"Dia akan memutuskanmu." Rosie kembali memotong. Memberikan serangan kejut luar biasa dahsyat yang membuat Alice bungkam seketika. Alice berusaha, sangak keras, dengan segenapbkekuatannya, untuk menyangkal Rosie. Tapi tak ada yang keluar dari bibirnya.
"Itu sebabnya Kak Edward ingin bicara denganmu beberapa hari ini. Setelah itu dia juga akan bicara dengan para orang tua. Tentang hubungan kalian dan tentang hubungan kami."
Apa?! Alice tidak bisa mempercayai kalimat Rosie. Dia pikir Edward tidak akan melangkah sampai sejauh itu. Alice pikir Edward dan Rosie tidak akan pernah menjadi nyata karena dipisahkan oleh hubungan kedua orang tua mereka. Itu yang menjadi setitik harapan bagi Alice untuk terus menjaga Edward di sisinya. Namun jika benar Edward telah merencanakan memberitahu para orang tua, itu artinya hubungannya dengan Edward benar-benar di ujung tanduk.
"Ti-tidak... tidak mungkin! Kau berbohong!"
"Itu benar, K
"Janji?"Edward mengangguk seraya menutup pintu kamar di belakang mereka. Perjalanan ke hotel tempat resepsi tidak terlalu panjang. Mereka hanya membuat obrolan ringan dan tiba-tiba sudah sampai di depan gedung acara resepsi. Antrian panjang mobil-mobil mewah berjalan pelan untuk masuk ke venue. Setelah menunggu sekitar lima menit mereka tiba di depan pintu masuk utama.Edward menyerahkan kunci mobil pada seorang pemuda berseragam merah dan hitam di depan pintu otomatis. Kemudian dia menggandeng tangan Rosie dan masuk ke grand ballroom, tempat para tamu lain telah berkumpul.Keduanya mengambil minuman dari nampan yang dibawa pelayan yang lewat. Rosie terpaksa menerima dengan wajah ditekuk jus jeruk yang disodorkan Edward. Pemuda itu bersikeras Rosie tidak boleh minum alkohol karena masih di bawah umur meski dia pun tahu Rosie bukannya tidak pernah merasakan alkohol sebelumnya."Edward! Kau datang juga!" pekika
"Apa kau sebegitu kagetnya bertemu aku lagi?"Tubuh Rosie kembali menegang mendengar suara itu. Sudah dua tahun lebih dia tidak mendengarnya, tapi Rosie masih ingat betul suara berat agak menggoda milik Maxy Louis. Dulu suara Maxy adalah melodi favoritnya, hanya dengan mendengar suara itu bunga-bunga di hatinya langsung bersemi. Namun sekarang suara itu tidak ubahnya dengan musik kematian."Padahal aku sangat senang bertemu denganmu lagi, Rosie."Maxy melangkah penuh percayabdiri. Senyum lebar menghiasi bibirnya. Raut wajah tak bersalah tanpa tau malu terpampang di wajahnya. Seakan mereka adalah kawan lama yang baru bertemu kembali dalam kebahagian. Layaknya dia tidak pernah melakukan hal mengerikan pada Rosie."Kau makin cantik." Maxy berhenti tepat di depan Rosie.Rosie menatap penuh amarah. Kebencian di hatinya meletup-letup hingga mampu membuat orang di sekitarnya ketakutan. Nampaknya tidak deng
Braakk..Suara benda besar terjatuh teredam permukaan rumput kehitaman. Berikutnya suara pukulan keras dan rintihan kesakitan yang menyusul.Edward tanpa ampun menghantamkan tinjunya ke wajah si mempelai pria. Dia duduk di perut pemuda bajingan itu sembari melayangkan pukulan bertubi tanpa ampun. Kemurkaan tergambar jelas di mata Edward hingga pemuda tidak tahu malu dan paling tidak sensitif seperti Maxy juga ketakutan."Jadi kau orangnya?!" tanya Edward retoris dengan nada geram. Dia sudah merasakan kejanggalan sejak Rosie bertingkah aneh di ballroom. Nama Maxy Louis juga agak mengganggunya waktu David bercerita tentang bajingan yang telah mencampakkan Rosie. Ternyata Maxy Louis pernah dia dengar sebagai tunangan dari teman kampusnya sendiri.Edward agak merasa bersalah pada Rosie karena tidak langsung menyadari hal itu. Wajahnya memerah saking mendidih darahnya sekarang. Campuran perasaan murka plus benci membuat
