Ella yang memang sedang memandang ke arah jalanan luar aktivitas kota sana mulai memikirkan hal yang menimpanya tadi. Pada awalnya, dia pikir bersekolah di negara lain akan terasa menyenangkan karena ada banyak teman baru. Tapi, dia malah mendapatkan apa yang sebelumnya tidak dia pikirkan akan terjadi.
Flash back.
Bel berbunyi, bertanda bahwa jam pelajaran sekolah sudah berakhir. Seperti hari-hari sebelumnya, Ella akan menjadi siswa terakhir yang keluar dari kelas karena ada banyak sekali tatapan mata yang membuatnya risih, Ella tidak suka itu. Maka, dia hanya diam sampai semua orang keluar kelas dan hanya tersisa dia sendiri.
Barulah, ketika ruangan itu sudah sepi, Ella mulai berani untuk keluar. Menggenggam ujung tasnya dan mulai menyusuri lorong. Tapi, ada sebuah tangan yang menyeretnya sampai ke ujung lorong, tempat tersepi yang jarang di lalui oleh orang-orang selepas bel pulang berbunyi.
Sesampainya Rere di depan pintu kayu yang bertuliskan huruf E itu, dia langsung menekan kenop pintu tersebut. Namun, naas. Pintunya malah terkunci dari dalam. Perasaan Rere semakin tidak karuan ketika mendengar bunyi nyaring dari dalam, dari bunyinya saja Rere dapat menebak jika itu barang yang terjatuh. Tak lama, terdengar suara yang sama dari sumber yang sama, terus berulang seperti itu.Rere langsung mengetok pintu itu kuat-kuat sampai rasanya telapak tangannya terasa sakit seraya terus menyerukan nama Ella berulang kali."Ella! Hey, open the door! What are you doing? Hey, Ella! Let me in."Bukannya suara Ella yang lemah lembut menyahutinya tapi malah suara teriakan Ella yang memenuhi gendang telinganya.Ella sontak saja langsung mengetok pintu itu dengan kuat-kuat. Tapi, tetap saja hanya suara barang terjatuh dan juga jeritan tangis Ella yang terdengar."Ella! Hey
"Samuel." panggil Eros dan Samuel langsung menoleh."Kenapa, Kak?"Wajah Eros yang nampak serius membuat Samuel mengerutkan keningnya, bingung."Apa kau kenal dengan gadis pirang di sekolah kita?""Pirang? Apa perempuan yang dari luar negeri itu?"Eros terdiam sejenak, tapi tak lama langsung mengangguk. "Sepertinya, seperti itu.""Aku kenal, dia bernama Ella. Aku sekelas dengannya, memang ada apa?"Eros menoleh ke arah Zea dan Zelo yang rupanya sedang asik menonton TV karena sedang tayang kartun kesukaan mereka berdua."Tadi, aku melihatnya sedang-""Rosie, Edward." suara Alice membuat Eros tidak jadi melanjutkan ucapannya, apa lagi Rosie dan Edward kini sedang berjalan menuju mereka, tepatnya Samuel."Nanti saja." batin Eros bersuara.
"Samuel?" Rere membeo, hanya dia seorang teman Ella?"Kalau boleh tahu, kira-kira apa yang menyebabkan Ella tidak ada teman seperti itu?"Terdengar helaan napas dari sana, "Sepertinya, anak-anak merasa minder karena tidak bisa bahasa Inggris."Rere memijat pelipisnya pelan, "Baiklah, Bu. Terima kasih infonya.""Sama-sama, Bu."Tut. Rere memutuskan sambungan ponselnya. Lalu, lagi dan lagi dia menghela napas lelah, memikirkan permasalahan Ella membuat kepalanya pening. Padahal, niat mereka untuk membawa Ella ke Indonesia karena mereka ingin memberikan suasana baru untuk anak itu. Tapi, naasnya malah membuat anak itu semakin sengsara."Andai saja, Bi Valerie dan Paman Genta masih hidup. Pasti, hidup Ella tidak akan seperti ini." gumam Rere seraya menatap sebuah potong figura sepasang suami istri yang tengah tersenyum lebar.
"Mungkin, kalau bukan Ella yang mendekati kita, kita yang harus mendekatinya. Dengan begitu, dia tidak merasa terintimidasi."Eros dan Samuel saling pandang, memunculkan sebuah sinyal lisan yang seolah hanya di mengerti oleh keduanya.Di saat Eros dan Samuel saling bercengkrama, kedua orang tua Samuel dan juga Alice sedang membicarakan proyek terbaru yang akan di luncurkan perusahaan Edward. Sedangkan, Tuan dan Nyonya Quin sudah lebih dulu berpamitan karena ada meeting penting antara perusahaan asing dengan mereka.Zea dan Zelo sedang menyusun puzzle seraya memakan donut yang sebelumnya sudah Alice pesan melalui online. Di saat semuanya sedang asik dengan kegiatan mereka, tak lama pintu ruangan terketuk dari luar. Zea dan Zelo yang paling dekat dengan pintu langsung terpekik girang ketika melihat sosok sang Ayah yang berada di hadapannya."Ayah!" pekik girang Zea yang langsung men
"Kau ingin cupcake durian? Aunty Rere akan membelikanmu." Rere yang paham situasi bahwa Ella memang belum mau membuka suaranya lebih baik mengalihkannya.Rere merogoh kantong celananya, mengambilnya ponsel, "Kau ingin yang ukuran apa? Large or medium?" tanyanya dengan senyuman ceria, bermaksud memancing antensi Ella untuk menjawabnya."I want to come back off." lirih Ella berbisik namun masih bisa di dengar oleh Rere dan Angel."Why?" Itu, Angel dengan tampang bingungnya."I am not feeling well in here." desis Ella seraya menundukkan kepalanya."But, tell us what a reason you say that." Angel yang sepertinya kesal di campur bingung dengan Ella kini mulai sedikit menunjukkan emosinya. Rere tahu persis, alasan Angel untuk menjadi Dokter di sini karena itulah memang impiannya. Padahal juga, sejak awal kepindahan mereka ke Indonesia Ella sangat senang,
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak