juga. Aredel khawatir, membuat perempuan berusia lima ratus tahun itu menggunakan sihir penyembuhanya untuk menghangatkan tubuh Aciel, namun hasilnya nihil. Aciel tetap belum bangun dari tidurnya. “Padahal sudah aku hangatkan berkali-kali, kenapa dia tidak bangun juga?” batin Aredel khawatir. Kekasih Aciel itu lesu, menghela napasnya kasar. “Maaf yah Aciel … aku tidak bisa melindungimu.” Aredel menangkupkan tangan kanannya ke pipi Aciel, lalu mengelus-elus pipi tersebut dengan ibu jarinya. Tok
Aredel mencengkram kuat bahu pria bersurai merah di hadapannya ini, untuk menahan kegugupannya. Wajahnya kini sudah bertambah merah, begitupun juga Aciel. Seiring berjalannya waktu Aciel semakin mendekatkan wajahnya ke wajah cantik perempuan yang kini tengah duduk di pangkuannya.“Aku bisa merasakan deru napasnya,” batin Aredel.“Wajahnya memerah sama sepertiku, apa jantungnya juga berdegub dengan kencang?” batin Aredel lagi seraya menatap manik keemasan milik pria bersurai merah di depannya.“Aku … lapar,” ucap Aciel setelah berhasil membuat jarak antara wajah dia dan Aredel hanya berkisar lima senti.“Ya?” Aredel bingung, dia mengedip-ngedipkan matanya berulang kali berusaha untuk mencerna apa yang baru saja Aciel bilang tadi.“K-kau ingin m-makan?” tanya Aredel sekali lagi untuk memastikan.“Iyah aku lapar. Bukankah kau tadi yang menawariku makan?” bisik Aciel
Laboraturium Akademik Kesehatan Mental dan Tubuh Makhluk Hidup Ruangan seluas lima belas meter dengan tinggi sepuluh meter itu dipenuhi oleh orang-orang dengan jas-jas putih, berkacamata besar, serta sarung tangan. Beberapa dari mereka sibuk mencatat, mengetikkan sesuatu pada inblet mereka masing-masing. Atau bahkan beberapa dari mereka sibuk dengan peralatan-peralatan seperti pipet tetes, labu erlenmenyer, dan tabung reaksi. “Kau sudah menguji sample nomer 1150?” tanya salah satu orang pada perempuan berambut pirang. “Belum, aku belum mengujinya. Aku bingung, sepertinya kita mengambil sample racun dari Tuan Owen sangatlah sedikit jadi kurang untuk bahan percobaan,” jawab perempuan berambut pirang tesebut. “Kita ke kurangan Iodin,” sahut salah satu orang. “Tenang saja, kita bisa paka---“ jawab salah satu orang terpotong. “Talc dan Salicyl Acid juga habis,” sahut orang lain. “Habislah sudah kita, Profe
Hari Pertama Sehari setelah Tuan Putri Aurora memerintahkannya untuk mencari tahu sesuatu tentang laboraturium Penelitian Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi, dia langsung menyiapkan barang-barang yang diperlukannya untuk masuk ke dalam lab tersebut. Tuan Owen duduk di kursi kecil, samping ranjang rumah sakit. Ya, dia sedang berada di rumah sakit sekarang, lebih tepatnya di kamar inap Irimie. Dia sedang menunggu Tuan Putri Aurora. Beliau bilang dia akan mengunjungi Irimie hari ini sekaligus memberikan robot penjaganya untuk mejaga Irimie, dan memberikan sesuatu pada Tuan Owen. “Irimie aku tau kau gadis kuat, kakakmu pasti sedang mencarikan obat untuk menyembuhkan mu.” Tuan Owen mengelus surai panjang Irimie yang warnanya merah mirip sekali seperti warna rambut Kakanya, Aciel. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya suara ketukan pintu pun datang juga. Dari pintu tersebut muncullah seorang Putri memakai gaun biru muda selutut, dengan bawahny
Setelah memotret tabung-tabung, serta benda lainnya yang menurutnya mencurigakann. Akhirnya dia membuka pintu ruangan tersebut. Pria bersurai coklat itu mulai menengokkan kepalanya ke kanan, dan ke kiri melihat apakah ada orang yang lewat atau tidak. “Ini aneh, aku masuk dengan surat izin resmi, bahkan langsung dari keluarga kerajaan tapi mengapa terasa seperti maling?” gumamnya seraya berjalan santai di koridor lab tersebut. “Ruangan dua puluh, dua satu, dua dua ….” Tuan Owen bergumam ketika melihat huruf-huruf yang tertulis di pintu tiap ruang tersebut. “Semua ruangannya penuh, mana lagi yang gagang pintunya berwarna hijau yah?” tanya pria bersurai coklat itu pada diri sendiri. Mata pria baruh baya itu jeli, memperhatikan gagang pintu tiap ruangan. Hingga beberapa detik kemudian, dia menemukan pintu dengan gagang yang pintu berwarna merah. Dia memutar pelan gagang pintu tersebut, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu. Tida
Tuan Owen kembali ke istana kerajaan. Kali ini berbeda dengan yang kemarin, saat dia sampai di depan pintu istana ternyata tak disangka-sangka kedua robot penjaga itu ramah dan langsung mempersilahkan Tuan Owen masuk. “Silahkan Tuan Owen, Putri Aurora telah menunggu,” ujarnya. Tuan Owen menganggukkan kepalanya singkat, berkata terima kasih pada makhluk besi itu sebelum berjalan masuk ke dalam istana yang megah tersebut. Ini bukan pertama kalinya dia masuk ke dalam istana,. Namun dia tetap takjub ketika melihat ke dalam isi istana tersebut. Dinding-dinding istana yang di penuhi foto-foto Raja yang pertama hingga Raja Adelard, yakni Raja yang keseratus. Corak dinding yang berwarna coklat milo, dengan motif bunga anggrek berwarna coklat gelap, sangat kontras dengan bingkai foto-foto tersebut yang berwarna krem. Tak lupa dengan adanya furniture-furniture modern seperti meja terbang, tempat sampah penghancur otomatis yang berada di pojok ruangan, da
Aciel tengah duduk di ruang tamu bersama dengan Aredel yang kini sedang menyuapi Felix dengan sepotong buah apel. Aciel mengerucutkan bibirnya sebal, karena sudah setengah jam berlalu tapi Aredel malah lebih memilih menyuapi burung Phoenix itu dari pada Aciel yang baru saja bangun dari pingsannya. “Padahal aku yang sakit harusnya aku yang disuapi,” pikir pria bersurai merah itu kesal. Dia berdecih sebal, lalu mengambil piring berisi buah apel hijau itu dari tangan Aredel. “Kenapa Aciel? Felix sedang makan.” “Aku juga lapar! Aku ingin makan apel agar bisa cepat sehat!” ucap Aciel dengan bibirnya yang maju itu. “Kau baru makan siang tadi, apa itu tidak cukup?” tanya Aredel seraya mencoba mengambil piring tersebut dari tangan Aciel. “Tidak cukup!” ketus Aciel lalu memasukan dua sekaligus potongan apel ke dalam mulutnya. “Jangan makan buru-buru, nanti tersedak.” Aredel mengusap ibu jarinya di pinggir bibir Aciel, membersihkan sisa-sisa pot