"Terima kasih.""Untuk?" Edward mengangkat alis.Si adik tidak menjawab. Dia merebut ponsel dari Edward lalu melemparnya ke sembarang tempat. Rosie beringsut mendekat pada sang pacar, memeluknya dengan lembut. Rosie juga sengaja menyembunyikan wajahnya di pundak Edward agar pemuda itu tidak bisa melihat keresahan yang terpancar jelas. Sebagai gantinya Rosie mengelus punggung berotot Edward sebagai tanda bahwa dia ingin sang kekasih diam saja."Edward, apa kau tahu?""Apa?" Edward balas mengelus punggung Rosie yang membuat gadis itu sedikit rileks."Aku sangat mencintaimu."Edward terkekeh. "Ah, aku tahu itu.""Apa kau mencintaiku?""Tentu saja, Rosie. Kenapa tanya begitu?" Rosie melepas pelukan mereka. Menghadapkan wajahnya dengan Edward.Senyum tipis mempesona pemuda itu gagal menghapus risau di sudut hatinya. Rosie mencoba membala
Maxy Louis menikmati setiap detik yang dia habiskan memandangi wajah menderita Rosie Wilkins. alasan sebenarnya dia datang ke sini adalah untuk balas dendam. Gara-gara gadis sial ini dia diceraikan Megan, gadis yang susah payah dia dapatkan. Posisi Direktur Utama grup Teir sudah didepan matanya tapi Rosie Wilkins mengacaukan semua rencana yang telah dia susun bertahun-tahun. Sekarang Maxy bahkan diusir oleh orang tuanya sendiri dan terancam jadi gelandangan. Dia hancur. Tapi dia tidak akan hancur sendiri. Rosie dan Edward juga harus menderita sebagai balasannya."Aku sangat peduli padamu makanya aku mengatakan ini. Hubunganmu dan Edward tidak akan berhasil. Orang tua kalian pasti akan menentang, belum lagi gunjingan dari orang-orang. Di lingkaran kelas atas rumor menyebar secepat kilat. Apa kau tahu? Aku tidak bisa bayangkan setajam apa mulut para ibu sosialita bisa melukai hati Ibu-mu. Kau menyayanginya, 'kan?"
"Ayo ke Pulau Seribu! Kita liburan sehari di sana!"Ini begitu mendadak. Di luar dugaan. Dan sejujurnya agak berbeda dengan apa yang biasanya Rosie lakukan. Terlepas dari itu, Edward menyukainya. Ide pergi berdua saja dengan Rosie, ke tempat yang jauh tanpa ada yang mengenal mereka, merupakan salah satu keinginan terpendam Edward yang belum mampu terealisasi. Tapi kemudian kebahagiaannya lenyap seketika saat wajah Alice muncul.Tinggal empat hari sebelum upacara pernikahan dilangsungkan. Dia belum bisa menemui Alice apalagi bicara pada gadis itu. Rencananya pagi ini Edward akan kembali datang ke rumah Alice, atau ke rumah sepupu John, atau ke manapun tempat Alice berada supaya bisa segera menyelesaikan segalanya.Bangkit dari ranjang lalu duduk dengan tidak nyaman membelakangi Rosie, Edward berucap, "Hari ini aku harus ketemu Al-""Aku sudah bicara dengan Kak Alice."Rosie juga ikut duduk dengan tak
"Edward.""Hm?"Sepuluh detik."Kak Edward.""Kenapa?""Peluk aku, Edward."Meski terkekeh geli dengan sikap manja kekasihnya Edward tetap melingkarkan lengan panjangnya di pinggang Rosie dalam rangka menarik gadis-nya mendekat. Dia mengusap lengan atas Rosie supaya gadis itu lebih hangat.***Mereka menginap di penginapan tua dekat pantai. Suara debur ombak sayup melengkapi udara sejuk yang memenuhi kamar itu. Jendela besar sengaja dibiarkan terbuka supaya nyanyian laut bisa lebih jelas terdengar oleh sepasang kekasih.Muda mudi tengah berpelukan sembari berbaring di ranjang. Keduanya memejamkan mata dengan damai, tangan saling terkait di perut si gadis. Sesekali Edward akan berhenti bersenandung untuk mengecup punggung lembut Rosie, terkekeh geli ketika gadisnya mengerang pelan sebagai protes karena senandungnya berhenti.Mereka sudah
Edward yakin dia tidur setidaknya tujuh jam. Udara sudah terasa panas, mengundang keringat kecil keluar dari pori-porinya. Dengan erangan pelan Edward menggapai ke segala arah untuk menyadari tempat tidurnya kosong. Dia membuka mata, seketika langsung segar bugar karena sadar Rosie tidak di kamar itu.Mata hitamnya mengelilingi ruangan kecil yang kini terang benderang akibat cahaya matahari menerobos dari jendela besar. Pintu kamar mandi setengah terbuka, tidak ada suara air terdengar, menandakan Rosie juga tidak sedang mandi.Edward bangkit berdiri. Beberapa kali memanggil Rosie meski dia tahu hanya ada dirinya di kamar itu. Edward tetap memeriksa kamar mandi yang kosong, membuka pintu depan yang juga menunjukkan teras kosong.Jantungnya mulai memacu dalam kepanikan. Rasa takut adalah tuan yang menguasai segenap jiwa dan raganya sekarang. Dia berlari kecil sembari meneriakkan nama kekasihnya, mengelilingi pantai di belakang pengina