Aredel mencengkram kuat bahu pria bersurai merah di hadapannya ini, untuk menahan kegugupannya. Wajahnya kini sudah bertambah merah, begitupun juga Aciel. Seiring berjalannya waktu Aciel semakin mendekatkan wajahnya ke wajah cantik perempuan yang kini tengah duduk di pangkuannya.
“Aku bisa merasakan deru napasnya,” batin Aredel.
“Wajahnya memerah sama sepertiku, apa jantungnya juga berdegub dengan kencang?” batin Aredel lagi seraya menatap manik keemasan milik pria bersurai merah di depannya.
“Aku … lapar,” ucap Aciel setelah berhasil membuat jarak antara wajah dia dan Aredel hanya berkisar lima senti.
“Ya?” Aredel bingung, dia mengedip-ngedipkan matanya berulang kali berusaha untuk mencerna apa yang baru saja Aciel bilang tadi.
“K-kau ingin m-makan?” tanya Aredel sekali lagi untuk memastikan.
“Iyah aku lapar. Bukankah kau tadi yang menawariku makan?” bisik Aciel
Laboraturium Akademik Kesehatan Mental dan Tubuh Makhluk Hidup Ruangan seluas lima belas meter dengan tinggi sepuluh meter itu dipenuhi oleh orang-orang dengan jas-jas putih, berkacamata besar, serta sarung tangan. Beberapa dari mereka sibuk mencatat, mengetikkan sesuatu pada inblet mereka masing-masing. Atau bahkan beberapa dari mereka sibuk dengan peralatan-peralatan seperti pipet tetes, labu erlenmenyer, dan tabung reaksi. “Kau sudah menguji sample nomer 1150?” tanya salah satu orang pada perempuan berambut pirang. “Belum, aku belum mengujinya. Aku bingung, sepertinya kita mengambil sample racun dari Tuan Owen sangatlah sedikit jadi kurang untuk bahan percobaan,” jawab perempuan berambut pirang tesebut. “Kita ke kurangan Iodin,” sahut salah satu orang. “Tenang saja, kita bisa paka---“ jawab salah satu orang terpotong. “Talc dan Salicyl Acid juga habis,” sahut orang lain. “Habislah sudah kita, Profe
Hari Pertama Sehari setelah Tuan Putri Aurora memerintahkannya untuk mencari tahu sesuatu tentang laboraturium Penelitian Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi, dia langsung menyiapkan barang-barang yang diperlukannya untuk masuk ke dalam lab tersebut. Tuan Owen duduk di kursi kecil, samping ranjang rumah sakit. Ya, dia sedang berada di rumah sakit sekarang, lebih tepatnya di kamar inap Irimie. Dia sedang menunggu Tuan Putri Aurora. Beliau bilang dia akan mengunjungi Irimie hari ini sekaligus memberikan robot penjaganya untuk mejaga Irimie, dan memberikan sesuatu pada Tuan Owen. “Irimie aku tau kau gadis kuat, kakakmu pasti sedang mencarikan obat untuk menyembuhkan mu.” Tuan Owen mengelus surai panjang Irimie yang warnanya merah mirip sekali seperti warna rambut Kakanya, Aciel. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya suara ketukan pintu pun datang juga. Dari pintu tersebut muncullah seorang Putri memakai gaun biru muda selutut, dengan bawahny
Setelah memotret tabung-tabung, serta benda lainnya yang menurutnya mencurigakann. Akhirnya dia membuka pintu ruangan tersebut. Pria bersurai coklat itu mulai menengokkan kepalanya ke kanan, dan ke kiri melihat apakah ada orang yang lewat atau tidak. “Ini aneh, aku masuk dengan surat izin resmi, bahkan langsung dari keluarga kerajaan tapi mengapa terasa seperti maling?” gumamnya seraya berjalan santai di koridor lab tersebut. “Ruangan dua puluh, dua satu, dua dua ….” Tuan Owen bergumam ketika melihat huruf-huruf yang tertulis di pintu tiap ruang tersebut. “Semua ruangannya penuh, mana lagi yang gagang pintunya berwarna hijau yah?” tanya pria bersurai coklat itu pada diri sendiri. Mata pria baruh baya itu jeli, memperhatikan gagang pintu tiap ruangan. Hingga beberapa detik kemudian, dia menemukan pintu dengan gagang yang pintu berwarna merah. Dia memutar pelan gagang pintu tersebut, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu. Tida
Tuan Owen kembali ke istana kerajaan. Kali ini berbeda dengan yang kemarin, saat dia sampai di depan pintu istana ternyata tak disangka-sangka kedua robot penjaga itu ramah dan langsung mempersilahkan Tuan Owen masuk. “Silahkan Tuan Owen, Putri Aurora telah menunggu,” ujarnya. Tuan Owen menganggukkan kepalanya singkat, berkata terima kasih pada makhluk besi itu sebelum berjalan masuk ke dalam istana yang megah tersebut. Ini bukan pertama kalinya dia masuk ke dalam istana,. Namun dia tetap takjub ketika melihat ke dalam isi istana tersebut. Dinding-dinding istana yang di penuhi foto-foto Raja yang pertama hingga Raja Adelard, yakni Raja yang keseratus. Corak dinding yang berwarna coklat milo, dengan motif bunga anggrek berwarna coklat gelap, sangat kontras dengan bingkai foto-foto tersebut yang berwarna krem. Tak lupa dengan adanya furniture-furniture modern seperti meja terbang, tempat sampah penghancur otomatis yang berada di pojok ruangan, da
Aciel tengah duduk di ruang tamu bersama dengan Aredel yang kini sedang menyuapi Felix dengan sepotong buah apel. Aciel mengerucutkan bibirnya sebal, karena sudah setengah jam berlalu tapi Aredel malah lebih memilih menyuapi burung Phoenix itu dari pada Aciel yang baru saja bangun dari pingsannya. “Padahal aku yang sakit harusnya aku yang disuapi,” pikir pria bersurai merah itu kesal. Dia berdecih sebal, lalu mengambil piring berisi buah apel hijau itu dari tangan Aredel. “Kenapa Aciel? Felix sedang makan.” “Aku juga lapar! Aku ingin makan apel agar bisa cepat sehat!” ucap Aciel dengan bibirnya yang maju itu. “Kau baru makan siang tadi, apa itu tidak cukup?” tanya Aredel seraya mencoba mengambil piring tersebut dari tangan Aciel. “Tidak cukup!” ketus Aciel lalu memasukan dua sekaligus potongan apel ke dalam mulutnya. “Jangan makan buru-buru, nanti tersedak.” Aredel mengusap ibu jarinya di pinggir bibir Aciel, membersihkan sisa-sisa pot
Kamar yang berisi seorang manusia, dan seorang elf tersebut lenggang. Laki-laki bersurai merah itu menyunggingkan senyuman nakalnya kemudian menarik wajah perempuan yang ada di depannya dengan lembut, membuat si empunya menutup kedua matanya. “Aredel … kenapa kau memejamkan matamu?” goda laki-laki di depannya yang tiba-tiba menghentikan tangannya. Perempuan bersurai putih itu membuka kedua matanya, wajahnya panas nan memerah bak kepiting rebus di dalam kuali. Aredel menggelengkan kepalanya cepat kemudian berbalik membelakangi pria bersurai merah itu. Aciel tertawa kecil kemudian memeluk tubuh mungil Aredel dari belakang. “Jangan peluk aku! Kau menyebalkan!” ketus Aredel dengan mulutnya yang mengerucut. “Wah … sepertinya seseorang kecewa karena tidak jadi di cium,” goda Aciel seraya membalikkan tubuh Aredel, agar kembali berhadapan dengannya. “Ti-tidak! Sudahlah aku ingin tidur,” gugup Aredel kemudian membalikkan lagi badannya membelakangi Acie
Aredel menghela napasnya kasar, menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri. “Aciel, lupakan apa yang aku katakan, fokus saja menyetir.” Aciel mengerutkan dahinya bingung. Kecurigaannya terhadap perempuan bersurai putih di depannya ini kian membesar. “Kenapa dia tidak ingin membicarakannya sih? Dia benar kekasihku bukan? Kenapa susah sekali untuk terbuka denganku?” batin Aciel. Pria bersurai merah itu kesal. Batinya terus menduga hal-hal buruk yang bisa saja terjadi. “Kalian jika ingin bertengkar tolong jangan di sini, aku ingin tidur.” Rayzeul berkata asal, kemudian menyandarkan dirinya di sandaran kursi. “Kau ini selalu tidur, disuruh mengendarai mini jet tidak mau.” Aciel mendengus sebal ketika mendengar penuturan dari Rayzeul. Meskipun niat Rayzeul baik, untuk mencairkan suasana tapi tetap saja itu membuat Aciel kesal. “Kalau kau tidak bisa mengatakannya … tidak apa-apa kok, aku sebenarnya hanya penasaran.” Aciel tersenyum manis ke arah Aredel seray
Aciel melangkah mundur, menjauh dari perempuan bermata hijau di depannya. Wajah cantik perempuan tersebut semakin terlihat senang, ketika dia menyunggingkan senyuman miringnya pada pria bersurai merah yang terlihat bingung.“Aciel … lari!” seru Rayzeul dari belakang mereka berdua.Perempuan bersurai putih itu tertawa licik. “Kenapa kau menghindariku? Bukankah kau cinta padaku Aciel?” Aredel melangkahkan kakinya maju, semakin dekat dengan pria bersurai merah tersebut.“A-aredel, b-bisakah k-kau menjelaskan apa yang terjadi?” tanya Aciel gugup dengan bibirnya yang bergetar.“Bagaimana ya … um apa kau tidak bisa melihat apa yang sedang aku lakukan? Aku mengacaukan semuanya, agar kau pergi menjauhi kerajaan agar rencanaku terlaksana dengan baik. Karena aku tahu, jika kau berada di sekitar istana pasti akan sulit.” Aredel tersenyum miring, kemudian menggenggam tangan Aciel yang kini bergetar hebat d